Koran Sulindo – Boleh jadi anda lupa dengan peristiwa 8 Maret. Padahal, di tanggal itu, tujuhpuluh lima tahun lalu, sebuah peristiwa penting terjadi mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia sebelum merdeka.
Ya, 8 Maret 1942, Jepang menguasai Indonesia setelah Letnan Jenderal Ter Poorten mewakili pemerintah Kerajaan Belanda di Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang yang diwakili oleh pimpinan balatentara Dai Nippon. Saat itulah Indonesia lepas dari penjajahan Belanda, terbelenggu oleh Jepang.
Tak lama, memang, Jepang menguasai Indonesia. Hanya sekitar 3 tahun. Di tahun 1945, atau tepatnya 17 Agustus 1945 Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya lewat pidato Proklamasi Soekarno – Hatta.
Perjalanan ‘singkat’ pendudukan Jepang ini yang diwarnai pula dengan adanya Perang Dunia II – dengan jatuhnya apakah bisa dikatakan sebagai blessing in disguise atas kemerdekaan Indonesia? Tak mudah menyimpulkan. Perlu kajian ilmiah yang mendalam. Namun yang jelas, kehidupan bangsa Indonesia sama buruknya dengan saat dikuasai Belanda.
Kini, usia Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai 71 tahun lebih. Hubungan dengan Jepang pun berlangsung baik. Tak sedikit investasi Jepang masuk ke Indonesia. Tentu, hubungan baik ini tak lantas begitu saja menghapus kenangan lama sekaligus menatap masa depan yang lebih baik.
Hal inilah yang kemudian diangkat oleh Romo G Budi Subanar (peneliti), Benardi Darumukti (peneliti) dan Timoteus Anggawan Kusno (màhasiswa) – ketiganya dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogya – mendalami jejak ingatan sejarah pendudukan Jepang 1942 – 1945. Ada yang mendalami jejak ingatan penduduk Jepang atas perang Pasifik, ada pula yang mendalami kegandrungan anak muda pada Jepang kontemporer, cosplay. Hal inilah yang kemudian dirangkum dan disajikan dalam pameran ‘Meretas Ingatan Tentangmu: 75 Tahun Setelah Pendudukan Jepang’. Pameran yang mengambil tempat di gedung perpustakaan USD ini dibuka pada Rabu (8/3) malam dan berlangsung hingga 8 April mendatang.
“Kami beruntung bisa mengakrabi dan menemukan beberapa naskah serta barang-barang yang ditinggalkan. Mereka (para pelaku saat pendudukan Jepang) menjadi saksi yang mampu menghadirkan dirinya, bahkan dengan berbagai cara juga dapat diajak bicara. Pengalaman itu mendorong kami untuk menghadirkan naskah serta barang-barang tersebut untuk hadir dan berbicara pada masyarakat masa kini,” kata Romo Banar.
Dalam pameran ini ditampilkan tulisan Mgr. A. Soegijapranata tentang kesaksiannya saat pendudukan Jepang. Soegija mengungkapkan betapa gereja Katolik yang bersifat supra-nasional dipandang sebagai anti nasional. Yayasan dan pekerjaan misi yang terpenting seperti pendidikan dihentikan.
Demikian pula disajikan kesaksian N Drijarkara SJ, serta Chodanco Soekandar dari kesatuan Peta Daidan Blitar. “Pengetahuan tentang kesewenang-wenangan dan keserakahan Jepang dengan ‘kumiai’ ini nyata-nyata merusak dan menyengsarakan kehidupan rakyat, termasuk keluarga dan kerabat prajurit Peta, menimbulkan rasa benci dan tidak mau terima dalam hati kami prajurit Peta, apalagi nama Peta dipakai sebagai kedok”, begitu tulis Soekandar.
Jepang kini tak lagi menjajah Indonesia. Jepang juga luluh lantak akibat bom Atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Namun, kini Jepang menjadi negara modern, sejajar dengan AS,. Inggris, Perancis ataupun Jerman. Negara Matahari Terbit ini mampu pula menanamkan investasi di beberapa negara, termasuk Indonesia. Produk-produk industrinya seperti smartphone, televisi, motor, mobil merambah ke mana-mana.
Pandangan terhadap Jepang, kini, jelas berubah, terlebih di generasi 9O-an. Memang, generasi 90-an ini paham bila nenek moyangnya menderita akibat pendudukan Jepang lewat buku-buku sejarah saat duduk di bangku sekolah. Namun di sisi lain, generasi ini juga dimanjakan dengan segala kemudahan lewat smartphone, televisi, motor atau mobil yang sehari-hari ditemui, digunakan dan dinikmati.
Perubahan-perubahan imaji inilah yang disodorkan oleh ketiga akademisi dari USD lewat pameran ‘Meretas Ingatan Tentangmu: 75 Tahun Setelah Pendudukan Jepang’.
“Saya tidak sedang membayangkan Jepang sebagai sebuah dunia nyata, bukan sebuah negara yang satu di daerah timur Asia – utara Indonesia. Dalam pencarian narasi ini saya ingin membicarakan ‘Jepang’ sebagai sebuah dunia yang hidup di dalam ingatan masyarakat Indonesia. Sebuah dunia yang muncul dari pembayangan masyarakat Indonesia. Sebuah dunia yang muncul secara bervariasi, tergantung seberapa dalam kita masuk ke semesta pengetahuan yang terpapar di atas kita. Dunia seperti apa yang kita namai dengan Jepang?” Begitu penegasan Romo Banar, Bernadi Darumukti dan Timoteus Anggawan Kusno. [YUK]