Koran Sulindo – Wabah corona meluluhlantahkan perekonomian global. Mulai dari lini bisnis penerbangan, retail hingga pariwisata. Bank Pembangunan Asia (ADB) menyebutkan dampak wabah virus corona menyebabkan kerugian ekonomi global senilai US$ 347 miliar atau setara Rp 4.944 triliun. Nilai itu sekitar 8,6 kali dari kerugian ekonomi akibat wabah SARS pada 2003 yang mencapai sekitar US$ 40 miliar.
Namun, di balik fakta soal kerugian ekonomi itu rupanya ada juga yang bisa mereguk keuntungan dari dampak virus corona. Terutama mereka yang menjadi pelaku bisnis farmasi. Virus corona yang berawal dari Tiongkok memang menambah kekayaan bagi para pebisnis farmasi. Laporan Reuters, misalnya, menyebut pengusaha farmasi di Tiongkok bertambah kekayaannya.
Ya, penyebaran virus corona yang terus meluas ini semakin menambah kekayaan para miliarder di bidang farmasi. Menguasai produk farmasi yang masif maka akan membuat para pengusaha ini semakin merajalela. Ditambah lagi jika para pengusaha ini bisa menguasi obat atau vaksin penangkal virus corona yang konon belum ada hingga saat ini.
Seorang anggota DPR Amerika Serikat dari Partai Demokrat menulis surat kepada Sekretaris Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS Alex Azar pada 2 Maret lalu bahwa akan “tidak dapat diterima jika hak untuk memproduksi dan memasarkan vaksin yang selanjutnya diserahkan kepada produsen farmasi melalui sebuah perusahaan eksklusif lisensi tanpa syarat penetapan harga atau akses.”
Hal ini memungkinkan perusahaan untuk membebankan biaya apa pun yang diinginkannya dan pada dasarnya menjual vaksin kembali ke publik yang membayar untuk pengembangannya. Meski langkah itu tak terlalu didukung anggota DPR lainya. Kebanyakan menentang pemikiran soal dikuasainya vaksin corona oleh perusahaan farmasi tanpa ada kendali dari negara. Alasannya kebijakan itu akan menghambat penelitian dan inovasi.
Belum adanya vaksin atau obat untuk virus corona membuat banyak perusahaan farmasi bekerja sama dengan organisasi kesehatan. Mantan Menteri Kesehatan era Presiden SBY, Siti Fadilah Supari pernah menulis buku berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Dalam buku ini ia menceritakan soal wabah virus flu burung yang menyerang Indonesia.
Diluncurkan pada Minggu, 6 Januari 2008 di Jakarta, buku ini membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Dalam bukunya ini Siti Fadilah membuka kedok Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing dan ternyata merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.
Dalam buku ini, Siti menyebutkan soal campur tangan asing soal ingin menguasai vaksin flu burung.
“Jiwa kedaulatan saya terusik. Seolah saya melihat ke belakang, ada bayang-bayang penjajah dengan semena-mena merampas padi yang menguning, karena kita hanya bisa menumbuk padi menggunakan lesung, sedangkan sang penjajah punya mesin sleyp padi yang modern. Seolah saya melihat penjajah menyedot minyak bumi di Tanah Air kita seenaknya, karena kita tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki uang untuk mengolahnya. Inikah yang disebut neo-kolonialisme yang diramal oleh Bung Karno 50 tahun yang lalu? Ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain? Demikian jugakah pengiriman virus influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveillance Network). Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan GISN yang sangat berkuasa tersebut sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada ketidakadilan?”
Persis seperti yang ditulis Siti Fadilah itu, President and Director of the Centre for Research on Globalization Michel Chossudovsky dalam Covid-19 Coronavirus “Fake” Pandemic: Timeline and Analysis juga berupaya menganalisis apa yang sesungguhnya terjadi, terutama berkaitan dengan pandemik virus corona ini.
Perang Ekonomi
Chossudovsky menulis “yang kita hadapi hari ini adalah ‘perang ekonomi’ yang didukung dengan informasi yang keliru dari media massa. Ditambah adanya niat sengaja pemerintah Donald Trump untuk ‘merusak’ ekonomi Tiongkok dan kini tidak terbatas hanya untuk negara tersebut.”
Di samping itu, Chossudovsky juga menyebutkan, benar masyarakat dunia saat ini butuh akan layanan kesehatan karena virus corona dan itu penting untuk segera diatasi. Namun, penting juga untuk mengetahui apa yang melatari “keputusan bersejarah” WHO yang menetapkan status darurat kesehatan global akibat wabah virus corona pada 30 Januari lalu.
Disebutkan Chossudovsky, hasil analisisnya ada “kepentingan” yang kuat di balik keputusan WHO itu. Terutama terkait dengan “Big Pharma” (sebutan untuk jaringan perusahaan farmasi raksasa dunia), Wall Street dan lembaga pemerintah AS. Pertaruhannya adalah aliansi “Big Pharma” dengan “Big Money” yang mendapat dukungan dari pemerintah Trump.
Menurut Chossudovsky, keputusan serupa telah diambil di World Economic Forum, Davos, Swiss, sepekan sebelum WHO mengumumkan status darurat kesehatan global itu. Dari sinilah media massa “beroperasi”, menyemburkan informasi tentang virus corona sehingga menimbulkan kepanikan global.
Karena itu, tulis Chossudovsky, “kita sedang berhadapan dengan krisis global yang kompleks dan berdampak secara ekonomi, sosial dan geopolitik yang jangkauannya luas.” Isu Covid-19 karena itu menjadi objek yang bisa diperdebatkan secara luas dan memaksa untuk menantang “pernyataan resmi” yang selama ini disampaikan badan-badan resmi dunia.
Lalu pertanyaannya, akan seperti apakah vaksin corona ini? Seberapa banyak keuntungan yang diraup perusahaan farmasi seperti Big Pharma dan lain-lain itu kelak? [Kenourios Navidad]