Koran Sulindo – Pada suatu Rabu September 2020. Puluhan nasabah asuransi WanaArtha Life menggelar aksi unjuk rasa di kantor pusat perusahaan itu di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Para pemegang polis ini menuntut perusahaan dengan nama lengkap PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha itu untuk membayarkan kewajibannya kepada para nasabah.
Sejak Februari lalu, WanaArtha memang tak lagi mencairkan polis yang jatuh tempo. Selain itu, sejak Maret 2020, WanaArtha juga tak lagi membayarkan manfaat nilai tunai kepada para pemegang polis. WanaArtha Life sedang terseret kasus tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Pihak Kejaksaan Agung pun memblokir rekening efek milik WanaArtha karena diduga ada transaksi yang terkait dengan kasus Jiwasraya.
Jiwasaraya, perusahaan asuransi milik pemerintah ini, juga mengalami gagal bayar kewajiban kepada para nasabahnya sejak tahun lalu karena kesulitan likuiditas akibat ketidakhati-hatian dalam mengelola portofolio investasi. Manajemen Jiwasraya menerbitkan produk saving plan dengan janji imbal hasil yang besar. Untuk mencapai imbal hasil yang besar itu, produk investasi yang dipilih adalah pada reksa dana saham dan saham secara langsung yang memiliki karakteristik berisiko tinggi. Produk seperti ini rentan terhadap risiko pasar. Bila pasar saham dalam kondisi bagus (bullish), investasi akan mendapatkan imbal hasil yang tinggi (high return). Sebalinya dalam kondisi pasar yang tidak bagus (bearish), yang terjadi adalah kerugian (high risk). Jiwasraya mengalami kerugian investasi sejak tahun 2019 lalu karena kondisi pasar saham yang secara umum bearish ditambah saham-saham yang diplih juga berkinerja kurang bagus.
Pada Januari lalu, para nasabah Jiwasaraya ini juga bolak-balik menggelar unjuk rasa di kantor Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Para nasabah menuntut pemerintah sebagai pemegang saham Jiwasaraya mengembalikan dana mereka.
Pada awal Agutus tepatnya Jumat (7/8) lalu, aksi unjuk rasa di kantor perusahaan asuransi juga dilakukan oleh nasabah PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life). Puluhan nasabah Kresna Life juga mengalami masalah gagal bayar untuk dua produk asuransi yang ditawarkan Kresna Life yaitu Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK). Para nasabah memprotes skema penyelesaian sepihak yang dibuat manajemen.
Tiga kasus gagal bayar pada perusahaan asuransi jiwa ini merupakan potret buram industri asuransi jiwa di Indonsia. Secara korporasi, kasus-kasus ini menggambarkan lemahnya praktik Good Corporate Governance (GCG). Hal ini juga bersumber dari masih lemahnya regulasi meski sejak 2011 lalu Indonesia sudah memiliki lembaga khusus yang bertugas mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan termasuk asuransi yaitu OJK. Dan, nasabah pun menjadi pihak yang paling dirugikan ketika masalah terjadi.
Aturan Asuransi
OJK sendiri mengakui pengaturan dan pengawasan di Industri Keuangan Non Bank (IKNB) termasuk di dalamnya asuransi belum sebaik perbankan. “Makanya di dalam transformasi IKNB ini kita mengambil benchmark ke sistem pengawasan yang ada di perbankan tetapi tentu menyesuaikan dengan kondisi perasuransian kita. Oleh sebab itu beberapa ketentuan terus kita perbaiki antara lain yang menyangkut rencana bisnis, kemudian mengenai tingkat kesehatan dan concentration risk,” ujar Riswinandi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non-Bank sekaligus anggota Dewan Komisioner OJK dalam sebuah acara akhir Agustus lalu.
Dalam hal rencana bisnis, misalnya, kata Riswinandi, rencana bisnis perusahaan asuransi ini sangat penting untuk diperbaiki. Dalam rencana bisnis ini, antara lain perusahaan asuransi harus menyampaikan produk baru yang akan dipasarkan. “Kalau tidak ada di dalam rencana bisnis, kita tidak setujui,” ujar Riswinandi.
Rencana bisnis ini juga hanya bisa diperbaharui satu kali setiap tahunnya. Model seperti ini sudah lama diterapkan di perbankan dimana setiap tahun bank yang menyampaikan Rencana Bisnis Bank (RBB) yang biasanya diperbaharui pada pertengahan tahun. “Jadi, ini kita betul-betul ingin well planing di dalam pengoperasian industri asuransinya,” ujar Riswinandi.
Selain rencana bisnis, hal penting lainnya yang perlu ditata pada industri asuransi adalah terkait kebijakan investasi. Riswinandi mengungkapkan sekitar 80% investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi jiwa di Indonesia menggunakan instrumen pasar modal seperti saham dan obligasi serta turunannya seperti reksa dana. Selain itu, perusahaan-perusahaan asuransi juga banyak memasarkan produknya melalui bank (bancassurance). Karena itulah, diperlukan pengawasan terintegrasi antara pengawas asuransi, pasar modal dan perbankan.
“Contoh misalnya untuk industri asuransi yang ingin memasarkan produknya melalui bank yang biasa kita sebut bancassurance, sistemnya sekarang kita di IKNB menyentujui produknya, bahwa akan dilakukan penjualan melalui bank berikut mekanisme review terhadap risikonya itu akan dilihat dulu teman-teman pengawas bank. Jadi ini teringrasi,” ujar Riswinandi.
Integrasi dalam pengawasan juga perlu dilakukan antara pengawas asuransi (IKNB) dengan pengawas pasar modal. Sebab, seperti disebutkan 80% investasi pada produk asuransi dilakuakn di pasar modal.
“Jadi kita harus berintegrasi dengan pengawas pasar modal mengenai kondisi dari masing-masing instrumen. Kita memabangun sistem supaya pengetahuan pengawas terhadap investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi bukan hanya berdasarkan laporan bulanan atau berkala yang disampaikan oleh perusahaan asuransi tetapi secara proaktif kita masuk ke sistem yang ada di teman-teman pengawas pasar modal untuk bisa kita lebih dulu tahu dia itu sebenarnya punya apa, ada konsentrasi [investasi] dimana, karena berbagai cara bisa dilakukan untuk melakukan investasi ini. Jangan sampai terjadi investasi di saham tetapi di saham grupnya sendiri yang juga merupakan public company,” kata Riswinandi.
Berbagai rencana regulator ini diharapkan tidak hanya sekedar wacana, tetapi betul-betul diimpelementasikan. Karena bila tidak, maka korban-korban baru industri asuransi akan tetap bermunculan pada tahun-tahun yang akan datang. [Julian A]