Koran Sulindo – Persaingan Amerika Serikat dengan Cina terlihat dalam panggung yang paling menyolok akhir-akhir ini di Lautan Cina Selatan. Cina yang menaikkan anggaran militernya 10 persen tiap tahun dalam 10 tahun terakhir membuat pulau buatan, sebagai titik pertama pertempuran, di lautan yang bersinggungan dengan hampir semua negara-negara di Asia Tenggara dan Pasifik itu. Jumlah armada Angkatan laut Cina yang dipajang di sana juga raksasa. Sedang 2 kapal induk AS sudah parkir di kawasan dekat lautan luas itu, dan hanya butuh hitungan jam untuk menyerang negeri tirai bambu itu.
Perang Asia Timur Raya seperti terjadi pada 1940-an bukan hitung-hitungan kosong lagi. Proxy war antara Cina versus AS sejak awal abad ke-21 yang berlangsung di Asia Tengah dan di Timur Tengah seperti tercermin dalam konflik berdarah Suriah, akan dengan sangat mudah bergeser, atau digeser, ke Asia Tenggara.
Bung Karno tidak terjebak ke dalam pusaran konflik global antara AS versus Soviet-Cina saat itu, namun pada saat yang sama mampu menawarkan sebuah gagasan alternatif (dan kekuatan alternatif) di luar dua kubu yang terlibat dalam perang dingin. Hendrajit, dalam “NEFOS, Inspirasi untuk Memberdayakan Kembali Politik Luar Negeri RI”, menuliskan betapa imajinatifnya pemerintah Indonesia pada era pemerintahan Bung Karno.
Bung Karno sadar dan siap mengantisipasi pecahnya Perang Asia Timur Raya I pada 1941-1945, dan berhasil mewujudkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Siapkah Indonesia sekarang?
Yang jelas, saat itu Bung Karno menawarkan Indonesia sebagai pusat solusi dunia. Presiden Pertama Republik Indonesia itu adalah sosok yang percaya diri bahwa bangsanya yang baru seumur jagung umurnya itu bisa dipandang sama tinggi dengan negara-negara yang sudah lama.
Sejak 1959 dan kembalinya kita ke UUD 1945 berangsur-angsur kedaulatan kita pegang penuh dan sangat nyata hasilnya: Irian Barat kembali kepada kita. Sebagai negara baru yang belum kaya, kita juga mampu membuat Konferesi Asia-Afrika. Dan melihat keberhasilan Indonesia, berturut-turut negara-negara di Asia dan Afrika banyak yang ikut memerdekakan dirinya.
“Maka paniklah negara-negara eks penjajah itu,” tulis politisi senior Emie Moeis. “Mereka pun semakin nekat mengganggu kedaulatan negara-negara yang baru merdeka tersebut. Mereka adalah negara-negara tua yang telah kenyang menjarah harta negara-negara terjajah dan tidak mau kehilangan jarahannya. Negara-negara tua ini ingin mempertahankan status quo. Soekarno menyebut mereka sebagai Oldefos, akronim dari Old Established Forces.”
Soekarno memahami untuk melawan penjajah mutlak diperlukan adanya persatuan. Karena itu, untuk melawan Oldefos, negara-negara yang baru merdeka dengan kekuatan-kekuatan barunya juga harus bersatu. Soekarno pun menggalang negara-negara baru untuk bersatu dalam New Emerging Forces (Nefos). Dengan Nefos, menurut Emir Moeis, Bung Karno ingin menciptakan suatu dunia baru, membentuk suatu persahabatan dunia baru, tanpa exploitation de nation par nation, exploitation de l’homme par l’homme.
Gagasan pembentukan Nefos memang secara konseptual baru dimunculkan Bung Karno pada pertengahan 1960-an. Kekuatan ketiga ini bukan sekadar tidak ingin terseret ke kubu AS-Inggris maupun kubu Soviet-Cina.
Nefos merupakan kontra skema kapitalisme global. Sebuah gerakan pro aktif “Perang Asimetrik” melawan skema kapitalisme global negara-negara maju melalui perang non militer.
Indonesia dan negara-negara ASEAN menyadari betapa makin tajamnya persaingan AS versus Cina berebut pengaruh di Asia Tenggara. Ide Bung Karno saat menggulirkan penyelenggaraan KAA dan GNB sebagai dasar kemunculan gagasan terbentuknya Nefos itu mungkin bisa ditiru lagi Indonesia sebenarnya berpeluang melakukan sebuah inisiatif politik baru di dunia internasional, upaya membangun aliansi strategis baru di kawasan Asia Tenggara untuk mengimbangi aliansi konservatif AS-Uni Eropa.
Proxy war AS vs Cina di Laut Cina Selatan seharusnya menjadi cukup modal untuk memprakarsai kembali gagasan terbentuknya Nefos Jilid ke-2.
Pertanyaannya untuk kita semua para pewaris NKRI, Pancasila, dan ajaran ajaran Soekarno, apakah ide besar yang masih relevan itu akan kita biarkan serta kita kubur untuk sekadar menjadi kenangan? “Sesungguhnya saat inilah sebaik-baiknya momen untuk mengingatkan kita semua serta menyegarkan kembali ide besar tersebut,” kata Emir.
Emir menawarkan hal itu bisa dimulai dari focus group discussion dan seminar-seminar yang mengundang dunia internasional, mungkin dimulai dengan mengundang organisasi-organisasi kepemudaan dari negara-negara Nefos. Bisa juga wartawan-wartawan dari negara-negara Nefos, sebagaimana pada 1963 pernah diselenggarakan Konferensi Wartawan Asia Afrika.
Sayang memang Nefos yang harusnya jadi harta karun seakan dikubur hidup-hidup menyusul tergusurnya Bung Karno dan munculnya Rezim Orde Baru Soeharto. Dan celakanya, Orde Reformasi kadung “amnesia sejarah” untuk menghidupkan apalagi merevitalisasinya. [DAS]