Negara Belum Hadir di E-commerce Tanah Air

Presiden Joko Widodo membuka Indonesia E-Commerce Summit 2016/setkab.go.id

Koran Sulindo – Pemerintah seperti gagap dan masing-masing berjalan sendiri-sendiri menghadapi gelombang pasang raksasa perdagangan online (e-commerce) yang menghempas dunia. Tanpa dirayu-rayu dan diberi kemudahan, investor asing besar-besaran memasuki dunia e-commerce tanah air.

Dimulai pada Agustus tahun lalu Gojek disuntik konsorsium delapan investor berbagai negara, disusul Google, dan terakhir pekan lalu investor lokal Astra International ikutan menanam dana trilunan rupiah.

Lalu saat perayaan kemerdekaan tahun lalu, raksasa e-commerce China, Alibaba, memendam uang sebanyak 1,1 miliar dolar AS (Rp 15 triliun) di situs jual beli Tokopedia. Alibaba juga memiliki saham terbesar di situs jual beli terbesar di Indonesia Lazada.

Presiden Joko Widodo nampak seperti orang yang lupa membaca arah angin itu ketika berbicara tentang perdagangan online, pada acara di Istana Negara Jakarta, akhir Januari lalu. Dominasi investor internasional jelas berdampak langsung pada produk-produk yang dijual di lahan mereka.

“Saya titip betul-betul dilihat datanya. Jangan sampai kita enggak mengamati secara detail, tahu-tahu ada marketplace yang membuka lapaknya tapi produknya 100 persen itu dari barang-barang luar. Ini kita malah kemasukan. Cek betul apa yang dijual, barangnya dari mana,” kata Presiden Jokowi, dalam pembukaan Rapat Kerja Kementerian Perdagangan itu.

Padahal, sekitar sebulan sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah mengeluhkan dominasi barang impor dalam e-commerce di tanah air.

“E-commerce itu dari sisi pertumbuhannya tentu tidak bisa ditahan. Akan lebih baik jika produk yang merajai e-commerce adalah juga produk buatan dalam negeri, karena ini sebagian besar adalah produk dari Cina,” kata Kalla, di Kantor Wakil Presiden, 27 Desember 2017 lalu.

Menurut Kalla, sebanyak 94 persen yang diperjualbelikan di situs jual beli tanah air adalah barang impor.

Belum cukup simpang-siur ini, reaksi para menteri dan pejabat negara di bawahnya yang mengurusi hal ini juga seperti mati angin.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai marketplace yang menjamur seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perdagangan produk dalam negeri.

“Harusnya buka pasar dari produk UKM (Usaha Kecil dan Menengah), jangan sebaliknya negara ini hanya jadi pasar dari produk luar negeri,” kata Enggartiasto, 1 Februari lalu.

Mendag malah curhat soal kendala mengatur perdagangan secara online.“Persoalannya mereka jalan sendiri dan tidak dijual di toko. Kalau di toko, bisa kita periksa. Selain itu kalau dalam jumlah yang besar, juga bisa kita kenakan aturan,” katanya.

Kemendag kesulitan mengontrol peredaran barang-barang melalui e-commerce.

“Pengawasan baru bisa dilakukan jika sudah ada di pasar,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kemendag.

Pajak

Reaksi pertama pemerintah menghadapi gempuran asing baik dari segi kepemilikan dan barang-barang impor yang membanjiri Indonesia adalah memikirkan pajak.

“Pemerintah akan mengatur kesetaraan dalam perdagangan supaya produk dalam negeri bersaing secara adil dengan produk e-commerce impor,” kata Enggartiasto, menggemakan wacana yang diusulkan Kalla sebelumnya.

Pengenaan pajak atau bea untuk produk e-commerce impor itu disebut untuk menyamakan level playing field dengan produk dalam negeri.

Selama inisetiap usaha dalam negeri patuh membayar sejumlah kewajiban pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh). Sementara produk impor e-commerce masuk tanpa potongan sehingga sering menawarkan harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk lokal.

“Masalahnya adalah kalau produk dalam negeri kena pajak, produk luar negeri malah tidak kena pajak. Itu kan tidak sama efeknya,” kata Kalla.

Namun wacana itu langsung dihadang Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), yang menginginkan perlakuan yang sama antara e-commerce marketplace dan media sosial, sehingga pajak diekanakan pada seluruh segmen platform.

“Jika tidak ada perlakuan yang sama, maka akan membuat penjual di marketplace beralih ke media sosial,” kata Ketua Umum idEA Aulia E Marinto.

Regulasi

Pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan Peraturan Presiden (Nomor 74 Tahun 2017) tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce). Landasan untuk pengembangan bisnis jual beli online di tanah air itu digagas bisa dipakai hingga 2019 nanti.

Peneliti di The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan transaksi niaga elektronik pada 2017 mencapai Rp 87 triliun. Konsumsi barang impor pun tumbuh tinggi pada tahun lalu,salah satunya dipicu perkembangan e-commerce.

Tentang dominasi investor asing di perusahaan e-commerce tanah air dan mebanjirnya barang impor, Indef meminta pemerintah tegas menyikapi dari sisi aspek persaingan usaha dan pengawasan, terutama karena berhubungan dengan peredaran barang impor.

Belum lagi soal data-data pelanggan yang ada di tangan mereka yang rentan disalhgunakan karena belum ada regulasinya.

“Perlu ada aturan pembatasan kepemilikan asing bagi perusahaan-perusahaan startup,” kata Bhima.

Soal aturan ini, bahkan Indonesia juga belum mempunyai regulasi soal e-commerce.

“Kita tidak menyangka kemajuan teknologi sangat cepat. Bahkan regulasinya belum ada, bisnisnya sudah tumbuh dengan sangat pesat. Regulasinya belum bisa mengikuti,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Tjahya Widayanti.

Saat ini Kemendag tengah mempersiapkan regulasi Peraturan Menteri (Permen) untuk penyelenggara e-commerce, dan menyiapkan rancangan peraturan pemerintah untuk transaksi belanja elektronik.

“Tahun ini kita akan memulai melakukan pembekalan dan edukasi walaupun Menko sudah melakukan di akhir tahun. kita juga tengah fokus mulai edukasi,” kata Tjahya.

Kemendag mengutamakan rancangan peraturan pemerintah tentang transaksi perdagangan elektronik diterbitkan secepatnya, karena dikhawatirkan melahirkan kondisi pasar e-commerce yang liar di dalam negeri.

“Pengguna internet di Indonesia itu ada 132 juta orang. Yang menggunakan transaksi daring tercatat ada 10 juta. Kalau ini tidak diatur dengan baik, akan dimanfaatkan pihak asing. Mereka akan mengambil kesempatan dari potensi besar yang ada di dalam negeri,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan.

Masalahnya, Oke mengatakan hal itu pada Januari 2017, persis setahun sebelum Presiden Jokowi memerintah kementeriannya mencermati e-commerce di tanah air. [Didit Sidarta]