Nasib Tragis Para Pembongkar Kejahatan Kolonial

Ilustrasi: Cuplikan dari film Max Havelaar (1976)/virtual-history.com

WILMA menerobos jalan berlumpur di sebuah perkampungan di Tirtayasa Pontang, Kabupaten Serang, Sepatunya berlumur lumpur. Ia mengetuk pintu sebuah rumah yang berjarak kurang dari limaratus meter dari Pendopo Gubernur Banten, di gubuk itu seorang pengidap kanker payudara tinggal. Namun ia harus kecewa karena yang ingin ditemui ternyata telah meninggal dunia tiga hari sebelumnya, sakit tanpa pertolongan medis.

Wilma Van Der Maten adalah jurnalis dari Belanda. Ia ke Banten untuk melihat dari dekat, ingin mendengar, melihat, dan merasakan, adakah perbedaan mental dan perilaku penguasa di Banten dengan masa Max Havelaar. Banten melalui media di negeri Belanda menjadi sorotan atas perilaku hidup hedonis dan bermewah-mewahan yang dilakukan para penguasanya.

Untuk melengkapi laporannya, pada Maret 2014 Wilma mengunjungi Ciseel Badur, Kabupaten Lebak, tempat Eduard Douwes Dekker menjejakkan kakinya dan melihat realita saat itu. Wilma berkesimpulan penguasa Banten saat ini berperilaku dan bermental sama dengan kolonialis 150 tahun lalu.

Douwes Dekker yang bernama pena Multatuli pernah tinggal di Rangkas Bitung selama tiga bulan pada 1860 dan menuliskan pengalamannya dalam roman Max Havelaar. Pemda Lebak, Banten, sedang membangun Museum Multatuli di wilayah yang hingga kini masih tidak berbeda jauh dengan keadaan zaman Saijah dan Adinda itu.

“Bayangkan hanya 100 orang menguasai separuh lebih aset nasional. Ketidakadilan ini mirip seperti yang digambarkan Multatuli dalam Max Havelaar,” kata Daniel Dhakidae, Direktur Jurnal Prisma, dalam simposium “Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli Sampai Sukarno”, pekan lalu.

Novel itu kini adalah bacaan wajib sekolah-sekolah di Belanda. Pertama kali terbit pada 1860 dalam bahasa Belanda dengan judul ‘Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij’ (Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Buku itu diterbitkan lagi di Indonesia pada 2013 lalu.

Buku tersebut merupakan bingkai dari berbagai jalinan kisah cerita, namun isi pokoknya adalah kritik tentang kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda. Max Havelaar berkisah mengenai sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputera di daerah Lebak, Banten. Dalam novel ini, Multatuli mengkritik perlakuan buruk para penjajah yang melakukan cultuurstelsel. Ketika masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Multatuli melihat Bupati Lebak dan kolonialis Belanda melakukan pemerasan terhadap rakyat. Multatuli mengadukan hal itu kepada atasannya, yang justru berujung pada pemecatan dari jabatannya sebagai asisten residen.

Pada 1999, Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini sebagai “Buku yang Membunuh Kolonialisme”.

Max Havelaar/onbekend.nl

Walaupun namanya menjadi besar karena buku itu namun ia tetap melarat sampai menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Pada 1862 ia benar-benar menjadi gembel. Ia memang Multatuli, si Akusudahbanyakmenderita:

“Saya sedih dan menderita. Dan saya mencari sebabnya yang menghalang-halangi usaha saya yang baik, dan sebab itu telah saya dapati berupa suatu penyakit yang bersarang dalam tubuh tuan-tuan hai orang-orang Belanda, dan penghalang itu telah saya temukan berupa suatu penyakit yang busuk… berupa dusta. Ya, saya telah mengatakan hal yang sebenarnya, tetapi tuan-tuan tidak mendengarnya,” tulis Max Havelaar.

Multatuli mati pada usia 67 tahun pada 1887 dan tetap gembel.

Bung Karno bersama rakyat/penasoekarno.com

Nasib lebih tragis dialami Soekarno. Pada 1970 ia wafat setelah melewati masa tahanan rumah, sakit tanpa mendapat perawatan yang layak, dan dijauhkan dari rakyatnya.

“Ironis dan tragis,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam,

Pemakaman Bung Karno di Blitar pun bukan atas kehendaknya. Dan inspektur upacara pemakamannya hanya dihadiri Jenderal Panggabean yang kala itu menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkomkamtib).

Jasa Bung Karno sebagai Bapak Bangsa, yang memerdekakan negeri ini, dan hingga akhir napas tetap berjuang melawan kolonialisme (dan neokolonialisme), seolah tak tercatat.

Padahal dalam urusan bongkar-membongkar kejahatan kolonialisme, Bung Karno adalah ahlinya. Hampir seluruh tulisan pada masa-masa awal karirnya mengupas kejahatan kolonialisme.

Kumpulan tulisan dari masa itu dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” (terbit ;pertama pada 1959), ingin meyakinkan orang tentang realitas penindasan itu, lengkap dengan data-data. Ia misalnya menulis kekayaan alam Indonesia yang dikeruk kolonialis.

“Kesengsaraan itu bukan ‘omong kosong’ atau ‘hasutan kaum penghasut’. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realitet yang gampang dibuktikan dengan angka-angka,” tulisnya.

Bung Karno juga sangat pandai menggali istilah untuk menggambarkan penderitaan rakyat. Salah satunya, “rakyat Indonesia hidup segobang sehari (2,5 sen).”

Rumus Bung Karno untuk melawan kolonialis itu lalu biasanya dengan tesa-antitesa-sintesa ini: “Rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir menjadi bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula kelak di kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi tingkat ketinggian itu!”

Bung Karno telah menyerahkan hidupnya sejak muda hingga wafat terus-menerus melawan kolonialisme. Untuk itu ia harus membayar dengan bui dan pembuangan ke tempat terpencil. [DAS/KG]

* tulisan ini pertama dimuat September 2016