Menguak Nasib Anggota Gerwani (Paska Kejadian 1 Oktober 1965)

ilustrasi logo dan anggota gerwani (foto: tribunnewswiki.com)

Sudah begitu banyak penelitian ilmiah yang dilakukan untuk menguak nasib para anggota Gerwani paska G30S. Salah satu peneliti terkemuka yang konsisten menelaah Gerwani adalah Saskia Eleonora Wieringa, Profesor Gender dan Perempuan serta Hubungan Sesama Jenis, dari Universitas Amsterdam.

Menurut Wieringa seperti terdapat dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan (2010, hlm. 425), Gerwani sebagai organisasi tidak pernah terlibat kudeta pada 1 Oktober 1965. Pada 30 September malam, justru terjadi kebingungan dalam internal Gerwani di tingkat pusat. Suharti Suwarno, seorang anggota Gerwani berpaham komunis garis keras, datang ke kantor pusat Gerwani sambil membawa pesan dari partai, yakni dibutuhkan beberapa tenaga perempuan untuk mengurus konsumsi bagi peserta pelatihan Operasi Ganyang Malaysia di Lubang Buaya dan Halim. Namun pada 30 September itu, para pengurus Gerwani di kantor pusat heran dengan permintaan Suharti untuk menyediakan tenaga untuk latihan Dwikora. “Menurut mereka, hal itu belum pernah dibahas dalam rapat. Meski demikian Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat Gerwani, Sulami, menyanggupi permintaan Suharti,” kata Saskia seperti tertulis dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca kejatuhan PKI.

Seorang sukarelawan bernama Siti Arifah, kepada Saskia pada Februari 1983, menceritakan peristiwa yang ia lihat di Lubang Buaya. “Saya menyaksikan para serdadu membunuh beberapa orang jenderal, kemudian saya lari pulang. Saya ditangkap pada jam sembilan pagi, lalu ditahan di penjara selama dua minggu. Saya diinterogasi dan dicambuki. Mereka memaksa kami telanjang bulat dan menari-nari di depan mereka,” kata Siti seperti dituturkan dalam buku karya Saskia.

Setelah peristiwa itu, beredarlah berbagai dongeng tentang kekejaman dan aksi tak senonoh yang dilakukan Gerwani. Para perempuan Gerwani diterpa isu melakukan tarian telanjang dan menyileti kemaluan para perwira.

Ada pula Ann Pullman, peneliti Queensland University yang mendalami bentuk kejahatan massal berbasis gender paska Peristiwa 1965, khususnya kejahatan terhadap perempuan. Ann mewawancarai sekitar 150 perempuan eks tapol (tahanan politik) dan sekitar 30 bekas istri tapol. Di tempat-tempat yang ditelitinya, antara lain Jakarta, Surakarta, dan Yogyakarta, dia mendapatkan bahwa bentuk kejahatan terhadap perempuan banyak yang unik, tak ada di tempat lain. Kejahatan fisik misalnya, berupa penggundulan kepala para perempuan tapol atau istri tapol.

“Penghinaan yang terjadi (itu) agar perempuan itu malu dan ternoda,” kata Ann. Pada masa itu, pandangan miring masyarakat kepada perempuan berambut pendek, apalagi botak, masih kuat.

Menurut Ann, bentuk kejahatan lain yang tak kalah bejatnya, yaitu mencari logo Palu Arit di sekitar kemaluan perempuan. Pelecehan itu terjadi di tempat-tempat interogasi. Sambil menginterogasi, para interogator memerintahkan para perempuan untuk menanggalkan pakaian. Mereka berdalih untuk mencari logo Palu Arit yang disembunyikan.
“Tentu saja militer itu bisa melihat bagian dalam tubuh perempuan,” kata Ann. Setelah tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka, interogator lalu menggerayangi dan memperkosa mereka.

Tahun 2011, Gramedia menerbitkan buku berjudul Aku Bukan Jamilah. Buku itu berisi pengakuan Jemilah, yang namanya selama itu disebut sebagai Jamilah. Jemilah adalah gadis kampung asal Pacitan, Jawa Timur. Ia bercerita, baru saja menikah dengan pria bernama Haryanto dan tinggal di Jakarta sejak 1965. Suami Jemilah adalah aktivis SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia adalah federasi serikat buruh permanen yang pertama kali dibentuk di Indonesia).

Baru beberapa bulan Jemilah menikah, meletus peristiwa G30S. Jemilah pun berencana pulang kampung. Namun di tengah perjalanan menuju terminal bus, kendaraan yang ditumpanginya dicegat tentara. Ketika itu tentara sedang mencari seseorang bernama Atikah Jamilah. Atikah Jamilah itulah yang menurut militer mencungkil mata para jenderal. Jemilah lalu dibawa ke kamp dan diinterogasi. Lewat berbagai penyiksaan, akhirnya ia terpaksa mengaku sebagai Atikah Jamilah. Setelah itu hampir seluruh media menyantap rekayasa informasi atas nama Jamilah.

Tragis memang, stigma buruk terus melekat pada organisasi Gerwani dan para perempuan anggotanya, akibat propaganda buruk di zaman Orde Baru yang tidak jujur atas fakta dan data. Walaupun para mantan aktivis Gerwani sudah membantah tuduhan-tuduhan itu sebagai tuduhan palsu. Ironisnya para perempuan ini terus terbelenggu akan stigma tersebut. [NoE]