Mudik: Tradisi Pulang Kampung yang Mengakar Kuat di Indonesia

Suasana mudik di terminal antar kota antar propinsi (AKAP). (foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)Suasana mudik di terminal antar kota antar propinsi (AKAP). (foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)

Suasana mudik di terminal antar kota antar propinsi (AKAP). (foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)

Mudik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia, terutama menjelang Hari Raya Idulfitri. Setiap tahun, jutaan orang di berbagai daerah berbondong-bondong kembali ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran bersama keluarga. Namun, sejak kapan tradisi ini dimulai, dan bagaimana sejarahnya berkembang di Indonesia?

Asal-Usul Istilah Mudik

Secara etimologis, kata mudik berasal dari bahasa Jawa, yaitu “mulih dilik,” yang berarti “pulang sebentar.” Dalam perkembangannya, istilah ini lebih umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan besar-besaran masyarakat dari kota ke desa atau kampung halaman menjelang hari raya.

Sejarah Mudik di Indonesia

1. Era Kerajaan Nusantara

Tradisi mudik diyakini telah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara. Para perantau yang merantau ke pusat kerajaan biasanya kembali ke daerah asal mereka pada waktu-waktu tertentu, seperti perayaan adat atau panen raya. Mobilitas ini menjadi cikal bakal budaya mudik yang kita kenal saat ini.

2. Masa Kolonial Belanda

Pada era kolonial, sistem ekonomi tanam paksa dan pembangunan perkotaan menyebabkan banyak orang dari desa pindah ke kota-kota besar untuk bekerja, terutama di Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang. Pada hari-hari besar keagamaan, mereka kembali ke desa untuk berkumpul dengan keluarga. Meski belum disebut mudik, fenomena ini semakin menguatkan kebiasaan pulang kampung.

3. Era Orde Baru dan Industrialisasi

Mudik menjadi fenomena nasional yang lebih terorganisir sejak era Orde Baru, terutama seiring dengan pesatnya urbanisasi akibat industrialisasi. Pada 1970-an, banyak masyarakat desa pindah ke kota untuk bekerja di sektor industri. Ketika Hari Raya Idulfitri tiba, mereka kembali ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga. Pemerintah mulai mengakomodasi fenomena ini dengan penyediaan transportasi massal, seperti kereta api dan bus antarprovinsi.

4. Mudik di Era Modern

Saat ini, mudik tidak hanya menjadi tradisi religius tetapi juga fenomena sosial dan ekonomi. Pemerintah secara khusus menyiapkan kebijakan mudik, seperti program “Mudik Gratis,” pengamanan jalur transportasi, dan penyediaan infrastruktur jalan tol untuk mengakomodasi lonjakan pemudik. Kemajuan teknologi juga memungkinkan pemudik memanfaatkan berbagai platform digital untuk merencanakan perjalanan dengan lebih mudah.

Mudik di Masa Pandemi dan Pasca-Pandemi

Pandemi COVID-19 sempat menghentikan tradisi mudik pada tahun 2020 dan 2021 dengan adanya larangan perjalanan dari pemerintah untuk menekan penyebaran virus. Namun, setelah situasi membaik, tradisi mudik kembali dengan antusiasme tinggi, bahkan mengalami lonjakan jumlah pemudik yang lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tradisi mudik di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, dari masa kerajaan hingga era modern saat ini. Awalnya berkembang dari kebiasaan pulang kampung para perantau, kini mudik telah menjadi fenomena sosial dan ekonomi yang melibatkan jutaan orang setiap tahunnya. Dengan perkembangan infrastruktur dan teknologi, tradisi ini terus beradaptasi dengan zaman, tetapi tetap mempertahankan esensinya: kembali ke kampung halaman untuk merayakan kebersamaan dengan keluarga. [IQT]