Merujuk Konvensi Hukum Laut III, Tiongkok Tak Bisa Abaikan Putusan Arbitrase

Ilustrasi: Unjuk rasa di Filipina/defence.pk

Koran Sulindo – Setelah menolak keputusan arbitrase internasional soal klaim Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan, negeri dengan cap komunis itu akan menempuh jalur bilateral dengan Filipina. Tiongkok dengan tegas menolak keputusan itu dan meminta agar negara-negara lain sekalipun itu Perserikatan Bangsa Bangsa untuk tidak campur dalam persoan itu.

Akan tetapi, ajakan Tiongkok untuk membahas secara bilateral ditolak Filipina. Gayung tak bersambut. Pasalnya, Tiongkok tidak menyertakan keputusan arbitrase beberapa waktu untuk menjadi pembahasan.

Karena itu, kata Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay, pihaknya menolak proposal yang diajukan Tiongkok. Proposal Tiongkok itu disebut Yasay tidak sejalan dengan konstitusi mereka dan kepentingan Filipina.

Tiongkok mengklaim sejumlah wilayah di kawasan seluas sekitar dua juta kilometer persegi itu. Bahkan di beberapa wilayah, Tiongkok sudah membangun pulau-pulau buatan. Wilayah yang diakui Tiongkok meliputi Spratly, Scarborough Shoals, dan Paracel.

Jika Tiongkok hendak membahasnya secara bilateral, Filipina tetap mengacu pada keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag, Belanda beberapa waktu lalu. Ditolak begitu, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi mengingatkannya soal kemungkinan konfrontasi jika Filipina  tetap berkeras soal putusan Pengadilan Tetap Arbitrase.

Filipina, kata Yasay, mengutamakan perundingan hak nelayannya untuk kembali ke Terumbu Scarborough. Pelaksanaan keputusan pengadilan akan dilakukan bertahap.

Dalam putusan Pengadilan Tetap Arbitrase beberapa waktu lalu, Tiongkok disebut tidak punya dasar hukum atas klaim sejarahnya atas perairan di Laut Tiongkok Selatan. Pengadilan memutuskan Tiongkok melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut dengan membangun pulau buatan di zona ekonomi eksklusif Filipina.

Lantas bagaimanakah memaknai Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan zona ekonomi eksklusif sebuah negara. Soal ini sumbangsih Indonesia dengan tokohnya Mochtar Kusuma-atmadja terbilang besar. Sebelum 10 Desember 1982, waktu penandatanganan Konvensi Hukum Laut di Montego Bay, Jamaica, Mochtar telah berpengalaman selama 25 tahun dalam hal penetapan garis batas maritim dengan negara-negara tetangga melalui perundingan yang kompleks dan sulit.

Jejak Mochtar ini kemudian tertuang dalam buku yang berjudul “Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja” yang ditulis Nina Pane dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 2015. Di buku itu ditulis tentang kiprah Mochtar yang sejak awal menjadi delegasi Indonesia untuk mengikuti Konferensi Hukum Laut [UNCLOS] I yang digelar di Jenewa dan dihadiri 86 negara.

Bersama dengan Mr. Ali Sastromidjojo [Penasihat delegasi], Mr. Achmad Subardjo, Dubes RI di Bern Swiss [Ketua], M. Pardi [anggota merangkap Wakil Ketua], Mr. Karni [anggota merangkap Wakil Ketua II], Mr. Sudharno Mustafa [anggota merangkap Sekretaris], Gusti Muhamad Charidji Kasuma, perusat perikanan dan lain sebagainya, Mochtar menjadi Indonesia untuk Konferensi tersebut.  Delegasi  mengemukakan tentang Prinsip Negara Kepulauan [Archipelagic State Principle]. Inilah untuk kali pertama masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi Prinsip Negara Kepulauan yang waktu itu masih asing bagi dunia.

Delegasi Indonesia pada waku itu setidaknya mengupayakan agar Konferensi tidak mengambil keputusan yang membatasi panjangnya garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung, karena pembatasan demikian apabila diterima akan menghancurkan cita-cita kesatuan antara pulau-pulau dan air sekitarnya yang dicetuskan dalam Deklarasi Pemerintah RI pada 13 Desember 1957.atau yag kerap disebut sebagai Deklarasi Djuanda. Meski konsep delegasi belum dapat diterima oleh semua negara, setidkanya Indonesia mendapat dukungan dari Ekuador, Filipina dan Yugoslavia.

Untuk mendapatkan simpati dari negara-negara peserta, pemerintah Indonesia menyebarkan tulisan berjudul “The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea” yang memuat penjelasan tentang Prinsip Negara Kepulauan. Hasilnya: beberapa negara mulai bersimpati terhadap perjuangan Indonesia. Meski demikian, usaha Indonesia pada Konferensi belum membuahkan hasil. Ada empat pokok yang dihasilkan dari Konferensi UNCLOS pertama di Jenewa yaitu pertama, Konvensi mengenai laut Teritorial dan Jalur Tambahan, kedua Konvensi mengenai Laut Lepas, ketiga Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan Kekayaan hayati Laut, keempat, Konvensi mengenai Landas Kontinen.

Selanjutnya UNCLOS II kembali diadakan di Jenewa. Mochtar yang juga pengajar Universitas Padjajaran juga ikut dalam rombongan delegasi Indonesia. Tema utama dalam Konferensi ini adalah menetapkan lebar laut wilayah yang seragam bagi semua negara yang gagal dicapai pada UNCLIS I. Untuk memperjuangkan tuntutan, Indonesia mengesahkan Undang Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Mochtar berperan besar dalam pembuatannya. Itu tampak dari berbagai pidatonya dan seminar tentang UU ini. Melalui UU ini pula memperlihatkan perubahan sikap Indonesia dibandingkan dengan situasi dan suasana pada 1957. UU ini lantas disampaikan pada UNCLOS II, namun usul Indonesia masih belum dapat diterima. Dengan demikian empat Konvensi yang dihasilkan pada UNCLOS I tetap berlaku.

Konvensi Hukum Laut III baru ditandatangani pada 1982. Dan kala itu Mochtar sudah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Konvensi Hukum Laut ini ditandatangani sebanyak 117 negara dan dua badan yang bukan negara. Sebelum Konvensi Hukum Laut III ditandatangani, diawali dengan penyajian makalah pada Annual Conference of the Law of The Sea Institute di Rhode/Islands, USA. Mochtar pada waktu itu kembali menegaskan keunikan Wawasan Nusantara serta memperkenalkan istilah “archipelagic waters” [perairan Nusantara/kepulauan] yang kemudian menjadi bagian dari Konvensi Hukum Laut III 1982.

Keahlian Mochtar diakui mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas dalam sambutannya di buku Mochtar Kusuma-atmadja: Pendidik & Negarawan. Bahkan hasll tersebut sebagai karya “masterpiece”  Mochtar. Selain Ali, di buku yang sama, St. Munadjat Danusaputro mengatakan: “Beberapa catatan yang penuh kenang-kenangan selama saya diperkenankan untuk membantu dan memperoleh bimbingan dari Prof. Mochtar dalam menekuni dan mendalami pengalaman di bidang Hukum Laut, nyatanya terus berlanjut selama beliau memimpin Delegasi Indonesia untuk mengikuti Konferensi PBB Tentang Hukum Laut III pada tahun 1973 hingga 1982, dimana saya ditugaskan menjadi salah satu anggotanya.”

Nugroho Wisnumurti, anggota Delegasi Indonesia pada Konferensi Hukum Laut III mengungkapkan peranan Mochtar. “Peranan dan kepemimpinan Prof. Mochtar pada Konferensi-konferensi Hukum Laut yang berlangsung dari tahun 1973 hingga 1982 – yang ditandai oleh disiplin dan expertise Pak Mochtar – telah memungkinkan berhasilnya perjuangan Delegasi RI untuk memperoleh pengakuan internasional atas Rezim Hukum Negara Nusantara, sebagaimana tercantum dalam satu bab yang komprehensif dalam Konvensi Hukum Laut 1982.”

Kembali pada persoalan Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Tiongkok dan Filipina berkaitan dengan putusan Pengadilan Tetap Arbitrase tentang Hukum Laut. Kendati bukan menjadi produk hukum yang mengatur sebuah bangsa, Tiongkok tidak boleh mengabaikan begitu saja tentang Konvensi Hukum Laut tersebut. Dan menjadi wajar ketika Filipina menolak keinginan Tiongkok untuk membahas secara bilateral jika tidak menyertakan putusan Pengadilan Tetap Arbitrase sebagai rujukan. Terlebih Filipina merupakan negara yang sejak awal mendukung  mengenai implementasi Prinsip Negara Kepulauan atau Konvensi  Hukum Laut yang digagas Mochtar itu. [KRG]