Koran Sulindo – Kontroversi minuman beralkohol (minol) sempat menyeruak beberapa waktu belakangan ini. presiden Joko Widodo dituduh melegalisasi minuman keras lewat Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Karena menjadi masif, Jokowi lantas mencabut lampiran terkait pembukaan investasi baru dalam industri miras dari Perpres tersebut.
Lantas benarkah Perpres tersebut melegalisasi minol? Perpres tersebut pada dasarnya mengatur semua bidang usaha bagi kegiatan penanaman modal. Dan salah satu usaha yang terbuka bagi penanaman modal itu adalah minol. Karena itu, Perpres tersebut sesungguhnya tidak mengatu secara khusus mengenai investasi atau legalisasi minol.
Minuman keras di Indonesia bukan wacana baru. Ia telah menjadi isu masyarakat di beberapa daerah sejak 1995. Akan tetapi, keberadaan pabrik minol juga telah ada sejak negeri ini masih di bawah jajahan Kerajaan Belanda. Namun, wacana minol waktu itu tidak segencar hari ini.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) masyarakat yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menggunakan sampel yang sama dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2007 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah anggota rumah tangga yang menjawab pertanyaan tentang minol dalam 12 bulan terakhir adalah 660.349 (99,4%) dari 664.190 individu yang berumur 15 tahun ke atas.
Sementara jumlah penduduk pada waktu itu diperkirakan mencapai 224.904.900 jiwa. Sementara itu, hasil survei Nielsen pada 2015 antara Mei hingga Juni di DKI Jakarta dengan sebanyak 1.048 responden menyebutkan 87% masyarakat mengetahui minol. Meski demikian, peminum alkohol di DKI Jakarta amatlah kecil hanya 8%.
Sedangkan, 2% bukan peminum tetapi ada anggota keluarnganya yang minum alkohol. Lalu, 8% bukan peminum alkohol, tapi ada teman dekatnya yang minum alkohol. Dan umumnya sekitar 81% tidak berinteraksi dengan alkohol. Dari semua minuman alkohol, bir paling banyak dikonsumsi.
Dari data-data tersebut dapat disimpulkan, secara nasional jumlah penduduk yang minum alkohol relatif rendah. Bahkan jika itu merujuk kepada daerah-daerah seperti DKI Jakarta itu, peminum alkoholnya pun bisa dikategorikan rendah. Meski di beberapa daerah angka peminum alkoholnya lebih tinggi dari angka nasional.
Tentu kita tidak dalam rangka mendukung legalisasi atau liberalisasi pasar minol. Justru dari data-data tersebut kita belajar betapa kita membutuhkan aturan yang ketat untuk mengatur distribusi minol baik produksi dalam negeri maupun impor. Itu sebabnya,DPR mengusulkan pembentukan undang undang untuk mengatur minol ini pada 2015.
Karena itu, Rancangan Undang Undang Minol pernah masuk program legislasi nasional di 2015. Bahkan Panitia Khusus Larangan Minol pun sudah dibentuk. Namun, tidak jelas ujung dari RUU ini. Pasalnya, nomenklatur dari RUU ini dinilai sudah diskriminasi karena melarang minol. Padahal, industri minol menginginkan pengendalian bukan pelarangan. Pun dengan sikap anggota DPR waktu itu sama sekali tidak memprioritaskan RUU ini.
Lantas mengapa baru sekarang ribut-ribut soal minol? Nuansanya justru sangat politis. Kepentingan rakyat justru tidak tampak dalam ribut-ribut soal minol itu. Para politikus kita tampaknya memang lebih suka masalah-masalah parsial ketimbang membahas substansial.
Semisal, revisi UU ITE yang dinilai membungkan hak-hak demokratis rakyat. Setelah sempat membetot perhatian publik dan memberi harapan kepada rakyat, gara-gara minol semuanya terlupakan. Pada akhirnya soal minol ini pun, rakyat lagi-lagi hanya disuguhi dagelan elite yang tak lucu itu. [Kristian Ginting]