Koran Sulindo – Seorang pejuang sesungguhnya tidak pernah memikirkan akan menjadi seorang pahlawan atau pecundang. Akan tetapi tak lantas itu menjadi pembenaran bahwa seorang pejuang akan bernasib tragis.
Barangkali kalimat ini cocok menggambarkan nasib seorang pejuang yang konsisten melawan kolonialisme dan kemudian neo-kolonialisme imperialisme (Nekolim). Publik mengenalnya dengan sebutan Bung Karno – proklamator dan juga presiden pertama RI.
Dalam sebuah simposium “Para Pembongkar Kejahatan Kolonial: Dari Multatuli Sampai Sukarno”, sejarawan Asvi Warman Adam membandingkan nasib Bung Karno dan Multatuli. Penulis buku Max Havelaar ini meninggal di Jerman pada 1887. Jenazahnya pun dikremasi. Sementara Bung Karno meninggal pada 1970 setelah melewati masa tahanan rumah, sakit tanpa mendapat perawatan yang layak seperti tokoh bangsa lainnya.
“Ironis dan tragis,” kata peneliti dan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu beberapa waktu lalu.
Menurut Asvi, perlakuan tersebut sungguh menjadi tidak adil. Sebab jasa Bung Karno boleh dikata sangat besar bagi bangsa ini terutama sikap anti-Nekolimnya. Pemakaman Bung Karno di Blitar pun atas kehendaknya. Dan inspektur upacara pemakamannya hanya dihadiri Jenderal Panggabean yang kala itu menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban periode 1969 hingga 1973.
“Itu sangat berbeda dengan upacara pemakaman Pak Soeharto yang langsung dipimpin oleh seorang presiden,” kata Asvi.
Sedangkan Daniel Dhakidae, Direktur Jurnal Prisma menuturkan, membaca karya Multatuli masih sangat relevan dengan keadaan sekarang. Terlebih kondisi Lebak, Banten, ia sebut masih tidak berbeda jauh dengan keadaan sekarang. Itu berarti pembangunan justru menciptakan ketidakadilan.
“Bayangkan hanya 100 orang menguasai separuh lebih aset nasional. Ketidakadilan ini mirip seperti yang digambarkan Multatuli dalam Max Havelaar,” kata Daniel.
Baca juga : Antara Multatuli dan Multituli
Daniel karena itu menganjurkan betapa pentingnya membaca karya Multatuli tersebut. Terutama bagi para elite politik dan anggota DPR yang berkantor di Kompleks Senayan, Jakarta.
Simposium ini diselenggarakan Majalah Historia bekerja sama dengan Perhimpunan Multatuli. Acara ini dihadiri Gubernur Banten Rano Karno dan Bupati Lebak Iti Octavia. Pemda Lebak kini sedang membangun Museum Multatuli dengan bantuan dana dari pemerintah Provinsi Banten. [KRG]