Ilustrasi: Iwan Fals waktu bergabung dengan Swami (1989)/Youtube

Koran Sulindo – Salah satu media budaya populer yang digunakan masyarakat untuk menyampaikan kritik sosial adalah musik. Melalui musik, lirik, penampilan dan simbol tertentu inilah masyarakat dapat mengartikulasikan inisiatif dan kritik sosial dalam proses pembangunan.

“Banyak lagu-lagu tercipta untuk mengkritis konstruksi dan persoalan-persoalan sosial yang ada,” kata Kepala Pusat Studi Kajian Pembangunan (Sodec), Fisipol UGM, Dr. Hempri Suyatna, pada Seminar Nasional “Musik: Kritik Sosial dan Pembangunan”, di ruang Digital Library, Fisipol UGM, Rabu (5/4).

Lagu-lagu yang mengkritis konstruksi dan persoalan-persoalan sosial sebagaimana dimaksud Hempri bisa disimak, misalnya, pada syair ‘Bento’ ataupun ‘Bongkar’ yang dilantunkan baik itu oleh Iwan Fals maupun Sawung Jabo. Malahan pula dua lagu tersebut, sering diminta untuk dinyanyikan saat dua penyanyi melakukan konser. Yang menarik, penonton yang meminta lagu tersebut untuk dinyanyikan adalah generasi muda yang bahkan baru lahir setelah presiden Soeharto lengser.

Selain Iwan Fals dan Sawung Jabo, lirik yang melontarkan persoalan sosial juga bisa didengarkan pada lagu ‘Judi’ dari Rhoma Irama.

“Hingga kini pun belum ada yang mampu menggeser pesona kritik milik Rhoma Irama. Bahkan, melalui lirik dan melodi, Rhoma butuh waktu 3 tahun untuk menciptakan lagu Judi,” tutur Hempri.

Sementara itu Prof. Andrew N Weintraub dari University of Pittsburgh menambahkan, di zaman Orde Baru beberapa lagu milik Rhoma Irama dilarang beredar karena dianggap mengganggu stabilitas nasional. Bahkan, pada saat itu musik dangdut merupakan simbol menentang rezim militer Orde Baru.

“Jadi, antara Iwan Fals dan Rhoma Irama itu sama-sama mengkritisi. Meski tidak dari kalangan masyarakat kecil, lagu-lagu Iwan Fals untuk rakyat kecil. Sedangkan Rhoma Irama, meski dimusuhi namun dengan musiknya mampu membentuk masyarakat dan itu bisa dilihat dari lirik-lirik lagu yang dihasilkan pada kondisi masyarakat saat itu,” katanya.

Berbicara tentang musik dipakai sebagai media untuk menyampaikan kritik, sebetulnya juga pernah dijadikan disertasi oleh dosen Program Studi Sosiologi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdullah Sumrahadi, S.I.P., M.Si., dengan judul ‘Menemukan Kritik Sosial dan Kesadaran Kritis dari Musik Rock Indonesia’ pada Maret 2010.

Menurut Sumrahadi, banyak bukti menunjukkan beberapa jenis musik, seperti R & B, rap, dan rock, memiliki peran yang berpengaruh terhadap perubahan sosial. Peran itu terutama terlihat pada lirik-lirik lagu yang diciptakan. Lirik-lirik lagu tersebut pada umumnya berisi kritikan, saran, dan bahkan hujatan terhadap hal-hal yang dianggap oleh pelaku musik sebagai fakta yang merugikan harkat hidup orang banyak.

Dari pengamatan yang dilakukan Sumrahadi sepanjang tahun 1990-2008 pada dua group musik, EdanE dan Slank, ia merasakan suguhan yang berbeda dari musik pop lainnya. Dalam penilaiannya, kedua grup band tersebut memberikan esensi rock yang jelas pada komposisi atau sajian musikalnya. Esensi kritisisme yang dibawakan bernuansa semangat perlawanan, anti terhadap korupsi, anti terhadap neoliberalisme dan globalisasi. “EdanE dalam album-album terdahulunya membawakan sangat luar biasa semangat anti globalisasi dalam lagu-lagunya,” ujar Sumrahadi.

Menurut Sumrahadi, musisi rock dalam kerja seninya dapat disandingkan dengan yang disebut Gramsci sebagai ‘intelektual organik’. Bagi musisi, peran intelektual tidak cukup hanya diapresiasikan melalui karya akademik saja. Namun, ia memiliki peran lebih, yaitu bagi pemberdayaan masyarakat yang merupakan kewajiban mutlak melalui karya-karya musikal yang dihasilkan. [YUK]