Nasi Goreng di Meja Politik

Ilustrasi (AI/AT)

Cacatan Cak AT:

Di panggung HUT PDIP ke-52, Megawati Soekarnoputri berbicara tentang nasi goreng —sebuah metafora sederhana namun sarat makna yang langsung menjadi buah bibir. Kisahnya tentang Prabowo Subianto yang “rindu” nasi goreng buatannya tidak hanya memancing tawa, tetapi juga mengisyaratkan arah politik partai banteng itu.

Cerita ini kemudian diikuti dengan kepastian dari pengurus PDIP bahwa partai mereka akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto. Tentu, PDIP tak berharap mendapatkan kursi di kabinet, karena jatah tersebut telah terisi penuh. Namun, jika Prabowo berkenan, kursi itu pasti akan datang kepada mereka pada waktunya.

Dalam kacamata demokrasi, keputusan PDIP ini layaknya mendengar bahwa semua pemain sepak bola dalam satu liga tiba-tiba memutuskan untuk bermain di tim yang sama. Indah untuk persatuan? Mungkin, tapi apa indahnya bagi penonton? Bayangkan, tanpa lawan yang betul dilawan, siapa yang akan memastikan permainan tetap adil?

Keputusan PDIP ini, jika benar-benar terealisasi, memastikan bahwa tidak akan ada oposisi di parlemen. Koalisi Indonesia Maju (KIM) kini menjadi plus plus plus, mencakup 14 partai peserta Pemilu atau lebih. Dengan semua partai berkoalisi dan berada di kubu pemerintah, siapa yang akan menjadi suara rakyat?

Diplomasi nasi goreng ala Megawati bukanlah sekadar cerita nostalgia dapur. Ini representasi dari gaya politik khas Indonesia: penuh keakraban, tapi sarat pesan tersirat dalam simbol yang mudah ditebak. Dalam konteks ini, nasi goreng menjadi simbol kesepahaman dan komitmen. Hal sama sudah mereka lakukan sejak dua dekade lalu.

Namun, di balik itu, keputusan untuk bergabung dengan pemerintahan Prabowo juga mengandung risiko yang serius bagi demokrasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi sebagai pengimbang, tapi Indonesia tampaknya sedang menuju pola konsensus total, yang lebih menyerupai oligarki terselubung daripada sistem demokrasi murni.

Mari kita melirik India, demokrasi terbesar di dunia. Di sana, oposisi tetap menjadi elemen penting meski partai penguasa, Bharatiya Janata Party (BJP), memiliki mayoritas besar di parlemen. Kongres Nasional India, sebagai oposisi utama, terus memainkan peran penting dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, mengajukan alternatif, dan memobilisasi opini publik.

India memahami bahwa oposisi adalah bagian dari kontrak sosial demokrasi, bukan sekadar pelengkap. Sebaliknya, di Indonesia, sistem presidensial kita sering kali disalah-artikan seolah tidak memerlukan oposisi. Dikatakan, sistem oposisi tidak dikenal dalam politik di negara yang menganut Pancasila dan UUD 1945.

PDIP dan partai-partai lain tampaknya nyaman mengadopsi pendekatan “semua mendukung demi stabilitas,” tetapi apa jadinya jika stabilitas ini melahirkan stagnasi dan status quo? Demokrasi tanpa oposisi tak ubahnya seperti sup tanpa garam —hambar, tidak menggugah, dan berisiko membosankan.

Dalam demokrasi yang sehat, oposisi bukanlah sekadar bagi-bagi kursi di kabinet, tapi soal kontrol terhadap kekuasaan. Tanpa kontrol ini, kita mungkin hanya sedang berada dalam pertunjukan besar di mana hanya satu aktor yang berperan. Dan itu bukanlah demokrasi, itu hanya monolog politik yang tidak ada habisnya.

Oposisi bukanlah sekadar pilihan; ini syarat mutlak bagi demokrasi. Tanpa oposisi, pemerintah tidak memiliki dorongan untuk berinovasi, transparan, atau bertanggung jawab. Dengan semua partai bersatu di bawah bendera koalisi, fungsi checks and balances akan tergerus. Mereka nyaman, tapi rakyat kehilangan wakil yang sesungguhnya.

Parlemen yang seharusnya menjadi arena diskusi dan debat sehat akan berubah menjadi panggung formalitas belaka, tempat undang-undang disahkan tanpa kritik atau evaluasi. Kita sudah mengalami hal ini di era pemerintahan Jokowi. Lebih buruk lagi, pimpinan partai-partai yang berkoalisi tambah keok karena tersandera ancaman pasal korupsi.

Dalam kondisi seperti ini, apakah masih ada harapan untuk demokrasi Indonesia? Jika oposisi formal di DPR benar-benar menghilang, kita semua mungkin akan berpikir, “Oh, jadi siapa yang akan memberi keseimbangan?” Jawabannya, bisa jadi media atau gerakan masyarakat sipil.

Tetapi dengan syarat: masyarakat harus lebih aktif mengawasi, media harus lebih kritis, dan tokoh-tokoh independen perlu bersuara lebih lantang. Jika elite politik terus melanggengkan monopoli kekuasaan tanpa oposisi, rakyatlah yang akan menjadi oposisi sejati. Mau kita begitu.

Tapi, mari kita lihat dulu kondisi keduanya, karena kalau dilihat-lihat, keduanya sepertinya lebih mirip pahlawan yang terpaksa memakai topeng. Sebab, mereka sedang beroperasi di tengah ancaman kekuatan yang lebih besar.

Media, yang seharusnya menjadi mata dan telinga rakyat, sering kali lebih mirip teman yang bisa memberi informasi, tapi dengan sedikit “filter”. Ada banyak media yang dengan bangga mengklaim independen, tapi coba perhatikan siapa yang bayar mereka untuk iklan.

Kalau media didanai oleh perusahaan yang juga memegang saham di berbagai sektor penting, apakah mereka masih bisa berbicara keras-keras tanpa takut rugi? Tentu saja, mereka harus hati-hati. Ancaman kebangkrutan pun menghadang di depan mata.

Lagi pula, kita tahu media yang berani mengkritik pemerintah mungkin mendapat ‘surat cinta’ berupa laporan pidana atau ancaman. Sementara itu, media yang terlalu lembut, ya, bisa jadi dianggap sebagai penonton setia yang lebih suka menonton drama politik tanpa terlalu banyak ikut campur.

Gerakan masyarakat sipil, di sisi lain, bisa jadi sahabat terbaik dalam situasi ini, jika saja mereka tidak terpecah belah dan kehilangan fokus. Lihat saja, berbagai ormas dan LSM yang ada di Indonesia. Semua punya tujuan mulia, tetapi kadang-kadang, terlalu banyak fokus pada perbedaan daripada mencari kesamaan.

Ditambah lagi, banyak dari mereka yang kadang lebih cepat dikooptasi oleh kepentingan politik, sehingga alih-alih menjadi suara rakyat, mereka malah jadi suara yang terdengar sangat mirip dengan suara partai penguasa. Bahkan, ketika masyarakat sipil mulai bergerak, ada saja yang berpikir, “Oh, ini pasti ada agenda tersembunyi, kan?”

Tentu saja, tantangan terbesar gerakan ini: menjaga kebersihannya di tengah godaan kekuasaan.

Sementara itu, tanpa oposisi yang tegas di DPR, kita hanya bisa berharap pada ‘keberanian’ dari kedua aktor ini —media dan masyarakat sipil— untuk berbicara lantang. Tetapi bagaimana mereka bisa bertindak sebagai pengimbang yang efektif, jika mereka hanya memiliki suara di ruang yang sering kali terisolasi?

Media bisa menulis cerita, tetapi jika tidak ada kekuatan hukum untuk mendukung mereka, ya, mereka hanya akan menjadi cerita yang hilang dalam riuhnya kabar politik lainnya. Begitu juga dengan gerakan masyarakat sipil yang bisa saja bersuara keras, tapi tanpa kekuatan struktural di legislatif, mereka hanya akan jadi lonceng yang berbunyi di tengah kesunyian.

Akhirnya, politik nasi goreng Megawati memang berhasil mencairkan suasana dan mendekatkan hubungan. Namun, pertanyaan kritisnya: apakah nasi goreng ini cukup untuk menyelamatkan demokrasi kita dari kehilangan oposisi? Atau, justru ia menjadi simbol baru dari politik tanpa warna, di mana semua pihak berbaris dalam satu nada, sementara rakyat hanya bisa menjadi penonton belaka?

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis