Koran Sulindo – Dalam Kidung Harsa Wijaya mencatat tentara Mongol yang datang untuk menghukum Kertanagara membangun pertahanan di Ujung Galuh, tempat yang menjadi muara Sungai Brantas.
Dari sana mereka berlayar ke udik menuju Canggu yang disambut gembira orang-orang Majapahit.
Atas nasihat Banyak Wide, kepada utusan Tartar dengan rendah hati Raden Wijaya atau Sangramawijaya memberitahu bahwa Kertanagara, raja yang hendak dihukum pasukan itu telah wafat. Penggantinya adalah Jayakatwang di Daha.
Sangramawijaya menyarankan dendam Tartar yang utusannya dilukai Kertanagara sudah selayaknya dilampiaskan kepada Jayakatwang. Ia juga menawarkan bantuan pasukan Majapahit dan Madura.
Di Daha, mendengar kabar Sangramawijaya di Majapahit memberontak dan tentara Tartar mendarat, Jayakatwang segera menyiapkan tentaranya.
Tentu saja, Daha bukan tandingan 20.000-30.000 tentara Tartar, belum lagi kekuatan tambahan dari Majapahit dan Madura.
Daha diserbu dari tiga jurusan dan segera jatuh ketika Jayakatwang menyerah.
Saat Tartar kembali menuju Majapahit menagih hadiah yang dijanjikan Wijaya, mereka justru menuai serangan dan terpaksa kabur. Mereka terus diburu dan tercerai berai hingga pantai.
Dikejar tenggat angin muson, tentara Tartar dengan tergesa segera angkat sauh pada tanggal 24 April 1293 dengan memboyong tawanan dan rampasan perang seperti peta dan surat bertulisan emas.
Di antara mereka yang ditawan itu termasuk Jayakatwang, anak-anaknya dan para perwira Kadiri yang kemudian dieksekusi di tengah laut.
Berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dalam sekali tepuk, Sangramawijaya akhirnya dinobatkan menjadi raja Wilwatika bergelar Kertarajasa Jayawardana pada tanggal 12 November 1293.
Membangun Wilwatikta
Wilwatikta bertambah kuat ketika tentara Pamalayu yang dikirim Kertanagara 17 tahun sebelumnya kembali ke Jawa. Mereka membawa dua putri bersaudara, Dara Jingga dan Dara Petak.
Dara Petak diambil menjadi selir Sangramawijaya, sementara Dara Jingga baik dalam Pararaton maupun Panji Wijayakrama disebut dengan sira alaki dewa atau bersuamikan seorang ‘dewa’.
Dara Petak yang dikenal sebagai Indreswari itu melahirkan seorang putra, Kalagemet atau Jayanegara yang kemudian tampil menggantikan Kertarajasa.
Baik Prasasti Balawi, Prasasti Sukamerta dan Nagarakartagama, Sangramawijaya menikahi semua empat putri Kertanegara yakni Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Prajnyaparamita dan Gayatri.
Namun Pararaton menyebut Sangramawijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Cerita itu juga cocok dengan asumsi sebelum Majapahit berdiri, mula-mula Sangramawijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja.
Sadar betul dengan masa-masa sulitnya selama pelarian, Sangramawijaya memerintah Wilwatikta dengan tegas dan bijaksana. Ia tak melupakan kesetiaan para pengikutnya dengan mengangkat mereka menjadi pejabat atau memberinya hadiah yang pantas.
Banyak Wide alias Aria Wiraraja yang berjasa ikut mendirikan Wilwatikta, diberi daerah khusus di Madura termasuk kekuasaan atas daerah Lumajang hingga Blambangan. Nambi, anak Banyak Wide diangkat menjadi patih, Ranggalawe menjadi Adipati Tuban, dan Lembu Sora sebagai patih di Daha.
Sangramawijaya tak lupa juga memberikan anugerah tanah di Surabaya kepada pemimpin Desa Pandak yang dulu pernah melindunginya ketika melarikan diri menuju Pulau Madura.
Pemberontakan
Pada tahun 1295 termakan hasutan Mahapati, Ranggalawe memberontak gara-gara pengangkatan Nambi sebagai patih. Ini menjadi perang saudara pertama dalam sejarah Wilwatikta.
Ketika Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan dan menagih janji Sangramawijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Permintaan itu dikabulkan dan sejak saat itu sebelah timur Wilwatikta di Lamajang dipimpin Banyak Wide.
Pertumpahan darah di Majapahit berlanjut ketika pada tahun 1300 Lembu Sora terbunuh. Meski saat Ranggalawe memberontak Sora berpihak pada Majapahit, ia tak rela Ranggalawe disiksa dan dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang. Sora berbalik dan membunuh panglima ekspedisi Pamalayu itu.
Peristiwa itulah yang kemudian diungkit-ungkit Mahapati sehingga suasana Wilwatikta penuh permusuhan. Puncaknya, Sora dan kedua kawannya yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di depan balairung.
Mahapati sendiri akhirnya menemui kematian dengan cara tak terbayangkan yakni dengan cineleng-celeng.
Menurut Nagarakretagama, Sangramawijaya meninggal dunia tahun 1309 dan dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara yang merupakan perpaduan antara Wisnu dan Siwa.
Pada tahun itu juga Kalagemet diangkat menjadi Raja Majapahit berikutnya dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara.
Nagarakretagama menyebutkan sebelum bertahta di Wilwatikta, Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Daha sejak tahun 1295 dan diangkat sebagai Putra Mahkota Wilwatikta setahun kemudian menurut Prasasti Penanggungan.
Menurut Pararaton, pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan pengikut ayahnya. Ia tak terlalu dihormati karena dianggap bukan murni keturunan Kertanagara akibat darah campuran Jawa-Melayu ibunya.
Pemberontakan pertama yang terjadi setelah Jayanagara naik takhta adalah yaitu dilakukan Ranggalawe pada tahun 1295 dan kemudian Lembu Sora pada tahun 1300.
Pengarang Pararaton dalam hal ini jelas tidak teliti karena Jayanagara baru menjadi raja di tahun 1309. Naik tahta yang dimaksud Pararaton mungkin pengangangkatan Jayanagara sebagai Raja Muda Daha.
Pemberontaan lain yang dicatat Pararaton adalah pemberontakan Juru Demung tahun 1313, Gajah Biru pada tahun 1314, Mandana dan Pawagal tahun 1316, serta pemberontakan Ra Semi di tahun 1318.
Menurut Kidung Sorandaka, Juru Demung dan Gajah Biru mati bersama Lembu Sora tahun 1300, sedangkan Mandana, Pawagal, dan Ra Semi mati bersama Nambi tahun 1316.
Berita pemberontakan Nambi tahun 1316 dalam Pararaton juga disebutkan dalam Nagarakretagama, dan diuraikan panjang lebar di kidung itu. Menurut Nagarakretagama, pemberontakan Nambi tersebut dipadamkan langsung oleh Jayanagara sendiri.
Di antara pemberontakan yang diberitakan Pararaton yang paling berbahaya adalah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ibu kota Majapahit berhasil direbut pemberontak sementara Jayanagara kabur ke Desa Badander dikawal prajurit Bhayangkara pimpinan Gajah Mada kembali ke ibu kota menyusun kekuatan.
Berkat kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, Kelompok Ra Kuti dapat dihancurkan.
Sembilan tahun setelah pemberontakan itu, Jayanagara mati ditusuk Tanca seorang dharmaputera. Tanca yang juga merangkap tabib itu diminta mengoperasi bisul Jayanagara.
Setelah Tanca menikam Jayanagara di tempat tidurnya, Gajah Mada yang memang menunggu di samping raja bangkit dan menusuk Tanca hingga mati seketika.(TGU)