Catatan Cak AT:
Kamis, 14 Agustus 2025, atau kalau mau lebih anggun menurut kalender Hijriah, 19 Safar 1447, menjadi hari yang akan dikenang di pesantren al-Ittifaqiah. Inilah hari bersejarah ketika kitab-kitab yang dulu terkurung di rak kayu akhirnya bebas masuk saku celana santri.
Tempat peresmiannya di hari yang cuacanya mendung itu bukan di kampus mentereng atau ruang konferensi hotel bintang lima. Melainkan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah, Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, sekitar 670 km dari Ibukota Jakarta.
Di hadapan santri, para ulama, tokoh masyarakat, dan pejabat, KH. Mudrik Qori meresmikan sebuah karya yang sejak lama jadi impian —dan kini sebagian dari otaknya sudah didukung Artificial Intelligence. Namanya Perpustakaan al-Qur’an dan Sumber Belajar Digital, akan menjadi otak utama Institut Agama Islam al-Qur’an al-Ittifaqiah (IAIQI).
Saya memimpin pengembangannya bersama tim, memadukan hobi ngoprek komputer dengan semangat memelihara ilmu. Bagi saya, ini bukan sekadar proyek, tapi perjalanan panjang —dari rencana yang hanya berupa coretan di buku catatan, sampai akhirnya berdiri sebuah sistem yang bisa menelusuri isi 37 ribu kitab dalam waktu kilat.
Jangan dibayangkan perjalanan ini mulus seperti jalan tol di iklan. Awalnya, saya cuma ingin mengumpulkan dan membuat salinan digital beberapa kitab favorit, supaya tidak repot membawa setumpuk buku ke mana-mana. Teknologi kemudian semakin maju, yang sangat membantu.
Maka, proyek kecil yang “sekadar” itu berubah jadi proyek gajah. Dari puluhan kitab jadi ratusan, lalu ribuan, hingga akhirnya hampir 37 ribu buku dengan konten dari berbagai disiplin ilmu —mulai tafsir, hadits, fiqh, sejarah, filsafat, ilmu manajemen, hukum, politik, bahkan ilmu tumbuhan dan hewan— terkumpul. Hampir semua berbahasa Arab.
Bahan-bahannya pun datang dari banyak arah: Maktabah Syamilah, Maktabah Waqfiyyah, Maktabah Madaniyyah, Maktabah Tarikhiyyah, Maktabah Rasmiyyah, Maktabah Mishkat al-Islamiyyah, al-Waraq, Maktabah al-Lu’lukah, Syabakat Rafid, Muntada Ahl al-Hadits.
Bahan paling mutakhir adalah Maktabah Dzahabiyah. Maka, terkumpullah hingga ribuan kitab eksklusif yang sebagian besar belum pernah beredar di kalangan santri.
Masalahnya, kalau bahan datang dari segala penjuru, duplikasi tidak bisa dihindari. Ada kitab yang sama tapi beda versi, ada yang sama persis tapi beda judul, ada pula yang mirip-mirip seperti fotokopi buram.
Butuh upaya untuk menghapusnya. Butuh waktu dengan teknik yang, kalau saya jelaskan ke santri, akan terdengar seperti resep masakan. Ada irisan skrip Python, taburan regex, dan masakan baru matang setelah entah berapa kali uji coba.
Di tengah tumpukan data itu, saya mulai berpikir: pustaka ini akan sangat bermanfaat kalau bisa diakses seperti kita bertanya ke ustadz. Maka masuklah AI yang baru saja booming —bukan sebagai hiasan brosur, tapi sebagai asisten riset.
Sekarang, kalau seseorang mencari penjelasan ayat tertentu dari tafsir abad ke-12, teknologi bisa membantu menelusuri “jeroan” teks, menemukan kutipan yang relevan, dan menyajikan hasil pencariannya. Teknologi terus membantu penyempurnaannya.
Tapi tak mudah menemukan model AI yang bisa menerjemahkan teks Arab klasik ke bahasa modern, dengan tetap menjaga nada akademis atau religius sesuai kebutuhan. Namun, yang paling menyenangkan, teknologi tidak pernah bilang, “Ustadznya lagi keluar, nanti balik lagi.”
Tentu, teknologi punya kekurangan —kadang “pintar sotoy”. Bahkan, Anda pun paham, AI suka mengalami apa yang disebut halusinasi. Maka, tetap perlu memadukan hasilnya dengan verifikasi manual oleh tim yang paham kitab.
Apa hambatan membuat pustaka ini? Kalau saya ceritakan semua hambatan di balik proyek ini, mungkin perlu jilid tambahan. Pernah, komputer utama tiba-tiba mogok di tengah proses indeksasi 10 ribu kitab. Ternyata, hard disk penuh.
Pernah juga saya harus menjelaskan pada pengurus bahwa server yang saya usulkan memang butuh RAM dan VRAM besar. Itu bukan karena saya mau main game, tapi karena teks-teks itu harus bisa diolah secepat orang mengedipkan mata.
Ada pula drama listrik mati. Waktu itu, saya cuma bisa menenangkan diri dengan kopi dan doa, lalu mengulang dari awal. Proses ini seperti menghafal kitab: kadang harus mengulang, kadang menemukan cara baru supaya lebih cepat ingat.
Semua kerja keras itu terbayar saat saya melihat santri membuka tafsir Ibnu Katsir di ponsel sambil duduk di serambi, atau ketika seorang ustadz bisa membandingkan 5 kitab fiqh hanya dengan mengetik satu kata kunci.
Saya membayangkan, kelak 50 tahun lagi, seorang santri yang kini masih duduk di kelas ibtidaiyah akan berkata pada cucunya, “Dulu, waktu kakek nyantri, kitab itu beratnya bisa bikin pundak miring. Sekarang, cukup satu aplikasi.”
Dan pada 19 Safar 1447 itulah, di Indralaya, pesantren dan teknologi bersalaman. Sebuah pustaka lahir, bukan untuk menghapus bau wangi dan warna kuning kertas kitab, tapi untuk memastikan ilmunya tak pernah terkubur oleh debu rak kayu.




