Sebuah desa miskin di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Ilustrasi)

Koran Sulindo – “Saya belum bisa memahami sepenuhnya mengapa pelaku kecil di sektor pertanian di pedesaan mengalami pemburukan, padahal dana desa mengalir deras, katanya petani dibantu habis-habisan (bagi2 traktor, pompa, bibit, dll), bahkan sudah ekspor juga,” demikian ditulis ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, pada akun Twitter-nya, @FaisalBasri, Jumat malam ini (3/8).

Beberapa jam sebelumnya, dengan membaca data statistik Badan Pusat Statistik, ia juga menuliskan, harga eceran beras telah melampaui harga patokan, naik jauh lebih cepat dari harga gabah kering di tingkat petani, masing-masing 20% dan 6,5%. “Peningkatan harga di tingkat petani jauh di bawah inflasi di pedesaan,” katanya.

Nilai tukar petani (total) Juni 2018 pun lebih rendah daripada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Nilai tukar petani tanaman pangan pada Juni 2018 naik tipis dibandingkan pada awal pemerintahan Jokowi-JK, tetapi turun tajam dalam 6 bulan terakhir,” tulis Faisal Basri. Upah riil buruh tani (pekerja informal di pedesaan), lanjutnya, dan upah riil buruh bangunan (pekerja informal di perkotaan) merosot dalam empat tahun terakhir.

Sebelumnya, 21 Juli lalu, setelah peluncuran buku The Great Shifting karya Rhenald Kasali di Rumah Perubahan, Bekasi, Jawa Barat, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Menteri Desa) Eko Putro Sandjojo mengatakan, dana desa berkontribusi besar terhadap penurunan angka kemiskinan.

Selama empat tahun, 2015-2018, dana desa yang dialokasikan APBN mencapai Rp 187,6 triliun. Memang, meski efeknya memang tidaklah mudah, jumlah penduduk miskin di desa turun signifikan. Maret 2018, jumlah penduduk desa dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan tinggal 15,81 juta, turun 3,07% dari posisi September 2017 yang sebanyak 16,31 juta.

Kata Eko, “Dari persentase, penduduk miskin sudah tinggal satu digit dan itu tak lepas dari penurunan angka kemiskinan di pedesaan dalam beberapa tahun terakhir.”

Sementara itu, Data BPS menunjukkan, penduduk miskin absolut—mereka dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan—turun 633.200 jiwa dari posisi September 2017, menjadi 25,95 juta atau 9,82% pada Maret 2018. Pada September 2017, ada 26,58 juta orang atau 10,12%.

Kalau dibandingkan dengan periode Maret 2017, jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 telah turun sebanyak 1,82 juta orang. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan turun menjadi 7,02% pada Maret 2018 dari posisi September 2017 yang 7,26%. Akan halnya persentase penduduk miskin di perdesaan turun menjadi 13,20% pada Maret 2018 dari posisi September 2017 sebesar 13,47%.

Dalam rentang waktu September 2017 sampai Maret 2018, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun 128.200 orang, dari 10,27 juta orang pada September 2017 menjadi 10,14 juta orang pada Maret 2018. Untuk daerah perdesaan turun sebanyak 505.000 orang, dari 16,31 juta orang pada September 2017 menjadi 15,81 juta orang pada Maret 2018.

Lebih jauh Eko mengatakan, pemanfaatan dana desa yang semakin baik berkontribusi pada penurunan 1,2 juta penduduk miskin setahun terakhir. Dalam empat tahun terakhir, sejak 2015, katanya, Presiden Joko Widodo sudah mengalokasikan Rp 187,6 triliun dana desa.

Diakui Eko, dana desa pada awalnya bermasalah karena kepala desa belum siap. “Sekitar 60 persen kepala desa kita hanya tamat SD dan SMP. Namun, komitmen dari Bapak Presiden kuat sekali. Beliau meminta terus diberikan pendampingan dan ternyata Bapak Presiden benar. Penyerapan membaik dan dana desa dinaikkan dua kali lebih,” katanya.

Pada tahun 2015, dana desa mulai dikucurkan, sebesar Rp 20,76 triliun. Pada 2016, alokasi untuk dana desa naik dua kali lipat, menjadi Rp 46,9 triliun. Tahun 2017 meningkat lagi menjadi Rp 60 triliun. Untuk tahun 2018 ini, dana desa tetap Rp 60 triliun.

Tahun 2016, penyerapan dana desa mencapai 92% dan tahun 2017 meningkat lagi menjadi 98,4%. “Ini membuktikan kepala desa dan masyarakat desa juga belajar,” ujar Eko.

Ia juga mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, desa mampu membangun sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah Republik Indonesia. Misalnya desa mampu membangun lebih dari 120.000 kiliometer jalan desa, puluhan ribu pendidikan anak usia dini (PAUD), poliklinik desa, dan posyandu. Desa juga telah membangun 102.000 unit tempat mandi-cuci-kakus (MCK) dan 32.000 kilometer drainase di seluruh Indonesia.

“Dalam tiga tahun terakhir ini, tidak ada demam berdarah lagi. Dengan adanya Desa Mandiri Peduli Api yang bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta, kebakaran hutan selama dua tahun ini bisa kita atasi,” kata Eko.

Toh, dia juga mengakui, masih ada desa yang tertinggal. Kunci sukses pemanfaatan dana desa, kata Eko, ada di tangan kepala desa dan masyarakatnya. Dana desa diberikan kepada masyarakat desa dan pemanfaatannya ditentukan oleh masyarakat melalui musyawarah. Hasil kesepakatan dilaksanakan oleh kepala desa dengan seluruh jajarannya.

Harus diakui, dana desa yang disebar ke 74.000 desa memang bermanfaat. Tapi,  dana desa itu belum memiliki efek ganda (multiplier effect) yang besar. Memang, tingkat kemiskinan secara agregat menurun, namun penurunan itu lebih didominasi oleh naiknya pengeluaran penduduk miskin di perkotaan.

Distribusi pengeluaran 40% masyarakat terbawah di desa turun dari 20,36% menjadi 20,15% dalam satu tahun terakhir. Itu sebabnya, indeks ketimpangan secara umum turun ke 0,389, tapi ketimpangan di desa justru naik ke 0,324.

Yang perlu diperhatikan juga inflasi pada bulan lalu, Juli 2018, yang menempatkan bahan pangan pada daftar penyumbang besar inflasi. Desa sebagai produsen pangan mengalami inflasi yang tinggi karena naiknya harga bahan pangan. Bila inflasi pangan semakin tinggi, jumlah pendudukan miskin pun niscaya akan bertambah. [PUR]