Koran Sulindo – Sejak awal, rezim Orde Baru sudah seperti dikejar dosa, terlihat ketakutan. Banyak perwira tinggi ABRI juga menjadi korbannya.

BUKAN hanya kalangan sipil yang “dibersihkan” oleh rezim Soeharto setelah Peristiwa 30 September 1965. Kalangan miilter juga, terutama yang terhubung dengan PKI dan juga pendukung Soekarno. Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, misalnya, yang waktu itu menjadi Asisten III Bidang Personalia Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Perwira tinggi ini memang sempat ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai care-takerMenteri/Panglima Angkatan Darat, saat keberadaan Ahmad Yani yang menempati posisi tersebut tidak diketahui. Alasan Bung Karno: Pranoto  mampu meredam pertikaian di tubuh Angkatan Darat yang terjadi pada masa itu.

Pranoto dikenal sebagai jenderal tanpa ambisi dan tak memiliki musuh. Ia juga mantan Panglima Divisi Diponegoro Jawa Tengah, yang diharapkan dapat mengendalikan anggota divisinya yang terlibat Peristiwa 30 September 1965.

Selain itu, hubungan Bung Karno dan Pranoto cukup dekat. Setelah Perang Kemerdekaan, Presiden Soekarno pernah meminta Pranoto menjadi ajudan presiden. Pranoto menolak dengan halus permintaan Soekarno. Alasannya: dia ingin berkarir sebagai komandan lapangan lebih dulu.

Secara khusus, Soekarno pernah menuliskan memo khusus untuk Pranoto pada tahun 1961. “Kolonel Pranoto, kerjalah baik-baik untuk negara. Bapak percaya penuh kepadamu.” Soekarno juga pun pernah memuji Pranoto yang menjunjung tinggi falsafah Jawa. Juga kemampuannya mendalang.

Saat penunjukkan dirinya sebagai care takeritu, Presiden Soekarno memerintahkan Pranoto untuk menghadap ke Halim Perdanakusuma., Pranoto lebih memilih mengikuti perintah Soeharto untuk tidak datang.

Tanggal 14 Oktober 1965, Soeharto diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Pranoto kemudian dijadikan perwira tinggi non-job. Tidak sampai di situ, dua hari kemudian, tanggal 16 Februari 1966, Soeharto memberikan perintah penangkapan untuk Pranoto. Soeharto menuding Pranoto terlibat Peristiwa 30 September 1965. Pranoto juga dituduh sebagai tokoh utama PKI.

Ia menyanggah tudingan tersebut. Namun,sang penguasa tak mau mendengar suaranya, apalagi cap PKI sudah telanjur dilekatkan. Tanpa pengadilan, Pranoto dijebloskan ke penjara. Hak-haknya sebagai perwira tinggi pun dicabut. Sejak tahun 1975, Pranoto tak lagi menerima apa-apa lagi dari pemerintah.

Lima belas tahun kemudian, 16 Februari 1981, dia dibebaskan dari tahanan. Saat pembebasannya, dia berjalan kaki pulang ke rumah anak-anaknya di daerah Kramat Jati, Jakarta Timur.Jenderal pilihan Soekarno ini meninggal dunia pada 9 Juni 1992, dengan membawa cap sebagai mantan tahanan politik Orde Baru. Kisah jenderal yang santun dan tidak ambisius ini terangkum dalam buku Catatan Jenderal Pranoto:Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya,  yang diterbitkan Kompas pada tahun 2014 lalu.

Yang juga mengalami penzaliman oleh Soeharto adalam Letnan Jenderal (KKO) R. Hartono. KKO adalah kependekan dari Korps Komando Angkatan Laut, yang kini dikenal sebagai Korps Marinir.

Ada dua nama yang menjadi legenda di korps kebanggaan Angkatan Laut itu, yakni Letnan Jenderal R. Hartono dan Letnan Jenderal Ali Sadikin. Namun, R. Hartono mengalami nasib yang tragis.

Ia memang termasuk perwira tinggi yang berani terang-terangan mendukung Bung Karno setelah Peristiwa 30 September 1965. Ucapannya yang terkenal: “Putih kata Bung Karno, putih kata KKO;hitam kata Bung Karno, jitam kata KKO”.Ini adalah ucapan kesetiaan prajurit komando kepada pimpinan.

Wajar jika orang melihat dia sebagai loyalis Soekarno. Hartono bahkan pernah menyediakan diri dan pasukannya untuk menghadapi pasukan Soeharto, namun dicegah Soekarno. Tak lama setelah itu ada demo di jalan yang dilakukan prajurit KKO di Surabaya. Slogan terkenal dari demo itu adalah “Pejah Gesang Melu Bung Karno [Hidup-Mati Ikut Bung Karno]”. Kejadiannyapada tahun 1966.

Kerasnya dukungan terhadap Bung Karno membuat kelompok Soeharto was-was. Apalagi, kekuatan Marinir waktu itu tidak bisa dianggap remeh, dengan 30.000 personel yang siap menjalankan perintah panglimanya, yaitu Jenderal Hartono.  Apalagi, dia juga dikenal sebagai komandan yang memiliki perhatian tinggi terhadap kesehjateraan para anak buahnya.

Kata-kata Hartono itu sesungguhnya bukan sekadar gertak sambal atau isapan jempol belaka. Buktinya, saat Jakarta “dikuasai” kelompok Letnan Jenderal Soeharto pasca-Gerakan 30 September 1965, Hartono dari basisnya di Surabayasudah menyiapkan ribuan prajurit KKO untuk menggempur Ibu Kota. Akan tetapi, Presiden Soekarno tidak pernah mengeluarkan komando yang sedang ia tunggu-tunggu tersebut. Informasi ini tertera dalam buku Bayang-Bayang PKIyang ditulis berdasarkan laporan penelitian tim Insititut Studi Arus Informasi.

Bahkan, seolah ingin meyakinkan Presiden Soekarno akan kekuatan para loyalisnya, tepat pada peringatan ulang tahun ke-65 Bung Karno (6 Juni 1966), KKO Angkatan Laut secara besar-besaran melakukan “unjuk gigi” di Surabaya. Selain mengerahkan hampir seluruh pasukan, semua senjata berat mutakhir saat itu seperti tank dan amfibi juga dikeluarkan untuk melakukan pawai keliling Surabaya.

Sebelumnya, Hartono sempat memerintahkan 2 batalion KKO untuk membuka pos taktis di Yogya, menyusul maraknya aksi menentang Bung Karno di Kota Gudeg. Menurut Julius Pour, itulah bentuk “tantangan” Hartono kepada Soeharto yang saat itu juga tengah mengerahkan RPKAD ke Yogya untuk memburu orang-orang PKI dan para soekarnois.

Akhir hidup dari jenderal kharismatis ini masih misteri. Banyak yang meragukan pemberitaan dan informasi yang mengatakan Hartono bunuh diri. Beberapa sahabatnyasangat tidak yakin akan kebenaran berita tersebut,termasuk Ali Sadikin dan Laksamana Madya Rachmat Sumengkar, mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut. Kedua tokoh TNI Angkatan Laut itu menyebutkan, sulit mengatakan Letjnan Jenderal(KKO) R. Hartono bunuh diri hanya dengan data yang ditemukan di kediaman korban pada waktu itu. Karena, dari data yang keduanya miliki terlihat Hartono bukanlah tipe manusia yang mudah putus asa, apalagi bila penyebabnya adalah merasa dirinya tidak berhasil mengemban tugas sebagai Duta Besar Luar Biasa untuk Korea Utara, seperti banyak diberitakan waktu itu.

Kecurigaan lain juga muncul ketika jenazah Hartono tidak divisum oleh dokter Rumah Sakit Angkatan Laut ataupun Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, setelah ditemukan meninggal di rumahnya sekitar pukul 05.30. Tapi, jenazahnya langsung dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat. Baru setelah itu mayatnya disemayamkan di rumahnya untuk kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, untuk dimakamkan secara militer sebagai kesuma bangsa, dengan inspektur upacara Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya Soedomo.

Sejak dari rumah sakit, jasad Hartono sudah dimasukkan kedalam peti jenazah dan siapa pun dilarang membuka peti itu. Jenazahnya awalnya ditemukan oleh ibu kandungnya dalam keadaan berlumuran darah di lantai kamarnya karena tembakan peluru di bagian belakang kepalanya. Pistol—yang menurut pemerintah digunakan untuk bunuh diri—ditemukantergeletak di meja dekat jenazah Hartono.

Yang terlihat ganjil, pistol yang ditemukan tersebut berjenis Makarov, dengan peredam suara. Padahal, Panglima KKO ini dikenal sebagai perwira tinggi yang menyandang pistol jenis FN.

Yang sangsi dengan versi bunuh diri itu juga adalah istri Hartono sendiri, Grace Walandow. Sang istri malah menyatakan pistol Makarov berperedam yang terletak di meja itu bukan milik suaminya. “Saya tahu pistol yang selalu dibawa suami saya adalah jenis FN,”ungkapnya dalam sebuah kesempatan.

Bukan hanya kedua perwira tinggi itu saja yang menjadi korban pembersihan dari rezim Soeharto. Yang juga menjadi korban antara lain Mayor Jenderal Suadi dri Angkatan Darat. Ketika itu, ia menjadi Duta Besar RI di Etiopia.Tidak lama setelah Peristiwa 30 September terjadi, Suadi mengirimkan pesan kawat ke seluruh Kedutaan Besar RI di seluruh dunia yang mengingatkan agar jangan terlalu cepat membuat kesimpulan tentang siapa pelaku peristiwa tersebut. Tujuannya: menghindari fitnah dan tidak memperkeruh keadaan.

Namun,  justru karena kawat itu,  Suadi malah kena fitnah. Dia dianggap menjadi bagian dari peristiwa itu. Ia juga dianggap menciptakan keragu-raguan banyak pihak terkait Peristiwa 30 September 1965. Ia dan juga banyak tokoh lain dituntut oleh rezim Orde Baru agar menyatakan Peristiwa 30 September 1965 adalah bagian strategi PKI untuk merebut kekuasaan.

Yang juga menjadi korban adalah Suhario Padmodiwiryo. Lelaki yang biasa dijuluki Hario Kecik ini adalah Panglima Kodam Mulawarman saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Ketika Presiden Soekarno jatuh, ia pun ikut jatuh dan dituduh berhaluan kiri. Apalagi, ketika Peristiwa 30 September 1965 meletus, ia tengah berada di Moskow untuk melanjutkan studi militer di Suworov.

Ia pun dilarang kembali ke Tanah Air. Pada tahun 1977, Hario Kecik nekat kembali ke Indonesia.Namun, begitu tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, ia langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili. Ia mendekam di hotel prodeo selama empat tahun. “Ini memang metode Soeharto,” ungkapnya. [Hano Zahaban]