Koran Sulindo – Ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada awal Desember lalu, Wakil Presiden AS Mike Pence yang berdiri di belakangnya tampak sumringah. Melalui sebuah video yang ditayangkan laman The Guardian pada 7 Desember 2017, Pence sepertinya menyambut baik dan bersemangat mendukung pengumuman Trump itu.
Setelah pengumuman itu, dalam sebuah wawancara yang dikutip thehill.com, Pence menjuluki Trump sebagai orang yang beriman. Trump disebut sebagai “orang yang percaya” dan bersyukur atas dukungan orang-orang beriman kepadanya. Juga penting agar orang tahu bahwa AS memiliki seorang pemimpin yang menganut dan menghormati peran iman dan pentingnya agama dalam kehidupan keluarga AS. Demikian Pence.
Dukungan “orang beriman” yang dimaksudkan Pence merujuk kepada orang-orang Kristen Evangelis yang umumnya mendukung Trump pada pemilihan presiden AS tahun lalu. Untuk menggambarkan Trump sebagai orang yang benar-benar “percaya”, Pence membagikan pengalamannya ketika menemani Trump bertemu dengan pemimpin agama di Gedung Putih. Sebelum memulai pembicaraan, pemimpin agama terlebih dulu mengajak berdoa dan Trump, kata Pence, segera menurutinya.
Akan tetapi, pernahkah Trump dan Pence memikirkan dampak dari pengumuman Yerusalem sebagai ibu kota Israel itu? Apakah Pence dan Trump sebagai “orang percaya” menyadari dukungan mereka itu melanggengkan penjajahan terhadap Palestina? Lalu mengapa pula Pence yang sibuk menjelaskan kebijakan Trump itu? Siapa Pence dan apa hubungannya dengan Kristen Evangelis?
Dalam sebuah tulisan berjudul Mike Pence Will Be the Most Powerful Christian Supremacist in U.S. History pada tahun lalu menggambarkan sosok Pence sebagai perwakilan kelompok Kristen AS. Dalam tulisan yang dimuat theintercept.com itu, Pence disamakan dengan tokoh-tokoh ekstrem seperti pemimpin kelompok Partai Nazi AS, Steve Bannon dan pemimpin supremasi kulit putih Ku Klux Klan, John Bolton.
Terpilihnya Pence menjadi Wakil Presiden AS disebut sebagai “prestasi” – kalau bukan “kudeta” – kelompok agama ekstrem. Di Indonesia kelompok demikian disebut sebagai kelompok agama fundamentalis. Pence dan kelompok Kristen fundamentalis AS sadar betul tidak bisa “merebut” Gedung Putih dengan jalan sendiri. Itu sebabnya, kehadiran Trump lalu dianggap sebagai “berkat” dari Tuhan.
“Trump mungkin bukan kandidat pilihan kami, tapi bukan berarti tidak mungkin kandidat Tuhan akan melakukan sesuatu yang tidak kami lihat,” tutur David Barton, aktivis Kristen Evangelis.
Selain aktivis Kristen Evangelis, Barton juga memimpin lembaga Wall Builders, sebuah organisasi yang ingin mewujudkan pemerintahan AS dengan nilai-nilai Alkitabiah. Boleh jadi ini sama dengan istilah pemberlakuan syariat Kristen. Barton amat memuji Trump karena melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan presiden AS sebelumnya. Barton akan tetapi tidak menjelaskan maksudnya itu. Apakah itu merujuk kepada pengumuman Yerusalem sebagai ibu kota Israel? Entahlah.
Kuda Troya
Bagi Kristen Evangelis dan kelompok fundamentalis, Trump merupakan “kuda troya” untuk mewujudkan “kerajaan Tuhan”. Dan Pence adalah salah satu “prajurit” yang paling berharga dari kelompok tersebut. Mereka yakin itu bisa terwujud terutama dengan mengontrol Republik di parlemen dan senat, serta membawa sistem hukum melalui Mahkamah Agung mengarah ke syariat Kristen atau “kanan”.
Musuh utama dari kelompok ini adalah sekularisme. Keinginan mereka hanya satu: mewujudkan pemerintahan yang dipimpin Tuhan. “Itulah satu-satunya pemerintahan yang sah,” kata Jeff Sharlet, penulis buku tentang hak agama ekstrem. Dalam berbagai hal kelompok ini tidak pernah melepaskan pandangannya dari konsep Tuhan. Makanya di kalangan mereka, Pence dianggap sedang menjalankan kapitalisme Alkitabiah. Dengan kata lain, gagasan sistem ekonomi juga berasal dari Tuhan.
Lalu bagaimana awal mula Pence terlibat dalam Kristen Evangelis? Pence awalnya adalah seorang Katolik. Namun, ia menjadi seorang Kristen Evangelis ketika mendapat pertobatan dan “hidup baru” di sebuah konser musik Kristen di Kentucky saat kuliah. Pence bahkan menggambarkan dirinya sebagai seorang Kristen konservatif dan seorang Republikan. Bahkan nama komite aksi politiknya dinamai dengan “semangat perang salib”.
Akan tetapi, perubahan kebijakan AS ini sesungguhnya membawa politik yang mengarah kepada Zionisme Kristen. Sebuah ideologi politik berdasarkan keyakinan bahwa negara Israel merupakan nubuatan dari Alkitab. Dan secara alami AS berkaitan dengan Israel. Berdasasarkan itu pula Dan Hummel, seorang pengamat dari Harvard Kennedy School dalam tulisannya di Washington Post menjuluki Pence sebagai “Zionis Kristen” militan. Tentu saja karena dukungan Pence yang secara terbuka mengatakan Israel merupakan nubuat dari Alkitab.
“Penampilannya sebagai orang kedua di AS menandakan era baru betapa Zionis Kristen kini menguasai Gedung Putih,” kata Hummel dalam sebuah tulisan berjudul Armageddon: Pence, Israel and the Evangelicals yang dimuat counterpunch.org pada pertengahan bulan ini.
Dalam kunjungannya ke Israel setelah pengumuman Trump soal Yerusalem, Pence yang berpidato dalam pertemuan Persatuan Kristen mengatakan, ketika negaranya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, merupakan bagian dari penggenapan akan kedatangan Mesias. Sebagai persiapan perang akhir zaman yang disebut sebagai Armagedon itu, kata Pence.
Namun, pertama-tama adalah mempercayai “pemurnian” Israel yang “dibelenggu” bidah-bidah terutama Islam untuk menggenapi nubuatan Alkitab tentang kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya. Inilah keyakinan Pence dan Kristen Evangelis itu. [Kristian Ginting]