Nawacita Tak Jelas, Trisakti dan Sosialisme Indonesia Hanya Lips Service

Pasar Ikan, Jakarta Utara, ketika akan mulai dibongkar Pemprov DKI Jakarta, April 2016

Sulindomedia – Siapa pun tahu, Bung Karno sangat gandrung dengan sosialisme. Ia meyakini, masyarakat adil dan makmur dalam istilah modern adalah masyarakat sosialis. Jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia, dalam manuskrip “Mentjapai Indonesia Merdeka” yang ditulis tahun 1933, Bung Karno menulis: “… maksud pergerakan kita haruslah suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak ada tindasan dan isapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme.”

Hal itu ditegaskan lagi oleh Bung Karno saat mengumumkan Deklarasi Ekonomi (Dekon), 28 Maret 1963. Salah satu bagian penting Dekon berbunyi: “Dalam masyarakat sosialis Indonesia, tiap-tiap orang dijamin akan pekerjaaan, sandang-pangan, perumahan, serta kehidupan kulturil dan spirituil yang layak. Susunan ekonomi yang demikianlah yang harus menjadi tujuan segenap kegiatan ekonomi kita, yang harus menjadi tujuan tiap-tiap putra Indonesia.”

Lantas, apa sejatinya yang dimaksud dengan sosialisme Indonesia? “Sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi Indonesia bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang in een slapeloze nacht (dalam satu malam yang tidak tidur), juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu reaktief verzet van verdrukte elementen (perlawanan penentangan daripada anasir/kaum yang tertekan), suatu kesadaran sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu historische notwendigkeit, suatu keharusan sejarah,” kata Bung Karno.

Singkat cerita, sosialisme Indonesia bukanlah sekadar menciplak gagasan sosialisme yang berkembang di Eropa, tapi merupakan dialektika sejarah masyarakat Indonesia sendiri.

Bung Karno juga mengingatkan, sosialisme Indonesia bukan sesuatu yang jatuh dari langit sebagai air embun di waktu malam, tapi hasil dari keringat. Sosialisme Indonesia adalah hasil dari pembantingan tulang, hasil dari penguluran tenaga.

Memang, sosialisme Indonesia seperti apa yang dicita-citakan Bung Karno itu belum berhasil dijalankan secara baik. Situasi politik dan ekonomi di masa itu, akhir tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an, tidak cukup memungkinkan pemerintah menjalankan konsepsi itu dengan sebaik-baiknya. Tapi, harus diakui, konsepsi sosialisme Indonesia yang diletakkan Bung Karno telah mewariskan berbagai proyek pembangunan yang menjadi kebanggan bangsa Indonesia, sebagai bagian dari national character building. Konsepsi sosialisme Indonesia itu pula yang telah menyemaikan semangat kemandirian dan berdikari dalam tiap-tiap sanubari rakyat Indonesia.

Nawacita, sembilan program utama yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo, jelas terinspirasi dari semangat sosialisme Indonesia dan Trisakti (berdaulat secara politik serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan). Dengan begitu, gagasan sosialisme Indonesia berpotensi diaktualkan dan dijalankan di negeri ini, di masa ini.  Jadi, mari kita bicarakan sekali lagi, sering dan berkali-kali.

Bagaimana kabar Nawacita? Pertanyaan itu menggelayut dalam pikiran banyak orang hari-hari ini. Sudah hampir dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjalan, tapi Nawacita atau sembilan agenda prioritas pemerintah semakin sayup-sayup saja kedengarannya.

Dalam praktik kenegaraan, seperti diakui pemerintah sendiri (lewat Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan Menteri Perencana Pembangunan/Kepala Bappenas Sofyan Djalil), Nawacita—yang pernah dikampanyekan Jokowi sebagai program yang diinspirasi dan dilandasi pemikiran Bung Karno tentang Trisakti dan sosialisme Indonesia—belum  sepenuhnya menjadi bagian Rencana Kerja Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) alias tidak sinkron.

Padahal, menurut Revrisond Baswir, dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Nawacita awalnya diharapkan sebagai penyambung gagasan Bung Karno dengan realitas pembangunan sekarang. “Tapi kemudian ada lagi kelirumologi ketika Nawacita disusun secara resmi menjadi dokumen negara melalui RPJM. Karena, ternyata, RPJM itu sudah disusun sebelum Jokowi terpilih menjadi presiden. Jadi, Nawacita hanya ditempelkan di bagian depan saja, sedangkan di belakangnya sudah disiapkan rencana sebelum Jokowi terpilih,” kata Revrisond.

Artinya, yang terjadi bukan sekadar masalah sinkronisasi, tapi salah kaprah dan inkonsistensi. Soal inkonsistensi ini, misalnya, ditunjukkan Bonnie Setiawan, peneliti senior Institute for Global Justice (IGJ). “Jika pemerintah Jokowi-JK mau konsisten dan konsekuen menerapkan Trisakti dan sosialisme Indonesia, harus berani meninjau semua peraturan yang bersifat liberal. Semua yang tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 harus diganti dengan yang sesuai, yang merupakan turunan dari pasal tersebut,” katanya.

Lebih jauh Bonnie menjelaskan, sosialisme Indonesia yang digagas Bung Karno senapas dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 33. Dalam ayat 1 disebutkan, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat 2 berbunyi: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3 berbunyi: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam salah satu bagian tulisanya di buku Sarinah, Bung Karno sendiri menyatakan bahwa konstitusi kita, UUD 1945, mencerminkan transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. “Undang-undang dasar kita adalah undang-undang dasar sebuah negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme,” kata Bung Karno.

UUD 1945 itu, menurut Bung Karno, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk (kapitalistis), tapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialis. Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara yang sedang melakukan transisi ke sosialisme. Kemudian, tahap yang kedua adalah revolusi sosialis, yang mengarah pada perwujudan sosialisme Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalistis dan l’exploitation de l’homme par I’homme.

Salah satu ciri utama dari sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan ini, seperti ditekankan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi atau alat, tapi pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat. Dengan pemilikan alat produksi di tangan rakyat, kemudian perencanaan produksi oleh rakyat, dan juga tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa direalisasi di bumi Indonesia.

Tapi, dalam perjalanannya, banyak cara dilakukan oleh kaum liberal untuk mengamandemen atau mengubah Pasal 33 UUD 1945. Meski tidak pernah berhasil mengubah, kaum liberal mampu menambahkan ayat pada pasal 33. Maka kemudian muncullah ayat 4 dan ayat 5, yang mengubah secara fundamental semangat pasal 33 tersebut.

Dalam ayat 4, misalnya, disebutkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. “Yang namanya efisiensi itu adalah praktik kapitalis,” kata Bonnie.

Dalam ayat 5-nya disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. “Nah, undang-undang yang sekarang banyak dibuat mengacunya pada ayat-ayat 4 dan 5, yang merupakan produk liberal, sementara ayat 1, 2, dan 3 dalam pasal 33 hanya dianggap sebagai pajangan,” ungkap Bonnie lagi. Jadi, lanjutnya, hampir semua undang-undang yang lahir setelah reformasi sudah liberal semua. “Ini bisa terjadi karena memang ada yang men-setting, ada yang mengarahkan Indonesia masuk ke rezim neo-liberal,” ujarnya.

Sebagai contoh undang-undang yang bernuansa liberal itu, Bonnie menunjuk Undang-Undang Penanaman Modal. Juga trend swastanisasi sektor-sektor publik, dalam bentuk kemitraan dengan swasta atau public private partnership, termasuk dalam bidang pertanian. “Masuknya investor dar Cina untuk rice estate di Karawang akan mematikan petani kita. Ini sudah kebablasan. Trisakti dan sosialisme Indonesia hanya lips service,” katanya.

Kesenjangan sosial-ekonomi di atas yang terjadi di masyarakat mengharuskan pemerintah dan rakyat Indonesia kembali berpedoman kepada konsepsi sosialisme Indonesia yang digagas para Bapak Bangsa, terutama Bung Karno. “Saya kira, kalau itu kita jadikan pedoman, justru hari ini, dan itu bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia, sosialisme Bung Karno semakin relevan,” ungkap Revrisond Baswir.

Ketua Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pereira, juga punya pandangan senada. Karena itu, menurut dia, bangsa ini harus kembali menjadikan UUD 1945 yang tanpa amandemen sebagai konstitusi.

“Karena, UUD 1945 yang belum diamandemen merupakan konsitusi yang berkonsep sosialisme, yang sejalan dengan cara pandang dan pemikiran Bung Karno,” tuturnya.

Sosialisme Indonesia yang digagas Bung Karno, menurut Andreas, berbeda dengan komunisme. “Sosialisme yang digagas Bung Karno tidak berangkat dari stratifikasi sosial, karena itu tidak ada pertentangan kelas. Kaum marhaen kan sebenarnya memiliki alat produksi, tapi tidak punya akses untuk mengembangkan usahanya sehingga kehidupan mereka menjadi sejahtera. Upaya untuk mengangkat kaum marhaen agar menjadi sejahtera inilah yang dipikirkan dan diperjuangkan Bung Karno dengan marhaenisme atau sosialisme ala Bung Karno. Beliau kan bukan hanya intelektual pemikir, tapi juga terlibat dalam aksi,” kata Andreas.

Pemerintah Jokowi-JK semestinya mendengar suara rakyat tersebut. Kembalikan arah pedoman Nawacita kepada Trisakti dan sosialisme Indonesia, bukan kepada konsepsi neo-liberal yang menyengsarakan rakyat kecil.

Fakta-fakta yang terjadi di masyarakat memperlihatkan, negeri ini semakin jauh dari konsepsi sosialisme Indonesia, terutama aspek keadilan sosial. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia yang diluncurkan akhir tahun 2015 lalu ditemukan fakta: 1% rumah tangga di Indonesia itu sudah menguasai aset nasional sebesar 50% rumah tangga.

Dengan angka itu, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia. Nomor satu yang paling timpang adalah Rusia, nomor dua Thailand, baru kemudian Indonesia. Antara Thailand dan Indonesia selisihnya sedikit, Thailand itu 50,2%, sementara Indonesia 50,3%.

Sejalan dengan itu, perkembangaan indeks gini (indikator ketimpangan sosial: angka 0 berarti tak ada ketimpangan sama sekali alias pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan absolut) juga menunjukkan arah yang mengkhawatirkan. “Selama pemerintahan Soeharto, indeks gini yang menggambarkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu tidak pernah sampai pada angka 0,4. Hanya berkisar 0,32, 0,35, atau 0,37. Justru setelah era Soeharto dan terutama sekali pada tahun-tahun terakhir ini, indeks gini naik kencang sekali. Sudah tidak lagi 0,37, tapi sudah naik ke 0,40, 0,41, dan 0,42. Inilah yang kemudian menjelaskan, dilihat dari sudut tujuan mewujudkan keadilan, era pasca-Soeharto justru jauh lebih jelek. Angka-angka dengan jelas sekali menunjukkan itu. Ini gila sekali,” kata Revrisond Baswir.

Data Badan Pertanahan Nasional tentang penguasaan tanah yang dilansir awal tahun ini juga membuat miris. Dari data tersebut dapat dilihat, 0,2% orang (WNI dan warga asing) menguasai 56% tanah di wlayah Indonesia. Itu artinya, tanah dari seluas hampir 1 juta kilometre persegi (dari keseluruhan luas wilayah daratan Indonesia yang mencapai 1,92 juta kilometer persegi) dikuasai 550 ribu orang (dari jumlah penduduk Indonesia sekarang yang mencapai 255 juta jiwa). Jika dihitung dengan indeks gini, ketimpangan kepemilikan tanah itu mencapai angka 0,60. Perlu diketahui, angka 0,40 di atas saja sudah menunjukkan ketimpangan sosial yang buruk.

Para penguasa tanah itu adalah konglomerat perorangan atau konglomerasi pemilik perusahaan real estate, pertambangan, perkebunan, dan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH). Dan tentunya, tanah yang dikuasai segelintir orang tersebut adalah tanah-tanah produktif—berupa hutan dan kawasan yang kaya sumber daya alam.

Di Provinsi Maluku Utara, misalnya, hampir seluruh wilayahnya dikuasai perusahaan tambang raksasa, seperti Newmont Halmahera Mineral yang menguasai 1,6 juta hektare, Weda Bay Nickel 76,280 ribu hektare, dan 148 kuasa pertambangan lainnya menguasai seluas 593,3 ribu hektare.

Di Provinsi Riau, menurut  data yang pernah dilansir warga dari Front Perjuangan Rakyat dan Gerakan Rakyat Kampar, sekitar 70% tanah yang ada di wilayah Riau dikuasai korporasi asing. Di provinsi kaya minyak ini, korporasi asing yang banyak beroperasi terutama perusahaan minyak multinasional dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, banyak kaum tani terusir dan terampas tanahnya tanpa perlindungan. Dan trend penguasaan dan perampasan tanah itu makin hari semakin masif.

Apa yang terjadi di Maluku Utara dan Riau hanyalah sejumput kisah dari sekian banyak kasus penguasaan tanah rakyat untuk kepentingan komersial. Itu sebabnya demo, gugatan ke pengadilan, sampai dengan bentrok warga dengan aparat dalam eksekusi pembebasan lahan merupakan potret yang telah lazim terjadi di Indonesia.

Pada lahan perkebunan saja, menurut  peneliti dari lembaga swadaya masyarakat Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati  Winarni, sebanyak 25 kelompok perusahaan sawit yang dimiliki para taipan menguasai 31% lahan atau seluas 5,1 juta hektare dari total area penanaman kelapa sawit di Tanah Air.  Sebagian taipan berasal dari Malaysia dan Skotlandia. Mereka telah mengantongi  izin pengembangan kelapa sawit seluas 2 juta hektare yang belum ditanami.

Sebaran area kelapa sawit tersebut meliputi 62% di Kalimantan, 32% di Sumatera, 4% di Sulawesi dan 2% di Papua. Adapun 25 taipan konglomerasi tersebut, antara lain Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas Group, Batu Kawan Group (Malaysia), Salim Group, Jardine Mathenson Group (Skotlandia), Genting Group (Malaysia), serta Bakrie Group.

Data lain mengemukakan, dari 9,1 juta hektare kebun sawit di Indonesia itu hanya dimiliki oleh 264 perusahaan saja atau sekitar puluhan grup saja. Begitu juga dengan pengusaan hutan produksi: dari 41 juta hektare hutan produksi di negara kita, itu hanya dikusaia oleh 366 perusahaan. Tapi, ada 22 juta rumah tangga petani di Indonesia hanya memiliki rata-rata 0,3 hektare.

Itu menunjukkan struktur pertanian di Indonesia sekarang ini sangat mirip dengan zaman kolonial, ketika perusahaan asing mengusai tanah, bibit, hingga produk ekspor.

Dalam produk minyak sawit mentah (CPO), misalnya, perusahaan asing mengusai tanah, produk derivatif, hingga produk ekspornya. Akibatnya, sekalipun kita dikenal sebagai eksportir terbesar CPO di dunia, pemerintah sendiri tidak sanggup mengontrol atau menyediakan harga minyak goreng murah untuk rakyat.

Sebaliknya, Sensus Pertanian 2013 juga menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektare per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga minimal 2 hektare.

Masih menurut data Sensus Pertanian di atas, jumlah petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter persegi turun, tapi jumlah rumah tangga yang menguasai lahan lebih dari 3 hektare bertambah. Itu artinya telah terjadi konsolidasi lahan pada petani kaya.

Ketimpangan kepemilikan lahan berakibat pada ketimpangan kemakmuran, terutama bagi rakyat yang menggantungkan hidupnya dari penguasaan tanah, yaitu kelompok petani, peternak, dan nelayan budidaya. Penguasaan tanah oleh pemodal di pedesaan akan memiskinkan masyarakat desa yang kehilangan alat produksi dan segala yang terdapat di tanah, termasuk air.

Ketimpangan penguasaan tanah tidak terbatas pada lahan pertanian. Di perkotaan pun kasat mata. Lahan dalam skala luas dikuasai sekelompok orang, sementara kekurangan rumah di perkotaan lebih dari 10 juta unit, salah satunya karena mahalnya harga tanah. Tanah telah menjadi komoditas dan obyek spekulasi.

Dan, selama Jokowi-JK berkuasa, kita pun mendengar jeritan penderitaan rakyat miskin yang huniannya dibongkar paksa, yang pembongkarannya dengan mengerahkan polisi dan tentara, seolah orang-orang miskin itu bukan suadara sebangsa.

Seperti kata John Tobing dalam lagu karyanya, “Darah Juang”, mereka dirampas haknya, tergusur, dan lapar….  [CHA/GKD/YUK/PUR]