Koran Sulindo – Jadwal lisan yang disebut sang nakhoda lewat pesan pendek itu jelas lewat begitu saja. Janji selepas siang kapal berangkat ke Pulau Subi, Natuna molor tak pasti. Satu jam berlalu, juga jam-jam berikutnya.
Baru pada jam kelima, dari Pelabuhan Pemangkat, Sambas, Kalimantan Barat, sebuah titik kecil nampak di horizon dan terus bertambah besar dan membentuk siluet sebuah kapal kayu. Penduduk setempat lazim menyebut kapal kayu model ini dengan nama pongpong.
KM Mulia Baru II tak jauh berbeda. Cat biru yang melapis lambung terlihat mengelupas di sana-sini. Juga cat putih di kabin dan atap jelas terlihat sangat kusam.
Tak bisa sandar ke dermaga kapal kayu yang dinamai KM Mulia Baru II itu hanya buang sauh di tengah laut. Butuh dua kali balik pongpong kecil agar semua penumpang dan barang dipindahkan dari darat ke dek kapal.
Kapal itu buang sauh di tengah laut bukan karena pelabuhan yang kurang dalam. Namun, isi lambung kapal yang menjadi penyebabnya. Kapal berbobot kurang dari 45 ton lambungnya dijejali setidaknya 600 sak semen, juga puluhan batang besi cor pesanan proyek.
Bobot kapal bertambah bengkak dengan tambahan puluhan penumpang sekaligus bawaannya. Sebuah motor, kulkas, beberapa karung beras dan gula juga kardus-kardus mie instan dan sayuran segar.
Orang dan barang itu berebut sejengkal ruang di kapal. Dek di haluan penuh box wadah ikan sedangkan sisa sepetak ruang di ‘anjungan ’ dibagi untuk kemudi, kursi nakhoda dan tempat penumpang duduk gelaran. Cukup bersila atau bergolek agar kepala tak mentok plafon.
Menjelang senja, segala urusan muat-memuat sudah beres. Izin berlayar dari syahbandar juga sudah dikanthongi. Sauh benar-benar diangkat beberapa saat sebelum Magrib. “Kalau cuaca teduh kita sampai di Subi kurang lebih menjelang pagi,” kata Kane, sang nahkhoda menjelaskan.
Bila dihitung itu lebih dari 14 jam untuk jarak hanya 150 mil atau 250 km. Wajar, mengingat jika nekat ngebut sekalipun kapal tak bakalan ‘lari’ lebih dari 8 knot perjam.
Bukan tanpa alasan Kane percaya diri. Di usianya yang ke 60-an, pesisir Kalimantan hingga Laut China Selatan sudah diakrabinya bahkan sebelum dia mencapai akil balig. Laut baginya adalah ‘halaman belakang’ rumah karena keluarga dan lingkungannya yang memang nelayan. Pemangkat-Subi
Kane benar. Stidaknya untuk beberapa jam berikutnya, langit biru dan pandangan cerah mentok hingga ke cakrawala. Dengan ombak yang hanya berayun tenang, asap kretek Kane memenuhi hampir seisi kabin. Kane, benar-benar santai sementara beberapa penumpang bahkan sudah mulai terlelap. Beberapa sambil duduk saja, beberapa lainnya meringkuk berbagi ruang.
Dua jam berlayar, pesisir jauh tertinggal. Lampu-lampu pemukiman menghilang dan sebagai gantinya goyangan kapal makin terasa. Sesekali ketika ombak besar menghempas haluan, cipratan buihnya membanjiri dek dan mengalir ke lambung kapal.
Kane mulai waspada. Mata tuanya selain lekat pada GPS dekat kemudi, sesekali menyipit mencoba menembus hujan yang tiba-tiba saja seperti disiramkan dari langit. Di depan, cakrawala benar-benar memudar dan hanya menyisakan gulungan ombak.
Tak kunjung reda, angin dan gelombang justru makin kencang. Rokok kretek yang biasa terselip di bibir Kane sudah tak terlihat lagi. Dia bahkan tak lagi duduk. Kursinya dipakai jongkok dan kepalanya dilongokkan keluar jendela.
Diayun makin kuat, penumpang yang lelap mulai terbangun. Anak-anak menangis sementara sebagian ibu-ibu mulai berdoa. Laut tidak perduli, ombak dan angin makin kencang. Tak lagi cuma diayun, kapal itu benar-benar mulai dihempas. “Ayo semua pada tenang. Ini cuma sebentar ombak dan anginnya,” katanya mencoba menjelaskan ombak besar dan angin dipicu pertemuan arus kuat selepas pesisir.
Penjelasan itu segera menguap karena sejam berlalu, cuaca justru makin bertambah buruk. Kapal kecil itu terbanting-banting kepayahan. Kabin mulai pengap karena mesin digeber melampaui batas sementara pompa kewalahan mengeluarkan air yang masuk ke lambung. “Yang penting mesin jangan sampai kerendam air,” kata Kane dengan wajah penuh keringat.
Anak-anak mulai tak terkendali dan menjerit-jerit. Ibu-ibu kompak mengumandangkan takbir keras-keras dan beberapa lainnya langsung mabuk laut. Semua orang di kapal jelas mulai khawatir, kecuali mungkin si Kane itu. Laut makin tak pasti.“Pusing aja Pak, pusing ke Pemangkat,” beberapa bapak-bapak yang jerih memberanikan diri mendesak sang nakhoda untuk balik kanan ke pelabuhan asal.
Tak mau ngotot, Kane akhirnya mengalah dan memutuskan memutar haluan kapal. Sebenarnya bukan gelombang kuat yang mengkhawatirkannya. Selain ratusan sak semen di lambung, puluhan nyawa di dek jelas bergantung penuh pada pilihannya. Tak ada yang perlu dibuktikannya selain keselamatan.
Hari hampir tengah malam ketika kapal kembali lempar jangkar di Pemangkat. Sebagian penumpang langsung turun mencari penginapan, sebagian lain bertahan di kapal. Beberapa menuju Pontianak mengejar jadwal kapal KM Bukit Raya yang tak terpengaruh cuaca dan beberapa lainnya menuju Sintete memilih kapal perintis.
Di wilayah pulau-pulau seperti di Kepulauan Natuna cerita-cerita soal kapal kapal yang urung berlayar, cuaca buruk hingga pasokan kebutuhan pokok yang tersendat adalah kisah lumrah. Selain jumlah kapal yang minim, infrastruktur lainnya seperti pelabuhan dan dermaga jauh dari memadahi.
Memudar
Robert Dick-Read dari London University yang konsen mendalami budaya Afrika, menyebut pelaut Nusantara mendahului bangsa Eropa, Arab dan China malang melintang di lautan sekaligus mempengaruhi pusat-pusat peradaban dunia.
Dalam bukunya, Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika Dick-Read menyebut di India Selatan jejak-jejak pelaut Nusantara bisa ditelusuri hingga era pra-Dravida di akhir 500 SM. Suku Tamil menyebut pelaut Nusantara sebagai Ras Naga dengan kano bercadiknya. Kano itulah yang kemudian diserap dan direplika menjadi perahu yang belakangan lazim digunakan di India.
Tak cuma di India, pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia yang kini dikenal sebagai Indonesia itu sudah menjejakkan kaki mereka di Afrika melalui Madagaskar sejak masa awal tahun Masehi. Mereka meninggalkan banyak jejak kebudayaan di seluruh Afrika khususnya di pantai timur benua itu. Di wilayah itu banyak ditemukan kesamaan alat-alat musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa yang mirip dengan ras dari Afro-Nusantara.
Di antara bukti tersebut adalah sebuah alat musik yang disebut xilophon yang dianggap mirip dengan gambang yang dikenal di Jawa. Pada kebudayaan bangsa Zanj juga ditemukan beberapa alat musik dari bambu yang menjadi ciri khas Nusantara. Selain itu, ditemukan juga kesamaan seni pahat suku Ife di Negeria dengan relief perahu yang dipahat Candi Borobudur.
Dick-Read menyebut, Zanj inilah bangsa mendominasi pantai timur Afrika sejak awal tarikh masehi sampai milenium pertama. Mereka punya ikatan kuat dengan Swarnadwipa atau Sumatra yang berarti Pulau Emas. Menurut dugaan Dick, emas-emas itu itu dibawa bangsa Zanj dan pelaut Nusantara dari tambang emas kuno di Zimbabwe.
Dalam pengantar bukunya, dia menulis meskipun tak meninggalkan catatan atau bukti-bukti konkret terkait penjelajahan mereka, peninggalan pelaut-pelaut Nusantara di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui. Pendapat itu sekaligus mempertegas pandangan bahwa sejak 1.500 tahun lalu pelaut-pelaut Nusantara sudah menjelajahi sepertiga dunia.
Benar bahwa bangsa China sudah mengembangkan berbagai jenis kapal untuk berbagai kebutuhan, namun hingga abad ke-VII peran mereka pada pelayaran di laut lepas terhitung sangat kecil. Kapal-kapal mereka hanya cocok untuk melayani angkutan sungai dan pesisir.
Tak sekadar klaim, ketangguhan pelaut-pelaut Nusantara di masa lalu bahkan dikonfirmasi I-Tsing, pengelana asal China yang banyak membuat dokumentasi sejarah awal Nusantara. Dalam perjalanan dari Kanton ke Nalanda di India Selatan tahun 671-695 Masehi dia mengaku menggunakan kapal-kapal Sriwijaya. Negeri bahari yang kala itu disebutnya sebagai penguasa lalu lintas pelayaran di “Laut Selatan”. Peran itu dipertahankan Sriwijaya hingga akhir milenium pertama sebelum diambil alih Singasari di era Kertanegara kemudian diwariskan kepada Majapahit menjelang awal hingga pertengahan milenium kedua.
Fungsi maritim yang dibentuk penjelajah samudra itulah yang membentuk jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air sekaligus merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.
Budaya maritim yang kuat itu dengan cepat merosot di abad XVIII seiring dengan kedatangan bangsa Eropa yang mengusung praktik kolonialisasi. Pemberlakuan monopoli perdagangan dan pelayaran oleh kolonial Belanda meski tidak mematikan, namun sangat memangkas ruang gerak pelaut-pelaut Indonesia.
Berkah Konflik
Beradab-abad lamanya dikerangkeng praktik kolonialisasi bangsa Eropa, jiwa maritim bangsa Indonesia bisa dibilang sudah memudar dan kehilangan akar sejarahnya. Saat ini secara formal Indonesia baru disebut sebagai negara kepulauan dan bukan bangsa maritim.
Bangsa maritim jelas tak sama dengan negara kepulauan. Bangsa maritim mampu memanfaatkan semua potensi kelautan bahkan jika mereka tak punya laut. Mereka punya kemampuan, teknologi, ilmu pengetahuan dan alat-alat lainnya untuk mengelola dan memanfaatkan baik itu ruang, kekayaan alam hingga letak laut yang strategis. Istilah Jalesveva Jayamahe atau “Di Laut Kita Jaya” menjadi kenangan masa silam yang sulit diwujudkan kembali.
Tak usah jauh-jauh mengulang ketangguhan nenek moyang dengan menjelajah samudra. Merajut transportasi antara pulau saja bangsa ini masih kedodoran. Contoh paling aktual adalah apa yang terjadi di wilayah Kepulauan Riau, dengan luas total 252.601 km2 dan 95 persen berupa laut serta 2.408 pulau ternyata baru belasan pulau saja yang rutin disinggahi kapal. Sisanya masih tak tersentuh atau bahkan belum diberi nama.
Hanya tersedia empat kapal yang bergantian berkeliling di pulau-pulau. Namun karena terbatasnya infrastruktur, kapal-kapal itu baru singgah di pulau-pulau utama seperti Tanjungpinang, Tarempa, Bunguran (Natuna), Sedanau, Midai, Serasan atau Subi.
Kapal paling besar dengan bobot 6022 GT adalah KM Bukit Raya yang berlayar dari Jakarta dengan durasi 2 minggu sekali. Tiga kapal lainnya adalah kapal perintis KM Sabuk Nusantara 30, 39 dan 59 yang rata-rata berbobot 1202 GT atau lebih. Selain KM Bukit Raya yang memang menjalani pemeliharaan serius, kapal-kapal perintis itu kondisinya mengenaskan.
KM Sabuk Nusantara 30 dan 39 misalnya, kecepatan cuma sanggup digeber 7-8 knot atau seukuran kapal pongpong dan minim fasilitas untuk penumpang. “Kalau minta ganti sparepart bisa berbulan-bulan minta. Itu juga belum tentu direalisasi. Jadi kita yang harus pinter-pinter ngakali agar tetap bisa jalan,” kata salah seorang ABK bagian mesin saat berbincang-bincang di Selat Lampa.
Padahal, kapal-kapal inilah tulang punggung mobilitas orang dan barang kebutuhan pokok di wilayah ini. Khususnya saat musim utara ketika angin kencang dan kapal pongpong absen berlayar. Beruntung, sejak kembali dioperasikannya kapal-kapal perintis ini cerita pasokan bahan pokok yang ‘putus’ di wilayah pulau-pulau makin jarang terdengar.
“Ya baru beberapa tahun ini saja transportasi laut lancar, sebelumnya boro-boro ada,” kata Aris, pedagang sembako asal Serasan yang rutin bawa beras dan gula dari Tanjungpinang ke pulau-pulau. “Dulu kalau musim utara putus ya putus, semua kebutuhan kalau nggak diambil dari Kalimantan (Pontianak) ya diambil dari Tanjungpinang.”
Dia menyebut program Tol Laut yang digagas Presiden Joko Widodo belum menunjukkan manfaatnya pada masyarakat. Selain pelabuhan yang disinggahi hanya Tarempa dan Selat Lampa, infrastruktur pendukung lainnya juga belum memadahi. “Itu harus bongkar muat lagi kalau mau kirim ke pulau-pulau,” kata Aris.
Aris benar, dalam beberapa tahun terakhir saja sejak tensi geopolitik di Laut China Selatan menghangat bisa dibilang Jakarta baru lebih serius memikirkan wilayah ini. Selain menambah kapal perintis, pembangunan infrastruktur transportasi juga benar-benar digenjot.
Di Pulau Subi, saat ini pemerintah pusat sedang membangun dermaga sepanjang 2 km untuk memudahkan proses bongkar muat. Hal serupa juga tengah dikerjakan di Kecamatan Pulau Laut yang merupakan wilayah paling utara Indonesia di Laut China Selatan. Tanpa dermaga, kapal terpaksa buang sauh di tengah laut.
“Di sini KM Bukit Raya belum bisa sandar di pelabuhan dan masih lego jangkar di laut. Orang dan barang diangkut dengan pongpong,” kata Eddy Suhardi, Syahbandar Pelabuhan Midai.
KM Bukit Raya berlabuh di laut bukan karena Midai tak punya dermaga. Di pulau itu pembangunan dermaga baru sepanjang 600 meter yang menjorok ke tengah laut untuk mengakomodasi aktivitas bongkar muat memang sudah tuntas. Namun, nakhoda KM Bukit Raya ogah sandar karena pelabuhan itu bahkan belum dilengkapi rambu-rambu laut. “Kebutuhannya sekarang cuma itu, kalau rambu khususnya rambu karang dipasang kapal pasti bisa sandar,” kata Eddy.
Namun, bukannya memasang rambu laut, infrastruktur yang tahun ini dikebut di Midai justru pembangunan sebuah kantin megah dan mushola lengkap dengan 12 toiletnya yang tanpa septictank itu. “Kita nggak tahu dari pusat turunnya begitu kita bisa apa,” kata Eddy.
Di Midai selain dua dermaga yang dibangun dan dioperasikan Kementerian Perhubungan, terdapat tiga dermaga lain yang dibangun Pemprov Kepri atau Pemkab Natuna. Dua dermaga digunakan untuk sandar kapal nelayan, sedangkan sebuah lainnya sampai rusak sama sekali tak pernah digunakan sejak dibangun.
Pembangunan infrastruktur besar-besaran paling gampang bisa dilihat di Ranai, ibukota Kabupaten Natuna. Saat ini setidaknya ada dua proyek strategis yang sedang dikerjakan di Selat Lampa yakni Pelabuhan Perikanan Terpadu yang dikerjakan Kementerian Perikanan dan Kelautan serta pembangunan pangkalan TNI Angkatan Laut.
Pelabuhan terpadu perikanan akan membuat Selat Lampa menjadi sentra perikanan terbesar di Indonesia yang dilengkapi dengan cold storage terbaik. Di tempat ini pemerintah juga berencana membangun tempat pelelangan ikan internasional meniru Tokyo Fish Market di Jepang.(TGU)