Milenial dan Politik : Sebuah Pilihan Sulit (?)

Ilustrasi generasi milenial - Tirto

BERBAGAI survei menunjukan bahwa kaum milenial akan menjadi penentu dalam pemilu yang akan datang. Tak tanggung-tanggung, menurut berbagai survei, jumlah suara kelompok milenial mencapai 40% dari keseluruhan pemilih. Maka tidak heran jika kemudian banyak politisi menggarap serius suara dari kelompok ini.

Sebenarnya kaum milenial telah menjadi pemilih pertama kali begitu Orde Baru runtuh. Kemunculan bahasan soal itu kali ini mungkin didorong oleh jumlahnya yang semakin besar serta makin terasanya budaya dari generasi sebelum maupun sesudahnya.

Di Indonesia, utamanya terkait apatisme politik, hal ini terkonfirmasi dengan survei yang dirilis oleh CSIS dan Litbang Kompas. Survei CSIS yang dirilis pada awal November 2017 lalu menunjukkan bahwa hanya 2,3% dari generasi milenial yang tertarik dengan isu sosial-politik. Salah satu isu yang paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11% dari generasi milenial yang mau menjadi anggota partai politik. “Apatisme milenial terhadap politik tak lepas dari persepsi bahwa politik itu kotor. Laporan tahunan KPK sejak 2004 hingga 2016 menunjukkan bahwa sebanyak 32% dari mereka yang ditangkap KPK adalah kader partai politik. Belum lagi, setiap hari mereka disuguhi pemberitaan tentang pejabat publik yang menggunakan rompi oranye,” (Tsamara Amany, Milenial, Politik, dan Media Sosial, 2017)

Pada intinya terdapat karakter-karakter khusus dari kelompok-kelompok ini. Karakter khusus itu dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang memang dimulai sejak tahun 1980-an. Globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mempunyai implikasi pada berubahnya pola-pola hubungan sosial seluruh masyarakat di dunia. Keterhubungan ini membuat generasi milenial menjadi lebih canggih dan modern, baik dalam segi fisik maupun dari segi nilai dan pemikiran.

Selain kemajuan teknologi, meluasnya demokrasi dan mulai runtuhnya komunisme membuat perbedaan besar antara milenial dengan generasi sebelumnya. Demokrasi berarti masyarakat makin mempunyai nilai keterbukaan dan kesetaraan. Ini berbeda dengan generasi X yang hidup pada era perubahan, di mana terjadi lonjakan pemikiran kritis. Era yang demokratis mungkin merupakan kelanjutan dari periode kritis. Namun pada saat yang sama juga menimbulkan adanya suatu independensi yang lebih individualistis, di mana milenial mempunyai nilai kemandirian dan keunikan tersendiri.

Tahun 2020 menjadi momentum politik yang membutuhkan peran generasi milenial yang cakap media, tanggap, dan kreatif. Langkah-langkah strategis generasi milenial dalam mengisi pesta demokrasi dapat dilakukan dengan beragam cara, misalnya mendorong gerakan anti golput atau kampanye hashtag yang positif demi pilkada berkualitas.

Posisi generasi milenial sangat diperhitungkan pada pilkada di berbagai daerah. Generasi milenial adalah bagian dari penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi, baik di tingkat daerah maupun nasional. Kewajiban kaum milenial adalah memegang kendali untuk dunia politik. Bersikap aktif untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Dan generasi milenial tidak boleh berdiam diri dan mengiyakan semua tindakan politik pemerintahan. Akan tetapi harus dan bahkan wajib mengkritik.

Di Amerika kebingungan tampaknya berasal dari fakta bahwa milenium—yang tidak seperti pendahulu mereka—tidak melihat pemerintah saat ini sebagai tempat terbaik untuk melakukan tugas sipil mereka.

Menurut Allstate-National Journal Heartland Monitor Poll 2014, 83 persen milenium mengatakan bahwa jika orang Amerika menyumbangkan lebih banyak waktu dan uang untuk kelompok komunitas dan organisasi amal, itu akan membuat hidup lebih baik di sekitar mereka. Di antara mereka yang berusia lebih dari 34 tahun, hanya 62 persen yang mengatakan hal yang sama.

Sementara itu, jajak pendapat juga menunjukkan bahwa 66 persen milenial percaya bahwa bisnis lokal dapat membantu mereka menjalani kehidupan yang baik.

Itu karena milenium—yang tumbuh dewasa di dunia Google, Wikipedia, dan media sosial—memiliki ekspektasi akuntabilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Klaim politisi secara rutin, “Karena saya membacanya di koran,” telah menjadi alasan yang tidak masuk akal untuk percaya bahwa sesuatu itu benar. Dan media berita tidak lagi menjadi penjaga gerbang informasi bagi kaum milenial.

Ketika transparansi menjadi prioritas, penyebab aktivis lebih diutamakan daripada institusi monolitik. Menurut Millennial Impact Report, sebuah laporan tahun 2014 dari Case Foundation yang berfokus pada filantropi dan kewirausahaan, kaum milenial memilih tempat untuk menyumbangkan waktu dan uang mereka bukan berdasarkan kepercayaan institusional—seperti yang dilakukan orang tua mereka—tetapi pada kemampuan mereka untuk melihat di mana mereka berada. Itu yang akan membuat dampak.

“Milenial suka melihat ke mana uang mereka pergi,” tulis penulis laporan tersebut. Mereka “berulang kali bergema […] bahwa mereka menginginkan transparansi tentang bagaimana organisasi menggunakan dan memaksimalkan hadiah tersebut.”

Sementara ketidakjelasan pengeluaran pemerintah yang sudah sangat terkenal itu membuat sebagian besar milenium menjauh. Memang itu bukan lonceng kematian bagi demokrasi, melainkan ajakan bertindak bagi pemerintah untuk melibatkan kembali kaum milenial. Faktanya masih ada segelintir pemimpin milenial yang belum menyerah pada kemampuan pemerintah untuk beradaptasi dengan kebutuhan generasi baru. [S21]