Koran Sulindo – Waketum Partai Demokrat Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas) mulai berani tampil ke publik. Tidak seremonial, tidak pula dalam kegiatan ala-ala. Ibas muncul dengan kritikan tajam kepada pemerintah. Putra Cikeas mengingatkan ketidakbecusan pemerintah menangani pandemi Covid-19 membawa konsekuensi Indonesia menjadi bangsa gagal (failed nation).
Ibas tergolong politisi yang jarang tampil. Jarang pula memberi pernyataan pers. Terserah apa motivasinya memberi peringatan keras yang pasti, pemerintah belum mampu menekan lonjakan kasus Covid-19. Asrama Haji Pondok Gede harus disulap menjadi rumah sakit darurat Covid-19 untuk mengatasi fasilitas kesehatan (faskes) di Jakarta yang kolaps.
PPKM darurat tidak hanya diterapkan di Jawa dan Bali. Nasib pedagang kecil seperti tukang bubur harus didenda Rp 5 juta karena melanggar PPKM darurat.
Demokrat termasuk aktif menyoroti penanganan kasus Covid-19. Benny K. Harman melalui Twitter mengusulkan agar halaman dan Gedung MPR/DPR menjadi rumah sakit darurat. Serupa dengan Ibas, Benny juga mendapat serangan balik dari koleganya di DPR.
Ibas disebut jarang hadir dalam rapat Komisi VI DPR. Benny disebut hanya mencari simpati karena tidak paham realitas penanganan Covid-19 di lapangan. Anggota DPR tidak 100 persen WFH sementara hotel-hotel bisa dimanfaatkan menjadi rumah sakit darurat sekaligus meringankan beban manajemen.
Warning Ibas mengenai bangsa gagal bukan hal baru. Bung Karno pada masa kepemimpinannya menggelorakan nation character building (pembangunan karakter bangsa). Konon salah satu motivasi Bung Karno menggelorakan nation building untuk melawan agitasi Belanda yang berkepentingan di Papua. Indonesia muda dituding tidak layak merdeka karena tergolong bangsa gagal.
Belum lagi penanganan pemberontakan yang terjadi pada masa revolusi. Operasi militer dikerahkan untuk membendung pemberontakan PRRI/Permesta, DI/TII, juga Peristiwa Madiun 1948 yang banyak menebar agitasi melawan Republik. Bangsa Indonesia bisa saja dikategorikan gagal memelihara persatuan dari serangkaian pergolakan itu. Namun bagi Bung Karno, revolusi belum selesai.
Bung Karno menekankan nation and character building menjadi proses kemerdekaan. Artinya karakter bangsa Indonesia pada masa revolusi fisik belum ideal. Bung Karno ingin bangsa Indonesia berdikari di atas bumi sendiri. Namun kita tahu nation building yang dimaksud Bung Karno tidak tercapai karena revolusi turut menjungkalkan Bung Besar.
Agak sulit mencari definisi bangsa gagal, namun sejarawan Arnold Toynbee menyebut, peradaban mati karena bunuh diri, bukan karena dibunuh. Artinya bangsa gagal adalah bangsa yang lenyap dari peradaban karena kesalahan sendiri. Apakah bangsa Indonesia bakal lenyap dari peradaban karena bunuh diri? Semoga saja yang terjadi kebalikannya, Indonesia mampu bertahan dari upaya-upaya percobaan pembunuhan.
Mochtar Lubis memiliki definisi karakter bangsa Indonesia. Disampaikan dalam pidato kebudayaan yang dibacakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977, atau tiga tahun sebelum Ibas lahir, atau pada saat Presiden Jokowi berusia 16 tahun.
Ciri manusia Indonesia menurut Mochtar menuai kontroversi. Ia menyebut orang Indonesia munafik, tak mau bertanggung jawab, feodal, suka klenik, menyukai seni, namun berkarakter lemah. Apakah ciri-ciri seperti yang disampaikan Mochtar masih relevan sekarang ini, tak sulit untuk menjawabnya.
Ibas menjadikan penanganan pandemi Covid-19 sebagai dasar untuk mengingatkan pemerintah. Pandemi memang seksi, tiap hari ada korban berjatuhan. Rumah sakit tak lagi punya daya tampung dan vaksinasi tidak menjamin tubuh kebal dari virus corona.
Malaysia kembali menerapkan lockdown dalam mengatasi pandemi. Penduduknya banyak mengibarkan bendera putih dan hitam sebagai simbol kritik terhadap pemerintah. Malaysia sudah menjadi failed nation? Terlalu terburu-buru untuk melakukan penilaian.
Singapura sudah tak mau lagi ambil pusing dengan Covid-19. Dikategorikan sebagai flu biasa. Tak ada lagi catatan harian penanganan Covid-19, namun vaksinasi terus dilakukan. Singapura siap hidup berdampingan dengan corona karena menyadari adanya potensi virus ini tidak bisa dihilangkan.
Vietnam yang sempat melakukan lockdown juga mengalami lonjakan kasus. Thailand tidak ketinggalan. Asia Tenggara bakal menjadi failed nation? Tentu tidak demikian kita menjawabnya.
Negara Gagal
The Economist pada April 2021 menyebut Myanmar menjadi negara gagal. Belum terlalu parah seperti Afghanistan tetapi mengarah pada tahap itu. Argumennya kudeta militer memicu gelombang demonstrasi yang tak lagi terbendung hingga berimplikasi pada perpecahan.
Myanmar bakal ditinggalkan. Bahkan Tiongkok mulai menutup diri karena pelarian warga Myanmar menyebar Covid-19 di kota perbatasan, Riuli. India juga demikian, memproteksi kawasan perbatasan dari pelarian Rohingya.
Myanmar bakal kekurangan tenaga dokter, pendidik, aparatur sipil karena situasi. The Economist menyimpulkan Myanmar menjadi negara gagal lebih kepada argumen politik. Kudeta yang menimbulkan banyak korban sipil berimplikasi luas. Negara Eropa dan Amerika bahkan telah menjatuhkan sanksi kepada para jenderal Myanmar.
Dasar politik tampaknya lebih ampuh untuk memvonis negara gagal. Soviet runtuh akibat pelaksanaan komunisme yang melenceng dari semangat Marxisme. Politik Soviet tidak menyejahterakan rakyat hingga terpecah menjadi banyak negara. Yugoslavia pun demikian. Artinya iklim politik ekonomi merupakan indikator utama untuk memastikan berhasil atau gagalnya sebuah negara.
Indonesia didengungkan kencang menjadi negara gagal pada periode kedua pemerintahan Presiden SBY. Isunya macam-macam. Salah satu yang kencang disuarakan persoalan pemberantasan korupsi dan kenaikan BBM. Namun negara masih bertahan hingga kini kendati terdapat kekhawatiran menjadi failed nation.
Fund For Peace memiliki indikator untuk mengukur gagal atau tidaknya sebuah negara. Indikator tersebut yaitu, negara tidak memiliki legitimasi, pelayanan publik buruk, tidak bisa menjaga teritorinya dan terpental dari komunitas internasional. Indeks negara rentan (fragile state index/FSI) tahun 2021 dari Fund For Peace melaporkan Indonesia mengalami perbaikan pada bidang ekonomi, sosial dan ancaman perpecahan.
Namun pada bidang politik mengalami penurunan dari indikator legitimasi negara dan pelayanan publik. Tahun 2021, skor legitimasi negara FSI sebesar 4,4 naik dari tahun 2020 dengan skor 4,2. Semakin besar skor artinya terjadi penurunan. Pada bagian pelayanan publik, skor Indonesia sebesar 6,1 naik dari 5,1 pada 2020. Indonesia berada pada peringkat 99 dari 179 negara yang dikaji.
Pendekatan yang digunakan Fund For Peace dalam mengukur keberhasilan negara jika dikaitkan dengan kritik Ibas kepada pemerintah dalam penanganan Covid-19 ada benarnya. Sebab buruknya pelayanan publik dan legitimasi negara berkaitan dengan upaya pemerintah menekan Covid-19 sekarang ini.
Apakah Indonesia menuju negara gagal berdasar sifat bangsa Indonesia yang didefinisikan Mochtar Lubis? Semoga Ibas punya rumusannya. [Erwin CRS]