Di bekas situs Kerajaan Majapahit, Desa Trowulan, Mojekerto, Muhammad Yamin “menemukan” Gajah Mada. Ketika itu, 1940-an, Yamin yang sejak muda mengagumi keaguangan Kerajaan Majapahit sengaja datang ke Trowulan untuk melihat sisa-sisa kerajaan besar dari Pulau Jawa itu. Ia menemukan pecahan celengan yang di atas terukir samar-sama wajah seorang pria: bermata sipit, berpipi gembil.
Lalu muncullah keyakinan Yamin: wajah dalam cerengan terakota itulah kurang lebih wajah Gajah Mada, patih Majapahit yang termasyur. Pulang dari Trowulan Yamin meminta seniman Henk Ngantung melukis wajah Gajah Mada berdasar wajah pada celengan yang ia temukan.
Lukisan Gajah Mada karya Henk Ngantung tersebut kemudian menjadi sampul buku Yamin berjudul Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara yang diterbitkan Balai Pustaka untuk pertama kalinya pada 1945. Yamin menegaskan, jika ada yang tak sepakat pada temuannya, ia mempersilahkan mereka membuktikan wajah pada terakota itu bukan wajah Gajah Mada.
Wajah Gajah Mada hasil penemuan Yamin itu bak menjadi “ketetapan umum” setelah Yamin menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1953. Saat itulah tafsir Yamin atas wajah Gajah Mada masuk kurikulum dan juga muncul dalam buku-buku wajib pegangan para siswa.
Sejumlah arkeolog yakin sebenarnya wajah Gajah Mada tidaklah seperti itu. Arkeolog dari Universitas Indonesia yang juga peneliti Gajah Mada, Agus Aris Munandar, menunjuk patung Bima dan Brajanata lebih mewakili sosok Gajah Mada. Brajanata tokoh ceritra rakyat zaman Majapahit. Di Museum Nasional, Jakarta, arca Brajanata, yang diambil dari Gunung Penanggungan, berwujud pria berbadan tegap, berkumis melintang dan berambut ikal dengan alat kelamin pria yang menonjol hingga menyingkap kain penutupnya.
Tapi Agus menilai tafsir Muhammad Yamin terhadap wajah Gajah Mada tak perlu dipertentangkan. Ia menilai Yamin adalah sosok yang terkagum-kagum pada Majapahit karena cita-cita persatuan nusantaranya.
Lahir di sebuah desa yang damai di Malawi, Sawahlunto, pada 22 Agustus 1903 dari pasangan Oesman Bagindo Chatib (mantra kopi) dan Siti Saudah, Yamin merupakan salah satu sosok pendiri bangsa yang kontroversial. Banyak gagasannya, banyak sumbangannya terhadap bangsa, tapi banyak pula tingkah lakunya yang membuat ia dihujat di sana-sini -termasuk masyarakat desanya sendiri ketika pada pengujung 1958 ia terang-terangan mengutuk pemberontakan PRRI/Permesta yang berpusat di Sumatera Barat, sementara gerakan ini mendapat dukungan dari masyarakat setempat.
Menempuh pendidikan tingkat lanjutan di Solo –dengan memasuki AMS (Algemene Middelbare School)- Yamin adalah sedikit dari tokoh-tokoh nasional saat itu yang mempelajari secara intens kerajaan Majapahit dan juga Yamin memang “tergila-gila” pada kebesaran dan kejayaan Kerajaan Majapahit. Dan kegandrungannya tersebut klop dengan suasana nasionalisme di kalangan para pemuda yang saat itu juga merindukan sebuah kesatuan dan persatuan bangsa.
Kekagumannya pada Kerajaan Majapahit itu pula yang membuat ia, saat menjadi Menteri Pengajaran, menulis buku tujuh jilid berjudul Sapta Parwa, buku tentang tata pemerintahan Majapahit. Yamin menyerap segala ihlwal ketatanegaraaan Majapahit untuk diimplementasikan pada republik Indonesia yang masih berusia belia. Menurut peneliti senior dari Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, A.B Kusuman, Yamin memang pembaca yang sangat baik.
Sejak muda, Yamin sudah popular namanya di kalangan organisasi Jong Sumatranen Bond. Dikenal sebagai pembicara –dan pendebat- yang lihai, tulisannya saat itu banyak muncul di media Jong Sumatranen. Keterlibatannya pada organisasi itu juga yang kemudian membawanya menjadi salah satu peserta Kongres Pemuda Indonesia II pada Oktober 1928 di Jakarta. Pada Kongres yang berlangsung di gedung Indonesisch Huis, Jalan Kramat Rayat 106, itu Yamin memberikan sumbangan yang ternilai: teks Sumpah Pemuda.
Saat itu, pada hari akhir Kongres, Mr Sunario, wakil dari Kepanduan, tengah berpidato di podium. Yamin, yang menjabat sekretaris Kongres duduk bersebalahan dengan Soegondo Djojopoespito, ketua kongres. Ketika itulah Yamin memberikan secarik kertas kepada Soegondo yang membaca serius isinya dan kemudian menyerahkannya kepada Amir Sjarifuddin, wakil dari Jong Bataks Bond. “Saya setuju,” kata Soegondo sambil memberi paraf kertas yang disodorkan Yamin. Amir kemudian juga melakukan hal sama. Alhasil, peserta kongres pada 28 Oktober 1928 kemudian sepakat dengan draf Yamin yang kemudian dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda” itu:
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Semangat Yamin untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan sebenarnya sudah ia suarakan saat Kongres Pemuda I pada 30 April-2 Mei 1926. Pada kongres itu pula ia jatuh hati pada perempuan ningrat Jawa cerdas yang kemudian menjadi pasangan hidupnya, Siti Sundari. Dari perkawinan ini mereka dikarunui seorang putra, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin.
Seperti Sukarno, Yamin memang penggila sejarah dan pendamba kesatuan dan kemegahan Indonesia layaknya Kerajaan Majapahit. Ia menginginkan Indonesia besar, atau minimal setara, dengan kerajaan Sriwijaya atau Majapahit.
Itu sebabnya, kelak, saat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membahas wilayah Indonesia kelak jika merdeka, Yamin, menunjuk wilayah itu meliputi seluruh bekas Hindia Belanda, Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara, Timor Portugis, Irian dan Papua Nugini. Dalam kapasitasnya sebagai anggota BPUPKI itu pula belakangan kemudian ia dituduh telah memutarbalikkan fakta sejarah yang tak urung membuat Mohammad Hatta berang.
Pemicunya adalah bukunya berjudul Naskah Persiapan UUD 1945 yang diterbitkan pada 1959 kala Yamin menjabat menteri negara. Dalam buku itu Yamin menyebut tiga tokoh yang memenuhi permintaan Ketua BPUPKI, KRT Radjiman Wedyodiningrat memaparkan dasar negara Indonesia merdeka. Mereka, Yamin sendiri, Sukarno, serta Soepomo. Yamin menonjolkan perannya sebagai perumus dasar negara, Pancasila.
Menurut Hatta, Yamin jelas memanipulasi sejarah. Presiden Soeharto kemudian membentuk panitia lima yang kemudian, antara lain, menilai Yamin melakukan kebohongan. Anggota Panitia Lima: Hatta, Achmad Subardjo, Soenario, A.A Maramis, dan A.G Pringgodigdo. Dalam notulen rapat Panitia Lima, yang dikumpulkan dalam buku berjudul Uraian Pancasila (terbit pada 1977), Hatta sampai tiga kali menyebut Yamin “licik.”
Kontroversi perihal pengakuan Yamin ini meledak lagi pada 1981 ketika terbit buku karangan Nugroho Notosusanto berjudul Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Menurut buku ini, 1 Juni hanyalah hari kelahiran Pancasilanya Bung Karno, sedang Pancasila dasar negara baru dilahirkan pada 18 Agustus 1945 ketika Pembukaan UUD 1945 disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Nugroho membangun kesimpulannya itu berdasar buku Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 jilid I. Menurut Hatta sewaktu Panitia Sembilan selesai membuat rumusan baru tentang Pancasila, Bung Karno meminta persetujuan supaya Yamin membuat keterangan tentang Pancasila. Keterangan itu terlalu panjang sehingga ditolak Panitia Sembilan dan sebagai gantinya diambilah Preambule UUD yang sudah ada. Nah, naskah keterangan buatan Yamin itu dimasukkan Yamin ke bukunya, seolah-olah pernah dibacakan pada sidang BPUPKI. “Di sinilah letak liciknya Yamin,” ujar Hatta.
Yang pasti nama Pancasila tak lepas dari sumbangan Yamin. Menurut sejarawan Restu Gunawan, penulis biografi Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatan Bangsa, Yamin yang menyumbangkan kata “sila,” sedang “panca” dari Sukarno. Bung Karno memang pernah menyatakan, nama Pancasila adalah bisikan dari temannya yang seorang ahli bahasa.
Yamin juga diduga sebagai pengarang syair lagu Indonesia Raya. Itu antara lain, menurut Restu, bisa ditelisik dari dua frasa yang menjadi pembuka syair lagu tersebut. Apalagi jika melihat jauh ke belakang pada 1920 ia pernah menulis puisi “Tanah Airku” dan kemudian, pada 1928, “Indonesia Tumpah Darahku.” Menurut Restu, jika dianalisis, lirik Indonesia Raya memang mengikuti pola pikir Yamin. Di luar dua hal itu, Yamin juga berjasa, bersama Sultan Hamid II, ikut “menemukan” simbol negara, burung garuda. Sosok burung Garuda itu ditemukan di Candi Kidal, Candi Prambanan, dan Mendut.
Didera berbagai komplikasi pada 17 Oktober 1962 Muhammad Yamin meninggal di Rumah Sakit Pusat Angkata Darat. Pada saat-saat akhir hidupnya Yamin sempat meminta agar ia dipertemukan dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Hubungan keduanya sebelumnya memang renggang karena perbedaan pandang dalam soal dasar negara saat di Dewan Konstituante.
Hamka kemudian ikut memandikan jenazah dan mengimami salat jenazah. Hamka juga ikut mengantar jenazah Yamin hingga di tanah kelahirannya, Talawi. Di sana ia dimakamkan di samping kuburan bapaknya. Itulah memang wasiat Yamin. [Rud]
Jejak Langkah Yamin:
Lahir: 22 Agustus 1903
27 Oktober 1928: Hari pertama Kongres Pemuda Indonesia II,Yamin berpidato dengan judul: “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia.”
28 Oktober 1928: mengusulkan teks “Sumpah Pemuda.”
1934: Ditahan di Surabaya karena dianggap menghasut rakyat.
24 Mei 1937: ikut mendirikan partai Gerakan Rakyat Indonesia. Dua tahun kemudian dipecat karena menjadi anggota Volksraad mewakili masyarakat Minangkabau.
21 Juli 1939: mendirikan Partai Persatuan Indonesia.
29 Mei 1945: Berpidato di hari pertama sidang BPUPKI dengan judul: Asas dan Dasar Negara Republik Indonesia.”
April 1951: Menjadi Menteri Kehakiman Kabinet Sukirman-Suwirjo. Diberhentikan karena membebaskan Chaerul Saleh pada Juni 1951.
Juli 1953: Menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
1957: Menjadi Menteri Negara Kabinet Djuanda. Lalu menjadi Menteri Sosial Kulturil Kabinet Kerja II (1959) dan Menteri/Ketua Dewan Perancang Nasional Kabinet Inti (1960).
1962: Menjadi Wakil Menteri Pertama Bidang Khusus Kabinet Kerja III, juga Ketua Penerangan Tertinggi Pembebasan Irian Barat.
17 Oktober 1962: wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta.