Koran Sulindo – Jutaan ekor ikan yang berada di keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba, Sumatera Utara, mati mendadak. Peristiwa yang terjadi pada Senin (21/8/2018) ini terus berlangsung hingga Kamis (23/8/2018) lalu. Matinya ikan di KJA yang tepatnya berada di kawasan Pintusona, Pangururan, Kabupaten Samosir ini, mengulang kembali peristiwa kelam awal Mei 2016. Saat itu, jutaan ikan di keramba di Haranggaol, Simalungun, kawasan Danau Toba, juga mati tiba-tiba.
Salah seorang pemilik keramba ikan di Pangururan, E. Naibaho, mengatakan 4 hari terakhir ia melihat keanehan dari gerakan ikan di kolamnya. Terlebih, sepekan terakhir air Danau Toba yang awalnya jernih berubah keruh.Dia dan pengusaha keramba lainnya menduga, air keruh disebabkan naiknya lumpur.
Senin (20/8/2018) pagi, saat para pekerja memberi makanan, tidak terlihat ikan-ikan naik ke permukaan. Tambahan oksigen pun diberikan untuk mengantisipasi keadaan. Namun, ikan-ikan tidak kunjung juga menyembul.
Lalu satu-persatu ikan mengambang. Mati.
“Jika ditaksir, modal saya tidak kembali. Nilainya ratusan juta Rupiah,” kata Naibaho, seperti dikutip mongabay.co.id
Perputaran bisnis ikan keramba di Pangururan, Samosir ini setiap harinya mencapai Rp1 milar.
Sementara M. Nadeak, peternak ikan jaring apun di kawasan Danau Toba, Samosir. Menurut dia, akibat kematian ikan di sepanjang jalur keramba yang ada di wilayah ini, kerugian ditaksir mencapai Rp5 miliar.“Perekonomian kami semua terganggu, termaksud dampak sosial.”
“Kami ingin ada kelelasan hasil uji laboratorium, apa penyebabnya. Sebab, pada 2014 di kawasan Pangururan pernah terjadi hal serupa lalu di Haranggaol, Simalungun pada 2016,” katanya.
Jhunellis Sinaga, Kepala Bidang Perikanan, Dinas Pertanian Pemerintahan Kabupaten Samosir mengatakan dari pemeriksaan dan analisis awal menunjukkan, dugaan sementara penyebab kematian ikan-ikan adalah perubahan suhu dari dasar perairan ke permukaan. Akibatnya, oksigen untuk ikan tidak maksimal. Jenis ikan yang mati adalah mujair dan mas sebanyak 180 ton.
“Kotoran atau limbah ikan yang naik ke permukaan, menyebabkan kematian massal terjadi.”
Dinas Pertanian menghitung dampak kejadian tersebut dan memperkirakan petani ikan merugi hingga Rp4 miliar.
“Pelaku usaha diharap membersihkan kotoran yang ada dibawah jaring, kemudian menjemurnya. Sampel air, bangkai ikan dan lainnya tengah diperiksa di laboratorium,” kata Jhunellis.
Sepanjang Kamis pekan lalu, para pekerja dibantu warga sekitar mengangkut bangkai ikan-ikan menggunakan alat berat, dan menguburkan di lokasi yang telah disiapkan.
Tercemar
Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) melihat, kawasan danau sudah tercemar akibat limbah kotoran dari KJA. Lebih luas lagi, ada bisnis skala besar yang dikelola perusahaan asing.
Ketua Umum YPDT Maruap Siahaan, mengatakan dugaan awal faktor ini menyebabkan air di danau terkontaminasi. YPDT terus menggalang kekuatan untuk kampanye penyelamatan Danau Toba. Termasuk, menuntut pemerintah menghentikan segala aktivitas KJA untuk memurnikan kualitas air.
Ketua Tim Litigasi Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT), Robert Paruhum Siahaan, sebelumnya mengatakan, pengambilan sampel data air Danau Toba telah dilakukan di 11 titik, pada enam daerah berbeda di Danau Toba. Lima dari enam daerah tersebut, pengambilan sampel dilakukan pada kedalaman 0 m (permukaan) dan 20 m. Satu daerah diukur pada permukaan tengah danau.
YPDT melampirkan bukti Laporan Analisis Sucofindo, pencemaran air Danau Toba sangat jelas dan nyata.
“Buktinya adalah tingginya kadar Biologycal Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Fecal Coliform,” kata Robert.
Hasil uji menunjukkan, nilai BOD di atas 2 dengan rata-rata BOD 2,63mg/L pada permukaan dan 2,76 mg/L pada kedalaman 20 meter. Nilai BOD pada permukaan terendah mencapai 2,1 mg/L dan tertinggi 3,2 mg/L. Sedangkan BOD pada kedalaman 20 meter, BOD terendah mencapai 2,1 mg/L dan tertinggi 3,7 mg/L.
Nilai BOD tersebut tidak memenuhi syarat/standar baku mutu air berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Di dalamnya, memuat baku mutu air tawar kelas satu yaitu 2 mg/L. Sedangkan nilai COD, hasil uji menunjukkan bahwa rata-rata COD 21,675 mg/L pada permukaan dan 24,292 mg/L pada kedalaman 20 meter. COD pada permukaan terendah 13,85 mg/L dan tertinggi 25,61mg/L.Sedangkan COD pada kedalaman 20 meter terendah 14,44 mg/L dan tertinggi 40,24 mg/L. Hasil uji COD menunjukkan tidak memenuhi syarat/standar baku mutu air.
Tingginya Fecal Coliform pada permukaan diduga karena ada penumpukan polutan organik dan anorganik yang meningkatkan jumlah bakteri Coliform.
“Dari hasil uji analisis, terlihat jelas dan nyata air Danau Toba tercemar. Mutu air Danau Toba bukan lagi kelas 1 yang dapat dikonsumsi,” katanya.
Pencemaran air Danau Toba tidak hanya berdampak pada kualitas air minum tapi juga pada kehidupan ikan-ikan yang ada.
“Air bersih mutlak diperhatikan untuk kepentingan kita, makhluk hidup, dan lingkungan menyeluruh,” kata Robert.
LIPI: Danau Bukan untuk Keramba
Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil penelitian soal ekosistem Danau Toba untuk perbaikan kualitas air. Kajian ini menyebutkan, perlu mengurangi jumlah keramba jaring apung untuk memperbaiki kualitas air di sana.
Sejak 2009, LIPI melakukan kajian dengan mengintegrasikan hidrodinamika (pergerakan air) dengan seluruh komponen penyusun ekosistem Danau Toba, baik fisik, biologi, kimia, hingga meteorologinya.
Hidrodinamika ini sebagai syarat utama pemahaman sistem di danau, mempelajari pola arus dan pola pergerakan material. Ia juga modal awal menentukan zonasi pemanfaatan ruang di badan air danau.
Saat ini, kapasitas keramba jaring apung sudah dianggap berlebihan. LIPI merekomendasikan pembatasan jumlah produksi ikan per tahun harus memperhitungkan daya dukung lingkungan.
Hadiid Agita Rustini, peneliti Hidrodinamika dan kualitas air Puslit Limnologi LIPI, mengatakan keseluruhan KJA tak boleh lebih dari 543 dengan maksimal produksi 1.430 ton untuk mendapatkan kualitas air pada kondisi oligotrofik. Menurut Agita, kotoran atau feses ikan membuat kondisi perairan danau ini buruk.
Angka maksimal di atas dari peneliti, agar danau itu bersih dan masuk ke dalam standar oligotrofik.
“Artinya, tidak tercemar,” kata Fauzan Ali, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI.
Soal kapasitas produksi, katanya, merupakan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada pada Gubernur Sumatera Utara. Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 maksimum kapasitas produksi 10.000 ton per tahun.
Saat ini, produksi ikan budidaya di Danau Toba 6 kali lipat dari rekomendasi yakni, 65.000 ton per tahun.
”Jika ada yang menyebutkan dari pakan ikan, saya rasa pembudidaya sangat memperhitungkan sisi ekonomi. Tidak mungkin memberikan pakan terlalu banyak hingga terbuang-buang,” katanya.
Bahkan dari hasil pemodelan penelitian, Danau Toba tak mengalami eurotrofik (hipertrofik) tanpa ada KJA, meski mendapatkan pencemaran dari sungai ataupun kebiasaan membuang sampah sembarangan.
Begitu juga, danau tetap eurotrofik (hipertrofik) tanpa pencemaran dari sungai namun masih ada aktivitas KJA.
”Ternyata sungai tidak terlalu signifikan berpengaruh pencemarannya, hanya di bagian muara. jika dibandingkan kehadiran KJA,” katanya.
Berdasarkan data citra satelit Spot VII pada 2016, terdapat sekitar 11.282 KJA di Danau Toba. Jumlah ini tersebar pada 7 kabupaten, 80% di Haranggaol, Kabupaten Simalungun, sebanyak 7.700 dengan kepadatan tinggi sekitar 1.000 KJA per 300×300 meter. Air sudah tidak dapat dikonsumsi.
”Jadi yang paling merah (status eurotrofik/hipertrofik) daerah Haranggaol. Warna merah itu artinya paling rusak kualitas air karena memang kepadatan KJA tinggi.”
Kemudian diikuti Parapat, Silalahi, dengan kepadatan KJA tinggi dan status kualitas air hipertrofik (paling rusak).
Pencemaran ini, katanya, berada kedalaman sampai 20 meter, 20-30 meter, kondisi air oligotrofik (baik).
Pada simulasi LIPI, kondisi oligotrofik pada kedalaman 0-20 meter hanya memiliki kepadatan lima petak per 300×300 meter. Pada kepadatan 50 petak dan 10 petak, lokasi di Haranggaol dan Silalahi ini masih mengalami mesotrofik dan eurotrofik pada kedalaman 0-3 meter.
”Jumlah harus kurang dari lima petak per 300×300 meter untuk jadi oligotrofik.”
Meski belum memiliki kajian, kata Agita, jika rekomendasi dilakukan, penghapusan dari 11.282 ke 543, tidak memerlukan waktu lama bisa memulihkan kualitas air di Danau Toba. Saat penyebab pencemaran itu, yaitu kotoran ikan, berkurang, danau dapat memproses air jadi anorganik.
Danau Toba memiliki waktu 78 tahun untuk mengembalikan ekosistem seperti semula. Namun sebenarnya tak perlu menunggu 78 tahun jika mau mendorong pariwisata dengan nol KJA, karena pada dasarnya danau bukan tempat keramba.
”Untuk dinikmati keindahannya, manfaat air, bukan dikotori, tapi dirawat,” kata Fauzan. [DAS]