Pantai Morotai tahun 1944 - LSTs
Pantai Morotai tahun 1944 - LSTs

PERANG pasifik di Morotai merupakan peristiwa sejarah penting di Indonesia dan juga di dunia. Perang Pasifik yang melibatkan dua kekuatan besar, Sekutu dan Jepang, meninggalkan jejak arkeologi peperangan yang dapat dikaji untuk merekam peristiwa sejarah yang sangat penting di kawasan pasifik di Pulau Morotai.

Pertempuran Morotai terjadi pada tanggal 15 September 1944, pada akhir Perang Dunia II. Pertempuran dimulai ketika tentara Amerika Serikat dan Australia mendarat di Morotai bagian barat daya. Basis di Morotai dibutuhkan untuk membebaskan Filipina dari tangan Jepang.

Jepang menduduki Morotai di awal tahun 1942 selama kampanye Hindia Belanda, tetapi tidak menempatkan pasukannya di Morotai ataupun mengembangkannya. 

Pada awal tahun 1944, Morotai muncul sebagai wilayah yang penting bagi militer Jepang ketika mulai mengembangkan pulau-pulau di Halmahera sebagai titik fokus untuk mempertahankan pendekatannya ke Filipina.

Pada suatu waktu pemecah kode Pasukan Sekutu mendeteksi keberadaan Jepang di Halmahera dan pertahanan yang lemah di Morotai, lalu meneruskan informasi ini kepada staf perencanaan militer.

Berkaitan dengan rencana Sekutu untuk bisa kembali ke Filipina, maka sebaiknya kekuatan Jepang di sekitar Papua memang dilucuti.  Sebuah pulau dengan dataran luas diperlukan sebagai batu pijakan untuk menuju Filipina. Pilihan jatuh antara Halmahera atau Morotai. “Data intelijen yang tersedia mengindikasikan bahwa garnisun tempur Jepang yang kuat ada di Halmahera,” tulis Robert Ross Smith dalam The Approach to the Philippines (2014: 451). Sementara di Morotai pertahanan militer Jepang terbilang lemah. Akhirnya, MacArthur memilih Morotai.

Pada bulan Juli 1944, Jenderal Douglas MacArthur, komandan South West Pacific Area, memutuskan Morotai sebagai lokasi untuk pangkalan udara dan fasilitas angkatan laut yang diperlukan untuk mendukung pembebasan Mindanao, yang rencananya akan berlangsung pada tanggal 15 November. Pendudukan Morotai ditetapkan sebagai Operasi Tradewind

Pendaratan dijadwalkan berlangsung pada tanggal 15 September 1944, hari yang sama dengan pendaratan Divisi Marinir ke-1 di Peleliu. Jadwal ini memungkinkan bagian utama dari Armada Pasifik Amerika Serikat untuk secara bersamaan melindungi operasi dari potensi serangan balik Jepang.

Jumlah tentara Sekutu yang menyerang jauh lebih banyak dari Jepang. Walau bantuan Jepang mendarat pada Oktober dan November, namun tetap kekurangan untuk menyerang Sekutu. Pertempuran terus berlanjut hingga tentara Jepang menderita korban jiwa yang besar akibat penyakit dan kelaparan. Beberapa prajurit Jepang di sana masih terus bertahan dan menolak menyerah. Salah satunya adalah Teruo Nakamura, yang baru berhasil diamankan pada 18 Desember 1974.

Serdadu Jepang yang terbunuh di Morotai mencapai 104 orang, sementara 13 orang ditangkap. Beberapa nahkoda mencatat setidaknya 200 serdadu Jepang tenggelam dalam sebuah serangan di perairan antara Morotai dan Halmahera. Di pihak sekutu, hingga 4 Oktober, 30 orang tewas, 85 terluka, dan satu orang hilang. Sedikitnya, ada 46 kuburan tentara Sekutu di daerah Tanjung.

Militer Jepang di Halmahera, masih menurut catatan Robert Ross Smith (2014), berusaha dengan keterbatasannya dan hanya mampu mengirim tidak lebih dari tiga atau empat tongkang ke Morotai dari 15 September hingga 4 Oktober 1944.

Jenderal Krueger menyatakan operasi Morotai berakhir pada 4 Oktober 1944. Namun, bulan-bulan berikutnya, beberapa pasukan tongkang Jepang berhasil menyelinap melalui blokade Sekutu untuk mencapai Morotai dari Halmahera. Meski begitu, serangan via tongkang ini hanya merupakan gangguan kecil bagi militer Sekutu. Serangan militer Jepang via udaralah yang cukup merugikan bagi pasukan Sekutu. Meski hanya 12 prajurit Sekutu yang terluka, namun serangan-serangan udara berikutnya menyebabkan kerusakan pesawat-pesawat Sekutu di Morotai.

Pihak yang luar biasa untung, dan nyaris tanpa kontribusi, atas perebutan Morotai dari pihak Jepang adalah Belanda. Sebelum Perang Dunia II, Morotai termasuk koloni Hindia Belanda. Di masa perang, di Australia, pejabat pelarian dari Hindia Belanda sudah mempersiapkan diri membentuk Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), yang diartikan sebagai pemerintah sipil Hindia Belanda.

Itu tugas yang tergolong mudah mengingat penduduk lokal bersikap kooperatif. Bekerja melalui NICA, banyak penduduk setempat memberikan informasi mengenai disposisi Jepang di Morotai dan Halmahera; sementara yang lain bertindak sebagai pemandu untuk patroli yang tersebar di Morotai. Dari sanalah NICA memobilisasi penduduk lokal membangun desa-desa. 

Warisan Penting Setelah Perang Dunia II

Sesudah keberhasilan Sekutu menghancurkan kekuatan Jepang yang lemah di Morotai, gugus tugas Operasi Tradewind dibubarkan pada 25 September 1944. Pasukan sekutu lantas fokus membangun lapangan udara. Dari sanalah Jenderal MacArthur memutuskan memperluas pembangunan lapangan udara di Morotai. Melebihi dari yang dipikirkan sebelumnya, ada tujuh landasan pacu yang dibangun, lima bandara sepanjang 2 kilometer dan dua lain sepanjang 3 kilometer. Mengingat serangan udara Jepang cukup bikin repot Sekutu, maka pengerjaan landasan pacu itu agak terhambat. Namun pada akhirnya, landasan udara bisa diselesaikan. Setelah hari ke-19 perebutan Morotai, pada 4 Oktober, landasan terbang di Morotai mulai didarati pesawat pertama. Puluhan pesawat, bahkan pesawat pembom berukuran besar, pada akhirnya bisa mendarat.

Posisi Morotai itu sekali lagi sangat vital bagi pasukan Jenderal Douglas MacArthur karena “menghindari 22 ribu pasukan musuh dan berada 300 mil dari Filipina,” tulis William Manchester dalam MacArthur: Sang Penakluk.

Hasil rekonstruksi arkeologi atas peninggalan perang pasifik di Morotai, terutama obyek-obyek vital infrastruktur perang menunjukkan bahwa penguasaan infrastruktur merupakan hal utama dan penting dalam strategi Sekutu untuk menaklukkan Jepang. 

Perang Pasifik di Morotai, walau terjadi dalam waktu yang singkat, namun proyek pembangunan infrastrukturnya tergolong masif (besar-besaran). Berdasarkan survei arkeologi, terlihat jelas bahwa Sekutu menyiapkan infrastruktur dengan matang.

Seperti halnya infrastruktur untuk pembangunan pangkalan militer yang disesuaikan dengan kebutuhan tempur dan penyerangan dari udara maupun dari laut, seperti lapangan terbang dan army dock serta fasilitas-fasilitas pendukung untuk kebutuhan pasukan tempur seperti kamp dan fasilitas kesehatan, serta fasilitas radar untuk komunikasi obyek vital, tampak sekali dipersiapkan dengan sangat baik oleh pihak Sekutu. [KY]