Presiden Joko Widodo (tengah, kiri) menjabat tangan calon wakilnya, Ma'ruf Amin (tengah, kanan), sebelum mendaftarkan pencalonannya di Jakarta, 10 Agustus 2018. Mast Irham/EPA

Koran Sulindo – Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah memilih ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama (NU), Ma’ruf Amin, sebagai pasangannya untuk pemilihan presiden (pilpres) tahun depan.

Banyak ahli politik menjelaskan bahwa keputusan Jokowi yang mengejutkan ini adalah hal yang tidak terduga dalam drama politik terbaru di Indonesia. Artikel ini tidak akan menganalisis keputusan politik strategis Jokowi dalam memilih Ma’ruf. Namun, artikel ini bertujuan untuk mengangkat ke permukaan masalah besar yang sejauh ini luput dari pembahasan: dampak negatif dari pencalonan Ma’ruf terhadap kelompok minoritas.

Apa yang Hilang?

Kebanyakan ahli politik hanya fokus pada strategi politik Jokowi dalam memilih Ma’ruf sebagai kandidat wakil presiden. Para ahli ini mendasarkan analisis mereka pada cara-cara aktor politik mengambil pendekatan pragmatis untuk menang dan mengalahkan lawan mereka.

Dengan pendekatan semacam ini, wajar jika penunjukkan Ma’ruf dianggap sebagai strategi politik yang canggih oleh para pendukung Jokowi atau sebagai strategi politik yang licik oleh lawan-lawannya.

Banyak yang menganggap bahwa Jokowi adalah ahli strategi politik yang hebat. Keputusannya untuk memilih Ma’ruf bisa melemahkan lawan-lawan dari kubu Islam konservatif dan mungkin akan membawa kemenangan bagi Jokowi pada pilpres di bulan April tahun depan.

Yang hilang dari analisis ini adalah pembacaan terhadap dampak keputusan Jokowi dalam memilih Ma’ruf terhadap kelompok minoritas agama, seksual, dan gender.

Mengenal Ma’ruf Lebih Dalam

Ma’ruf bukanlah seorang tokoh ulama biasa. Ketika kita mengetik namanya dalam mesin pencarian Google, kita akan menemukan jejak andilnya dalam penerbitan beberapa fatwa terkait masalah-masalah yang sensitif.

Fatwa-fatwa tersebut mendiskriminasi hak-hak kelompok minoritas, termasuk perempuan, LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), penganut Syiah dan Ahmadiyah.

Kepemimpinan Ma’ruf di MUI juga ditandai dengan penolakan keras terhadap nilai-nilai “liberal”, “pluralisme”, dan “sekularisme”.
Meskipun NU diasosiasikan dengan pandangan-pandangan progresif terkait ajaran-ajaran Islam, tidak serta merta tepat jika menganggap Ma’ruf kemudian akan berpegang pada ajaran-ajaran progresif ini dan menerima kelompok minoritas.

Posisi Ma’ruf di NU mencerminkan perspektif yang beragam dalam organisasi NU.

Publik yang Terfragmentasi

Keputusan Jokowi memilih Ma’ruf sebagai wakilnya menunjukkan karakteristik dari sistem politik Indonesia yang terbagi antara mereka yang mendukung dan melawan status quo.

Dalam kondisi politik seperti ini, aspek seperti kebijakan politik dan perlindungan hak-hak asasi manusia diabaikan untuk memberi tempat narasi-narasi yang mendorong kedua kubu yang berlawanan pada titik ekstrem.

Kesuksesan kandidat politik akan bergantung pada kemampuan mereka untuk membuat janji-janji populer yang mendukung sentimen publik, dan bukan pada kemampuan mereka dalam melindungi hak-hak asasi warga negara Indonesia.

Pada akhirnya, publik mungkin tidak begitu peduli tentang siapa yang benar secara moral. Mereka sebaliknya terdorong untuk membuktikan lawan mereka salah. Pada titik ini, baik pendukung Jokowi maupun lawannya, Prabowo Subianto, telah kehilangan nalar kritisnya untuk menilai dengan adil kandidat politik mereka.

Menegaskan Diskriminasi

Jokowi memenangkan pilpres 2014 sebagai tokoh yang mendukung nilai-nilai pluralisme. Lima tahun kemudian, Presiden Jokowi menunjukkan dirinya tidak lebih dari sekadar politikus yang fokus utamanya adalah memenangkan pilpres meskipun itu berarti dirinya harus menyangkal prinsip-prinsip yang dianutnya lima tahun sebelumnya.

Segala bentuk aksi politik di ruang publik selalu mendatangkan konsekuensi.

Keputusan Jokowi mungkin merupakan langkah politik yang cerdas untuk menangkal kekuatan hebat dari kelompok Muslim konservatif di tengah iklim politik saat ini.

Namun, kita jangan lupa bahwa keputusannya juga memberikan penegasan dari calon pemimpin negara atas sikap antagonistik Ma’ruf terhadap orang-orang yang terpinggirkan.

Pemilihan Ma’ruf berarti pemberian tempat bagi perilaku misogini, homofobia, dan diskriminasi agama di tingkat politik tertinggi di Indonesia.

Memang benar adanya bahwa ranah pembuatan kebijakan selalu ada harga yang harus dibayar. Tetapi pertanyaannya adalah: mengapa orang yang terpinggirkan yang harus membayar? [Lailatul Fitriyah, mahasiswi doktoral pada program Agama-agama Dunia dan Gereja Global di Jurusan Teologi, Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.