Koran Sulindo – Per Sabtu ini, 1 September 2018, pemerintah akan menerapkan mandat pencampuran solar dengan 20% crude palm oil (CPO) atau dikenal B20. Mandat itu ada pada Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018. Penerapannya dilakukan di semua sektor, baik public service obligation (PSO) maupun non-PSO.
Dijelaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, kebijakan itu merupakan bagian dari rencana besar dalam mendorong ekspor dan menekan impor. “Kebijakan mendorong ekspor dan memperlambat impor dalam rangka memyehatkan neraca pembayaran kita dalam waktu dekat, menghilangkan defisit neraca perdagangan, dan lanjut ke pengurangan defisit transaksi berjalan,” kata Darmin pada peluncuran pelaksanaan mandat B20 di kantornya, Jumat (31/8).
Dengan demikian, lanjut Darmin, seluruh solar yang diperjualbelikan di Indonesia harus merupakan biodiesel campuran 20% CPO. Namun, harganya di tataran konsumen tidak berubah. Kalau ada perubahan harga, akan ditanggung pemerintah dan Badan Pengelola Dana (BPDP) Kelapa Sawit.
“Begitu harga solar naik melebihi batasnya, subsidi pemerintah akan ditambah. Jika harga CPO yang naik, insentif tambahan ditanggung BPDP Sawit, sehingga tidak ada perubahan harga di masyarakat,” tutur Darmin lagi.
Lebih lanjut ia mengatakan, B20 sudah dilaksanakan selama 2 ½ tahun di sektor PSO. Artinya, ketika perluasan dilakukan, pemerintah dan pelaksananya sudah punya pengalaman dalam penerapannya. Sanksi tegas pun sudah disiapkan bagi pelaksana mandat tersebut, mulai dari penghasil CPO, pencampur, hingga pelaksananya.
“Kalau FAME [Fatty Acid Methyl Ester] atau CPO-nya gagal dikirim oleh perusahaan yang menghasilkan CPO akan kena denda dan dendanya Rp 6.000 per liter. Kalau kesalahannya pada 12 perusahaan importir dan Pertamina gagal mencampur sesuai matriks yang diisepakati, dendanya ke mereka,” ungkap Darmin.
Untuk pengawasan lebih lanjut akan dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai kementerian penanggung jawab. Dengan begitu, per 1 September, Indonesia diperkirakan dapat mengurangi ketergantungannya pada impor minyak dan menghemat devisa sampai akhir tahun sebesar US$ 2miliar sampai US$ 2,3 miliar.PIHAK BPDP Kelapa Sawit juga telah memastikan kesiapan dana insentif untuk mendukung implementasi penerapan itu. Insentifnya dihitung berdasarkan selisih Harga Indeks Pasar (HIP) solar dengan HIP biodiesel.
Dijelaskan Direktur Utama BPDP Kelapa Sawit Dono Boestami, selisih HIP solar lebih tinggi dibandingkan biodiesel. “Sehingga, sekarang tinggal bayar biaya distribusinya karena untuk biodiesel sudah tidak ada selisihnya,” tutur Dono.
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKelapa Sawit disebutkan, pembiayaan biodiesel digunakan untuk menutup selisih kurang antara HIP minyak solar dan HIP biodiesel. Insentif baru akan diberikan jika HIP biodiesel lebih tinggi dibanding HIP solar.
HIP biodiesel pada September 2018 tercatat Rp 7.294 per liter. Akan halnya HIP solar untuk periode Juli sampai September 2018 adalah Rp 7.388,31 per liter.
BPDP Kelapa Sawit bukan hanya mendanai selisih kurang HIP, tapi juga membiayai surveyor independen untuk mengawasi penyaluran B20, termasuk pula mengganti ongkos angkut dan pajak penjualan FAME dari produsen biodiesel ke penyalur bahan bakar minyak. Pembiayaan insentif per Juli 2018, menurut perhitungan BPDP Kelapa Sawit, mencapai Rp 900 per liter. Itu sebabnya, Dono optimistis jumlah dana BPDP Kelapa Sawit saat ini bisa mencukupi kebutuhan perluasan B20.
Data BPDP Kelapa Sawit memperlihatkan, total insentif biodiesel yang telah disalurkan dari Januari hingga Juni 2018 sebesar Rp 3,57 triliun. Adapun jumlah pungutan ekspor pada periode yang sama lebih besar, yakni sekitar Rp 6,45 triliun. “Kami bisa mendukung jika ada tambahan sampai 6 juta kiloliter,” kata Dono lagi.
Untuk biaya pengangkutan FAME , menurut Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, sangat bervariasi, bergantung pada penyebaran wilayah. Diperkirakan Aprobi, rata-rata biaya angkut mencapai Rp 500 per liter.
Dono berharap, produsen terus berkoordinasi untuk memastikan kecukupan pasokan, agar program B20 dapat berjalan optimal. “Kami akan mengawasi anggota kami supaya optimal,” tuturnya.SEBELUMNYA, Wakil Ketua Dewan Masyarakat Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan, seiring adanya implentasi mandatori B20, konsumsi minyak sawit mentah (CPO) semester kedua dapat tumbuh hingga 800 ribu ton dibandingkan konsumsi semester pertama 2018. “Kalau produsen biodiesel agresif bisa sampai sebesar itu,” tutur Sahat di Jakarta, Kamis (30/8).
DMSI memprediksi, konsumsi CPO dalam negeri tahun ini mencapai 7 juta ton. Padahal, DMSI awalnya memprediksi konsumsi biodiesel tumbuh konservatif pada semester kedua, sebesar 300 ribu ton. Tapi, dengan adanya mandatori B20, konsumsi biodiesel diperkirakan meningkat cukup besar.
Penyerapan sawit untuk biodiesel juga diharapkan bisa mengerek harga jual CPO dunia. Jadi, bukan hanya untuk meningkatkan angka konsumsi. “Harga CPO bisa naik sehingga nantinya akan relatif stabil,” kata Sahat.
Hingga kini, PT Pertamina (Persero) belum dapat menerapkan program itu secara penuh. Penyebabnya antara lain terkait pasokan FAME atau minyak nabati..
Diungkapkan Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas’ud Hamid, dari 112 terminal BBM, hanya 60 yang sudah menyalurkan B20. “Lima puluh dua terminal belum ada pasokan FAME dari badan usaha,” tutur Mas’ud dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Jakarta, Selasa (28/8)
Pertamina memprediksi, dengan adanya kebijakan B20, mulai September hingga Desember 2018 ada tambahan kebutuhan FAME sekitar 383.320 kiloliter untuk pencampuran BBM nonsubsidi. Tambahan FAME untuk BBM subsidi periode November-Desember mencapai 495.457 kiloliter.
Ada 19 perusahaan produsen biodiesel yang telah mendapatkan alokasi pengadaan 940.407 kiloliter biodiesel untuk sektor non-PSO, yang kemudian didistribusikan ke 11 perusahaan retail minyak dan gas. Ke-19 perusahaan itu adalah PT Cemerlang Energi Perkasa (55.397 kiloliter); PT Wilmar Bioenergi Indonesia (131.768 kiloliter); PT Pelita Agung Agrindustri (18.466 kiloliter); PT Ciliandra Perkasa (23.081 kiloliter); PT Darmex Biofuels (23.081 kiloliter); PT Musim Mas (108.946 kiloliter); PT Wilmar Nabati Indonesia (136.867 kiloliter); PT Bayas Biofuels (69.245 kiloliter); PT SMART Tbk. (35.384 kiloliter); PT Tunas Baru Lampung (32.314 kiloliter); PT Multi Nabati Sulawesi (39.106 kiloliter); PT Permata Hijau Palm Oleo (33.515 kiloliter); PT Intibenua Perkasatama (35.546 kiloliter); PT Batara Elok Semesta Terpadu (23.081 kiloliter); PT Dabi Biofuels (33.238 kiloliter); PT Sinarmas Bio Energy (36.580 kiloliter); PT Kutai Refinery Nusantara (33.700 kiloliter); PT Sukajadi Sawit Mekar (32.314 kiloliter), dan; PT LDC Indonesia (38.778 kiloliter). [RAF]