Ilustrasi: Monas

Koran Sulindo – Suatu kali, di awal tahun 1966, ditengah riuhnya demonstrasi yang ingin menjatuhkan Presiden Soekarno, dalam sebuah percakapan di Istana Negara, Mahbub Djunaedi—seorang wartawan senior—mengajukan pertanyaannya kepada Bung Karno.

“Apa sebab, kelihatannya Bung Karno ngebut selesaikan Monumen Nasional, dan bukannya Mesjid Istiqlal?”

Dengan serius, Bung Karno menjawab: “Begini. Kalau Monumen Nasional tidak rampung sementara aku sudah meninggalkan dunia fana ini, apa ada yang meneruskan? Tidak. Tidak ada! Siapa yang ambil pusing dengan Monumen Nasional? Tapi beda dengan Mesjid Istiqlal. Dia milik seluruh Umat Islam. Aku ada di dunia atau sudah masuk lubang kubur, pembangunan mesjid itu pasti akan diteruskan. Mana ada Muslim yang baik yang membiarkan mesjidnya terbengkalai? Apalagi mesjid terbesar di dunia. Terbesar kukatakan! Aku tidak mau yang kecil-kecilan! Bangsamu itu bangsa yang besar, bukan bangsa sembarangan! Bukan bangsa cindil!”

“Lantas apa hubungannya dengan Monas?”

“Begini,” kata Bung Karno sambil sinar matanya menyorot tajam menembus langit. “Jika Monas itu bisa rampung, yang lebih tinggi dari tugu Istana Gedung Putih, bukan main hebatnya. Bayangkan! Entah seratus entah dua ratus tahun sesudah aku tiada, pada suatu waktu ada kapal terbang membawa turis asing melayang-layang di atas Jakarta. Penumpang-penumpang melongok ke luar jendela persis di atas Monas dan berkata, ‘Lihatlah bumi di bawah itu, di sana hidup bangsa yang besar!!’’

Monumen Nasional, yang mulai dibangun 17 Agustus 1961, selesai dibangun dan diresmikan 12 Juli 1975, lima tahun setelah Bung Karno wafat. Sedangkan Mesjid Istiqlal, yang mulai dibangun 24 Agustus 1951, baru diresmikan dan dibuka untuk umum di Februari 1978. Menariknya, arsitek kedua bangunan itu adalah orang yang sama: Frederich Silaban—seorang Batak-Kristen.

Ada beberapa hal yang bisa dimaknai dari pembicaraan diatas. Pertama, Bung Karno sangat mementingkan pembangunan Monas karena merupakan bagian dari proyek nation character building. Monas adalah bagian dari obsesi Bung Karno untuk membangkitkan kebanggaan rakyat Indonesia sebagai “bangsa yang besar, bukan bangsa sembarangan, bukan bangsa cindil”— yang sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia.

Lalu apa pentingnya  nation character building? Dalam salah satu pidatonya yang terkenal, Bung Karno mengatakan:“….pokok intisari mandat yang saya terima dari MPRS ialah membangun bangsa, nation building, dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan satu bangsa yang berjiwa yang dapat dan mampu menghadapi semua tantangan atau bangsa yang merdeka dalam abad 20. 

Itulah intisari pokok daripada mandat MPRS kepada saya. Sesungguhnya toh, membangun suatu negara-bangsa, membangun ekonomi, membangun tekhnik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa bukankah demikian. 

Sekali lagi bukankah demikian? Tentu saja keahlian adalah perlu, tetapi keahlian saja tanpa dilandaskan jiwa yang besar tidak akan dapat mungkin akan mencapai tujuannya, inilah perlunya, sekali lagi mutlak perlunya, nation character building…”

Teranglah sudah, bagi Bung Karno membangun jiwa bangsa harus menjadi hal yang utama dan mutlak, serta tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena itu harus menjadi perhatian utama para elite politik dan penyelenggara negara. Bangsa Indonesia harus tumbuh menjadi bangsa yang berjiwa dan berkarakter. Bangsa yang seperti itu menurut Bung Karno merupakan bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka dan benar-benar merdeka.

Selain itu, jika Bung Karno mendahulukan pembangunan Monas daripada Mesjid Istiqlal, itu bisa dimaknai bahwa ia—sebagai Presiden RI—menempatkan diri pertama-tama sebagai pemimpin negara-bangsa daripada seorang pemimpin umat Islam. Warga negara-bangsa Indonesia tidak hanya umat Islam, tapi juga umat agama-agama lainnya.

Ketika berpidato pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945, Bung Karno telah menegaskan: “…..negara Indonesia bukan negara untuk satu orang, bukan suatu negara untuk satu golongan, walaupun orang kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua  buat semua, satu buat semua, semua buat satu….”

Dengan begitu, jika hari-hari ini ada sebagian kalangan yang masih meragukan dan menggugat fundamen kebangsaan yang ditanam Bung Karno dan founding fathers, patut disayangkan. Apalagi jika gugatan itu didomplengi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Janganlah praktik politik sampai menggoyahkan fundamen kebangsaan!  [Imran Hasibuan]