INDONESIA adalah salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia. Sejak tahun 2005, ketika melampaui produksi Australia, Indonesia menjadi eksportir terdepan batubara thermal.
Porsi signifikan dari batubara thermal yang diekspor terdiri dari jenis kualitas menengah (antara 5100 dan 6100 cal/gram) dan jenis kualitas rendah (di bawah 5100 cal/gram) yang sebagian besar permintaannya berasal dari Cina dan India. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, cadangan batubara Indonesia diperkirakan habis kira-kira dalam 83 tahun mendatang apabila tingkat produksi saat ini diteruskan.
Berkaitan dengan cadangan batubara global, Indonesia saat ini menempati peringkat ke-9 dengan sekitar 2.2 persen dari total cadangan batubara global terbukti berdasarkan BP Statistical Review of World Energy. Sekitar 60 persen dari cadangan batubara total Indonesia terdiri dari batubara kualitas rendah yang lebih murah (sub-bituminous) yang memiliki kandungan kurang dari 6100 cal/gram.
Dengan tingkat produksi saat ini (dan apabila cadangan baru tidak ditemukan), cadangan batubara global diperkirakan habis sekitar 112 tahun ke depan. Cadangan batubara terbesar ditemukan di Amerika Serikat, Russia, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan India.
Produsen Batubara Terbesar pada Tahun 2016
Kinerja pertumbuhan yang positif ini melanjutkan kinerja tahun 2021 yang juga positif. Meskipun kinerja tahun 2020 turun cukup dalam akibat adanya kebijakan pembatasan aktivitas untuk mencegah penyebaran covid 19.
Nasib Industri Batubara Nasional
Dalam tulisan Moch. Dani Pratama Huzaini dalam Melihat Masa Depan Industri Batubara Nasional Akibat Proses Transisi Energi menyebutkan bahwa berdasarkan data terakhir BP Statistical Review of World Energy, cadangan terbukti (proven reserve) batubara nasional di akhir tahun 2019 mencapai 39,9 miliar ton (atau sebanyak 3,7% dari total cadangan dunia) yang didominasi oleh batubara kalori menengah dan rendah masing-masing sebanyak 62% dan 38%. Dalam satu dekade terakhir (2010-2019), 80-88% produksi batubara nasional di ekspor sebagian besar ke Tiongkok (27%), India (26%), Korea Selatan (10%), Jepang (9%), dan Taiwan (7%) untuk menyuplai PLTU di negara-negara ini.
Dari perspektif lainnya, peran batubara ini justru mengindikasikan kerentanan yang tinggi dari industri yang sangat bergantung kepada perkembangan tren PLTU global, dan khususnya di kelima negara tujuan ekspor tersebut. Transisi energi, yang didorong oleh penurunan biaya teknologi energi terbarukan, tekanan publik untuk mengendalikan polusi udara, dan tekanan global untuk mengatasi perubahan iklim, akan mendisrupsi status quo dari batubara, yang cepat atau lambat, akan berdampak pada keberlangsungan industri batubara di tanah air.
Di dalam negeri, 82% konsumsi batubara nasional sepanjang periode 2019, digunakan untuk membangkitkan listrik dari PLTU di Jawa dan Sumatera. Dari statistik ini, jelas menunjukkan bahwa batubara memiliki peranan penting dalam perekonomian dan sektor kelistrikan Indonesia. Namun sejak 2006, tren perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) global, yang selama ini menjadi konsumen terbesar industri batubara, sudah mulai mengalami penurunan yang utamanya karena faktor perubahan iklim dan polusi serta keekonomian teknologi alternatif dari energi terbarukan yang sudah semakin kompetitif.
Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul Energy Transition in Power Sector and the Implication to Coal Industry, yang diluncurkan pada 13/10/2020 menyoroti perkembangan dan tren transisi energi terbarukan, khususnya di berbagai negara tujuan ekspor batubara Indonesia dan di Indonesia, yang ternyata berimplikasi terhadap perkembangan industri batubara dan sistem ketenagalistrikan nasional.
Kebijakan Baru: Stop Ekspor Batubara
Kementerian ESDM melalui melalui surat Ditjen Minerba nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 yang diterbitkan pada 31 Desember 2021, resmi melarang perusahaan pertambangan batubara untuk melakukan kegiatan ekspor batu bara. Terutama, kepada perusahaan batu bara yang tidak memenuhi kuota Domestic Market Obligation (DMO) batubara ke dalam negeri. Ketentuan DMO perusahaan batubara ke dalam negeri sesuai dengan ketentuan minimal 25%.
Menurut Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral Dan Batubara, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko, kebutuhan batubara domestik untuk listrik bagi kepentingan umum menjadi prioritas Pemerintah. Oleh karena itu untuk menjamin pasokan batubara untuk listrik bagi kepentingan umum, pemerintah mengatur persentase minimum kewajiban DMO dan harga jual batubara untuk listrik.
Sujatmiko mengatakan, sebagai payung hukum keberpihakan tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 yang mengatur lebih spesifik tentang kewajiban pemenuhan batubara untuk kebutuhan dalam negeri, yaitu minimal 25% dari rencana produksi yang disetujui dan harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebesar US$ 70 per metrik ton.
Bagi perusahaan yang tidak memenuhi kontrak pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri, dikenakan sanksi berupa larangan ekspor. Salah satu bentuk sanksi bagi perusahaan pertambangan dan trader, dikecualikan bagi perusahaan yang tidak memiliki kontrak penjualan dengan industri pengguna batubara dalam negeri.
Larangan ekspor tersebut dapat dicabut setelah perusahaan pertambangan dan trader memenuhi pasokan batubara sesuai dalam kontrak penjualan. Selain larangan ekspor, sanksi denda juga diterapkan kepada perusahaan batubara yang tidak memenuhi kontrak pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri.
Yang jelas, kata Hendra, perusahaan yang masuk dalam APBI berkomitmen memenuhi kebutuhan batubara untuk kebutuhan PLN sebagai upaya mencegah terjadinya pemadaman listrik di PLTU milik PLN. “Kita akan all out memastikan untuk PLN. Sehingga ekspor masih tetap berjalan bagi perusahaan,” tandas Hendra Sinadia Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI). [S21]