Koran Sulindo – Asap tebal hitam menyelimuti kota itu pada suatu Jumat siang Juni 2017. Dua helikopter tempur milik militer Filipina baru saja meninggalkan pusat kota. Suara dengung pesawat tempur buatan pada era Vietnam merobek langit Marawi. Dua bom baru saja diluncurkan ke pusat kota. Pertempuran hebat baru saja usai: 13 marinir Filipina dinyatakan tewas.
Nasir Abdul, warga Marawi yang kini menjadi pengungsi di sebuah gedung perkantoran menyaksikan hal tersebut dan menceritakannya kepada Associated Press (AP) pada pekan kedua Juni 2017. Dari lantai tiga gedung itu, Nasir sedih melihat kotanya hancur – luluh lantak. Nyaris setiap hari ia menyaksikan – terutama dalam tiga pekan terakhir pasukan militer pemerintah menyerang Marawi dengan roket dan bom.
Itu demi satu tujuan: melenyapkan pasukan militan yang disebut sebagai ISIS. Selama satu dekade terakhir, ini merupakan pertempuran yang paling lama yang dihadapi pasukan militer Filipina. Dan setiap kali pertempuran terjadi, Nasir bersama puluhan orang lainnya pasti menyaksikan peristiwa yang hanya berjarak sekitar dua kilometer itu.
Ketika pertempuran hebat terjadi pada Jumat itu, Nasir duduk terpaku. Ia tak menyangka 13 marinir tewas dalam peristiwa itu. “Saya merasa sedih setiap kali bom diluncurkan, karena kita tahu orang-orang pasti tewas dan sekarat. Ketika saya melihatnya, tidak bisa tidak, saya pasti menangis karena memikirkan keluarga, rumah dan usaha,” kata pria berusia 45 tahun itu.
“Kami tahu akibat serangan itu banyak orang tertimpa dan terkubur di bawah runtuhan gedung.”
Setelah Suriah, pertempuran pasukan militer Filipina menghadapi ISIS di Marawi selama tiga pekan ini menjadi pusat perhatian pemberitaan internasional. Apalagi ISIS di Suriah kian terpojok, sebagian militan disebut menyeberang ke Marawi dan menjadikannya sebagai basis baru. Karena pertempuran itu, sebagian besar pusat kota Marawi sudah rata dengan tanah.
Pertanyaannya, benarkah itu hanya sesederhana yang digambarkan pemberitaan internasional? Benarkah ini ISIS? Menjawab berbagai pertanyaan ini sebuah tulisan analisis berjudul Path to Hell: Daesh in the Philippines is a US Project yang dimuat strategic-culture.org menggambarkan apa yang terjadi di Marawi merupakan awal menuju kekacauan di Filipina. Dan metode yang dipakai ISIS itu sama sekali tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Irak, Libya dan Suriah. Dan ini merupakan tekanan yang paling berat dihadapi Presiden Rodrigo Duterte selama memimpin Filipina akibat pergeseran politik luar negerinya.
Lantas mengapa semua ini bisa terjadi dalam waktu yang relatif singkat? Upaya Duterte merekatkan hubungan dengan Rusia dan Tiongkok serta menjauhi Washington mungkin sekali menjadi penyebab munculnya kekacauan. Apa yang dikerjakan Duterte sama sekali bertentangan dengan perintah Amerika Serikat (AS). Duterte dianggap tidak seperti kebanyakan pemimpin Filipina sebelumnya. Ia tidak sekadar berjanji, namun merealisasikan apa yang pernah dijanjikannya kepada pemilihnya.
Terutama memutuskan hubungan Filipina dengan AS. Alih-alih memperbaiki hubungannya yang kurang “intim” itu, Duterte justru merangkul Beijing dan Rusia. Dengan Tiongkok, misalnya, kedua negara pernah bersitegang mengenai batas wilayah di Laut Tiongkok Selatan terutama di Kepulauan Spratly. Masalah ini kemudian berhasil diselesaikan lewat hubungan diplomatik – suatu solusi yang tidak disukai Washington.
Tak Disukai Washington
AS sangat berkepentingan dengan keberadaan Kepulauan Spratly. Lokasi ini dianggap cocok menjadi tempat untuk memata-matai Tiongkok yang gencar meluaskan pengaruhnya di Asia. Duterte tahu betul tujuan AS terutama untuk konteks Asia. Duterte menegaskan sikapnya tidak akan mengorbankan kepentingan negaranya hanya demi AS dan Jepang. Tindakan ini sangat tidak disukai AS.
Tanda-tanda konfrontasi dengan AS sebetulnya sudah terlihat sejak era Barack Obama. Dimulai dari kata-kata kasar Duterte, kebijakan perang melawan narkotika dan melawan terorisme serta mengkritik organisasi hak asasi manusia internasional. Menggunakan manipulasi pemberitaan, AS melalui media arus utama lalu menyudutkan Duterte sebagai pemimpin berdarah dingin, angkuh dan otoriter.
Dari semua itu, Washington nampaknya sudah patah arang terhadap Duterte. Operasi penghancuran Filipina pun dimulai dengan mengirim militan ISIS dari Indonesia dan Malaysia yang beraliansi dengan kelompok teroris lokal seperti kelompok Maute dan Abu Sayyaf. Targetnya adalah menciptakan kekacauan dalam jangka panjang di Filipina seperti yang terjadi di belahan dunia lain semisal Timur Tengah, Afrika Utara dan Afghanistan.
Duterte tentu saja sadar dengan itu. Ia bahkan berada dalam situasi bahaya. Ditambah lagi beredar rumor tentang hubungan partai oposisi dengan kelompok teroris di Filipina. Karena itu, apa yang terjadi di Marawi menjadi jelas: adanya kekuatan di balik aksi teror baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kepada RT.com, Duterte mengatakan, badan intelijen AS menargetkan negaranya dengan memasok ISIS sebagai cara untuk menggulingkannya dan menghancurkan Filipina.
“ISIS telah membangun basis di negara saya, di wilayah selatan. Seperti di negara lain, kita memerangi terorisme dan tentu saja membutuhkan senjata,” kata Duterte pada awal bulan Juni 2017.
“Tiba-tiba dua senator AS mengatakan bahwa mereka tidak akan mengekspor senjata. Saya bilang tidak masalah karena saya selalu bisa datang ke Tiongkok atau Rusia.”
Yang menarik lagi, ketika ISIS masuk ke Marawi, John McCain, senator senior AS dari Partai Republik sedang berada di Australia. Yang menjadi catatan adalah McCain acap kali berada di daerah yang dekat ketika ISIS memulai operasinya. Ia juga terekam berada di Turki ketika ISIS kali pertama beroperasi di Suriah. Dan kini berada di Australia ketika ISIS beroperasi di Filipina.
Keberadaan tentara AS di kota Marawi juga memunculkan sejumlah pertanyaan, terutama bagi Partai Komunis Filipina (CPP). Mereka ikut serta dalam operasi bersenjata untuk memerangi ISIS. Tentara Filipina mengaku campur tangan militer AS sebagai bantuan teknis dan operasi intelijen. Pengakuan militer Filipina itu disebut CPP sebagai pelanggaran kedaulatan Filipina. Apalagi itu menggambarkan bahwa tentara Filipina berada di bawah kendali militer AS.
Jejak AS dalam pembentukan organisasi teroris juga dicatat Andre Vltchek dalam tulisannya berjudul U.S. “Jihadi Express”: Indonesia – Afghanistan, Syria, Philippines. Penulis buku Indonesia: Archipelago of Fear yang telah diterjemahkan dengan judul Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara menyebutkan sekelompok yang terdiri atas 350 orang dikirim ke sebuah kamp milik Ittehad-al-Islami (Uni Islam). Kelompok ini sepenuhnya didukung oleh AS.
Berdasarkan hasil wawancara Vltchek dengan profesor Iman Soleh dari Universitas Padjajaran menyebutkan, pengiriman jihadis ke Afghanistan itu atas dukungan AS lewat apa yang disebut sebagai “Komando Jihad”. Kepada Vltchek, Iman mengatakan, panglima ABRI waktu itu, Jenderal Moerdani mendukung jihadis Indonesia dan Afghanistan dengan menyediakan senjata termasuk AK-47.
Iman kembali menegaskan kepada Vltchek, pemberangkatan jihadis ke Afghanistan dibantu langsung oleh AS dengan penyamaran “kelompok belajar Islam” dan lain-lain. Rute yang digunakan adalah Indonesia – Malaysia – Filipina – Afghanistan. Fakta ini kemudian menunjukkan persoalan terorisme sejak lama tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mengikuti logika imperialis, ia hanya alat untuk menggoyang negara yang tidak mengikuti perintah AS. Irak dan Suriah adalah contoh nyata. Dan Filipina adalah target selanjutnya karena “pembangkangan” Duterte terhadap Washington. [Kristian Ginting]