Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK menyatakan Miryam S Haryani, tersangka pemberi keterangan palsu pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el), masih berada di Indonesia.
KPK juga telah mengirimkan surat kepada Polri untuk memasukkan salah satu nama dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Miryam masih di Indonesia karena sistem pencegahan ke luar negeri sudah kami kirim untuk mencekal orang dengan identitas tersebut bepergian keluar Indonesia. Kami lakukan proses pencarian dengan bantuan Polri melakukan pencarian dan penangkapan terhadap Miryam,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (27/4), seperti dikutip Antaranews.com.
Sementara itu pengacara Miryam, Aga Khan, mengatakan kliennya masih berada di Indonesia.
“Ada di Indonesia, daerah Jawa. Saya berani jamin 100 persen. KPK itu ada-ada saja harusnya bisa dong konfimasi ke lawyer,” katanya.
Aga mengatakan tidak datangnya Miryam sebanyak tiga kali untuk diperiksa sebagai tersangka oleh KPK karena hari Paskah.
“Panggilannya Jumat, Paskah hari Sabtu. Beliau kan perlu ketemu keluarga ke Medan dan ke Bandung. Kedua, sakit. Ketiga, kami sudah mengajukan upaya praperadilan,” kata Aga.
Praperadilan
Miryam juga telah mengajukan praperadilan terhadap KPK yang menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan memberi keterangan yang tidak benar di persidangan.
“Hari ini saya datang untuk memberitahukan KPK melalui surat bahwa kita mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap kasus klien saya, Miryam S Haryani atas penetapannya selaku tersangka. Sudah didaftarkan sejak Jumat (21/4) lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” kata pengacara Miryam, Aga Khan di gedung KPK Jakarta, Selasa (25/4).
Mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura itu disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta. [DAS]