Modus Visa Ganda

Ilustrasi. (AI/AT)

Catatan Cak AT:

Mungkin benar apa yang sering kita dengar: ketika moral menurun, segala hal suci pun bisa menjadi bahan dagangan. Bayangkan saja, ibadah haji —puncak ritual suci umat Islam— ternyata tidak kebal dari tangan-tangan jahil yang memanfaatkan celah demi keuntungan pribadi.

Komponen biaya visa ternyata dicantumkan dua kali di anggaran naik haji, yaitu pada “uang visa” dan “masyair,” sehingga jamaah harus melakukan pembayaran ganda sebesar 300 Riyal Saudi per orang. Jika dirupiahkan, ini setara dengan sekitar Rp1,3 juta.

Sepele? Sama sekali tidak. Jika dikalikan jumlah jamaah haji Indonesia yang mencapai 221 ribu orang, hasilnya adalah “sumbangan tak resmi” senilai 300 miliar rupiah —uang yang masuk ke kantong-kantong pribadi. Betapa bejatnya kelakuan tahunan aparat di Kementerian Agama ini.

Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, dengan tegas menyatakan bahwa Panitia Khusus (Pansus) Haji 2024 telah membuktikan adanya penyalahgunaan anggaran. Jangan diam, kita dorong agar kasus ini diproses secara hukum!

Baru pada tahun 2025, biaya ganda untuk visa ini terungkap dan akhirnya dihapus. Sekali lagi, jangan lupa, praktik ini bertahun-tahun lolos dari pengawasan, termasuk dari anggota dewan yang seharusnya paham seluk-beluk biaya haji. Apakah mereka juga terbuai aroma Riyal?

Kasus seperti ini bukan barang baru di Kementerian Agama. Di era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, muncul pula dugaan pengalihan dan jual beli kuota haji yang mencederai rasa keadilan. Kuota reguler dialihkan menjadi kuota khusus dengan iming-iming keberangkatan tanpa antre, tetapi tentu saja ada “biaya tambahan” yang tidak sedikit.

Ini bukan sekadar permainan angka, melainkan bentuk nyata penyalahgunaan wewenang. Bahkan lebih jauh, temuan manipulasi data di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) menunjukkan bahwa jadwal keberangkatan bisa diatur sesuai pesanan.

Contohnya adalah kisah kuota haji tanpa masa tunggu, di mana jamaah yang sanggup membayar Rp300 juta langsung mendapatkan tempat di Tanah Suci. Jamaah kaya bisa maju antreannya, sementara yang kurang mampu harus pasrah menunggu giliran, mungkin hingga rambut memutih.

Namun, tak semua peristiwa ini berakhir di meja hijau. Menteri Yaqut sendiri telah dilaporkan berbagai pihak ke KPK, tetapi entah bagaimana, kasus ini seperti tersesat di labirin birokrasi. Tidak heran jika publik mulai bertanya-tanya: di mana keadilan Tuhan jika para pengelola ibadah terus melenggang tanpa ganjaran? Di mana kau, KPK?

Penyelewengan haji ini ibarat komedi hitam: menggelikan sekaligus menyakitkan, menusuk rasa keadilan bagi ribuan jamaah yang menunggu antrean berpuluh-puluh tahun. Tak sedikit calon jamaah harus menunggu antrean berangkat hingga usia tua.

Sementara itu, mereka yang hanya mampu membayar biaya standar selalu dihadapkan pada ancaman penundaan keberangkatan hingga usia tak lagi bersahabat. Praktik jual beli kuota ini adalah bentuk manipulasi paling vulgar, di mana ibadah yang seharusnya bersih menjadi ajang tawar-menawar ala pasar tradisional.

Lucunya, ketika temuan-temuan ini mencuat, pemerintah hanya memberikan jawaban klise: “Akan diperbaiki ke depannya.” Padahal, anggaran yang diselewengkan bukan jumlah kecil, melainkan miliaran rupiah. Jika dana sebanyak itu dialokasikan untuk kepentingan jamaah, seperti fasilitas pemondokan yang lebih baik, mungkin mereka tak perlu tidur berhimpitan di tenda sempit.

Dalam ajaran Islam, ibadah haji adalah perjalanan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun, bagaimana mungkin perjalanan itu diridhai jika sejak awal sudah tercemar oleh praktik lancung? Dalam perspektif religius, penyelewengan semacam ini tidak hanya merugikan jamaah, tetapi juga menjadi sebab murka Tuhan.

Kita sering mendengar cerita tentang azab yang menimpa suatu kaum karena dosa-dosa mereka, dan penyelewengan ibadah bisa menjadi salah satu alasan Tuhan menurunkan hukuman kolektif. Ayat-ayat tentang hal ini banyak dimuat dalam kitab suci al-Qur’an.

Jika bangsa ini terus membiarkan praktik semacam ini, kita tidak hanya mencoreng nama baik umat Islam, tetapi juga mempertaruhkan keberkahan negeri. Tuhan tidak pernah tidur, dan sejarah menunjukkan bahwa kezaliman sekecil apa pun pasti akan mendapatkan balasannya.

Maka, apakah kita masih akan diam, atau justru ikut mendorong perubahan? Satu hal yang pasti, membersihkan ibadah dari tangan-tangan kotor adalah tanggung jawab bersama. Mari kita perbaiki, termasuk melalui jalur hukum, sebelum Tuhan menunjukkan kemurkaan-Nya.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis