Bendera Merah-Putih berkibar di muka kantor pos di pusat Kota Gorontalo, di depan rumah Asisten Residen Korn, di depan asrama kantor polisi kolonial Hindia Belanda, di toko-toko, dan di rumah-rumah. Sekitar pukul 10.00 pagi, alun-alun Kota Gorontalo dipenuhi ratusan warga, menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara parau, karena diselingi sedu-sedan haru. Pemimpin mereka seorang pemuda berusia 35 tahun.
Namanya Nani Wartabone, yang menjadikan hari itu, Jumat, 23 Januari 1942, menjadi hari yang menegangkan bagi penduduk Gorontalo, sebuah daerah yang kini dijuluki Serambi Madinah. Pemuda itu memimpin sejumlah pemuka rakyat membuat pergerakan penangkapan terhadap pejabat-pejabat Belanda—yangsudah patah arang akibat kemajuan tentara Jepang. Padahal, Belanda sempat merencanakan melumpuhkan Gorontalo dengan membumihanguskan gudang kopra dan minyak di wilayah Pabean dan Talumolo.
Nani mencium rencana itu.Ia dengan cepat melakukan mobilisasi rakyat, tidak saja warga Kota Gorontalo, tetapi jugawarga perkampungan sekitarnya, seperti Suwawa, Kabila, dan Tamalate.
Nani dan para pemuka rakyat mengadakan rapat rahasia di rumah Kusno Danupoyo. Tokoh ini keturunan Jawa yang dahulu diasingkan pemerintah kolonial ke Tondano.
Hasil pertemuan itu:pembentukanKomite 12 sebagai wadah perjuangan. Pengurus inti komite ini adalah Nani Wartabone (ketua), Kusno Danupoyo (wakil ketua), Oe.H. Buluati (sekretaris), dan A.R.Ointoe (wakil sekretaris). Anggotanya: Usman Monorfa, Usman Hadju, Usman Tumu, A.G.Usu, M.Sugondo, R.M.Danuwatio, Sagaf Alhasni, dan Hasan Badjeber.
Gerakan rakyat ini bersenjata lembing dan keris. Mereka menangkap Kontroleur D’anconna, Asisten Residen Korn, Komandan Polisi R.Cooper sejak dini hari.
Memang sulit dipercaya mengapa tak ada pasukan Belanda yang menghalangi gerakan rakyat tersebut. Tapi, pasukan militer Belanda ketika itu telah mengundurkan diri dan polisi-polisi yang berkebangsaan Indonesia memilih bergabung dengan gerakan yang dipimpin Nani. Mereka bahkan ikut melakukan penangkapan.
Hebatnya: tidak ada pembunuhan terhadap orang Belanda. Juga tidak ada tembakan sekalipun. Yang ada adalah sebuah spanduk putih di muka kantor pos: “Siapa yang mencuri akan ditembak mati!”
Gorontalo punya penduduk minoritas: Tionghoa dan Arab. Mereka umumnya pedagang perentara dan ketika itu malah membuka tokonya lebar-lebar. “Kami netral!” begitu kata mereka. Dan, tidak ada penjarahan pada peristiwa yang krusial tersebut.
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG), yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Dia praktis menjadi kepala pemerintahan militer dan Kusno Danupujo menjadi kepala pemerintahan sipil daerah Gorontalo. Polisi menjadi tulang punggung alat pertahanan. Panglimanya ialah Pendang Kelengkongan, yang gemar mengendarai sepeda motor Ariel.
Nani juga membentuk standwatch yang dipimpin Kapten Ibrahim Mohammad. Wilayah yang “merdeka” itu meliputi daerah Gorontalo ke timur sampai Mobibagu dan Kaidipan Besar dan ke barat sampai Buol Toli-toli,suatu wilayah dengan populasi sekitar 300 ribu jiwa.
Untuk sementara rakyat Gorontalo menyambut gembira perebutan kekuasaan dari Belanda. Anak-anak sekolah dan para pandu bersukacita. Apalagi, pada malam hari telah diperbolehkan menyalakan lampu lagi. Karena, pada waktu Perang Pasifik pecah dan gelombang penyerbuan tentara Jepang ke Asia Tenggara sulit dibendung, otoritas Belanda memerintahkan pemadaman lampu waktu malam hari.
Pendiri PNI Gorontalo
Abdul Kadir Wartabone, demikian nama asli pemuda yang karib dipanggil Nani Wartabone, lahir di Sumawa, Sungai Bone, Gorontalo, pada 30 April 1907. Nani adalah nama panggilan kesayangan orangtua dan saudara-saudaranya. Ayahnya, Zakaria Wartabone, adalah kepala distrik yang bekerja untuk Hindia Belanda dan pemilik sebidang tanah. Ibunya keturunan bangsawan.
Tidak terlalu banyak informasi yang didapat soal pendidikan Nani. Dia hanya disebutkan bersekolah di MULO Tondano dan kemudian melanjutkan pendidikan sampai ke Surabaya. Nani mengikuti pamannya, Rasjid Tangahu Wartabone, yang bekerja di Institut Buys, lembaga yang dimiliki orang Belanda. Saat ibunya jatuh sakit dan berobat ke Surabaya, Nani Wartabone ikut mendampingi ibunya dan bersekolah di sana.
Surabaya rupanya tempat Nani Wartabone mengenal pergerakan nasional. Pertemuannya dengan para tokoh pemuda, seperti Muhamad Yamin, Soetomo, Tjokroaminoto, dan akhirnya ia mengenal Soekarno. Nani pada awalnya hanya mendengar, menyimak, dan berdialog dengan para tokoh tersebut. Tak banyak kiprahnya di Surabaya terkecuali mendirikan Jong Gorontalo pada 1923, ketika ia masih berusia 16 tahun.
Pandangan para tokoh itu tentang cinta Tanah Air rupanya sangat berpengaruh pada diri Nani Wartabone. Kertika kembali ke Gorontalo, ia pun mendirikan Persatuan Tani Gorontalo, November 1927. Tahun 1928, ia kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia(PNI) cabang Gorontalo.
Nani menjadi berpandangan anti-Barat dan terkadang ekstrem,misalnya menolak pendidikan Belanda yang ia anggap memuja keunggulan bangsa Barat. Itu sebabnya, tahun 1932, Nani mendirikan Sekolah Desa Muhamadyah di Suwawa. Setahun kemudian, ia juga mendirikan Koperasi Muhamadyah di Gorontalo.
Ketika di Jawa terjadi gerakan Indoensia berparlemen pada 1930-an akhir, Nani ikut melibatkan diri pada gerakan ini untuk wilayah Indonesia Timur.Ini berawal pada tahun 1939, ketika Abikusno Tjokrosujoso mengadakan rapat Gerakan Indonesia Berparlemen (Gapi) di Manado. Sebagai lanjutannya adalah sebuah kongres yang rencananya diadakan pada 10 Desember 1941. Ketua panitia kongres itu adalah Kusno Danupujo, yang menjadi kawan seperjuangan Nani Wartabone.Gerakan ini tidak terendus para pejabat pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo.
Fenomena lain yang menarik di Gorontalo: ketika Gapi di pusat mengalami friksi dengan keluarnya Gabungan Gerakan Islam (MIAI), di daerah tidaklah demikian. Muhamadyah dengan tokohnya Us Hadju, Achmad Hippij mewakili PSII dan juga Partai Arab Indonesia justru menjadi satu kesatuan ikut dalam rapat-rapat yang membicarakan apa yang akan dilakukan dengan pecahnya Perang Pasifik. Nani Wartabone juga terlibat. Dia bisa memengaruhi para pemuda hingga kalangan polisi, yang mempermudah dirinya memimpin gerakan 23 Januari 1942. Kepala polisi yang memihak Nani antara lain P. Kalengkong dan Achmad Tangahu.
Gorontalo ketika itu relatif tenang dibandingkan dengan tetangganya di Sulawesi Tengah, seperti daerah Toli-toli yang pernah memberontak pada 1919 atau daerah Banggai pada 1930-an awal yang berani mengibarkan Bendera Merah-Putih. Surat kabar lokal yang terbit pada 1920-an, seperti Persaoedaraan dan Oetoesan Islam, benar-benar hanya berfungsi sebagai surat kabar komunitas, memberitakan masalah dalam masyarakat—kecualiPersaoedaraan edisi 15 Januari 1927 yang menyinggung soal pemberontakan di Jawa (PKI).
Hitungan Belanda mungkin juga berdasarkan kesetiaan Minahasa, tetangga Gorontalo lain, sebagai pemasok tentara KNIL. Kalaupun tahu,mereka akan terlambat untuk bertindak karena pasukan Jepang pada 10 Januari 1942 itu sudah mendarat di Minahasa—sehingga struktur kekuasaan Belanda di Gorontalo begitu mudah runtuh.
Sayang tak terlalu banyak sumber primer yang bisa ditemukan agar dapat merekonstruksikan peristiwa 23 Januari 1942 itu serta kiprah Nani di dunia pergerakan. Buku Sulawesi yang diterbitkan Kementerian Penerangan RI pada tahun 1953 mengutip sebuah brosur yang ditulis seorang bernama Hasan Usman menjadi salah satu rujukan utama. Sumber lainnya ialah sebuah makalah “Seminar Riwayat Hidup Nani Wartabone” untuk seminar kepahlawanan Puspen ABRI 1989 yang ditulis ulang sebuah situs serta riwayat hidup Kusno Danupoyo yang ditulis Gorontalo Post pada 23 Januari 2016.