Dan Mereka Tinggal di Kandang Kerbau

Koran Sulindo – Klaim Badan Pusat Statistik pada bulan Maret 2018 menyebut jumlah penduduk miskin dan gini rasio anjlok di bawah satu digit.

Angka itu diklaim sebagai yang angka terendah sepanjang sejarah Indonesia.

Badan itu menyebut pada bulan Maret 2015 penduduk miskin di Indonesia berjumlah 11,22 % yang kemudian turun menjadi 10,86 % di bulan Maret tahun berikutnya.

Jumlah itu kembali turun menjadi 10,64% bulan Maret 2017 dan menjadi 10,12% di bulan September 2017 dan kembali turun menembus 9,82% atau 25,96 juta di bulan Maret 2018.

Karena sebagian besar petani tinggal di perdesaan, indikator kesejahteraan petani juga bisa dilihat pada tingkat kemiskinan dan gini rasio perdesaan.

BPS mengklaim pada Maret 2015, gini ratio sebesar 0,408, dan turun menjadi 0,397 pada Maret 2016 dan 0,393 Maret 2017 dan di bulan Maret 2018 tembus angka 0,389.

Tentu boleh saja BPS dengan segala klaimnya itu membanggakan kinerja pemerintah, tapi toh pada kenyataannya masih saja ada orang-orang di desa yang hidup dengan kemiskinan yang tak terbayangkan.

Keluarga Dasirin di Desa Singare, Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan adalah salah satu contohnya.

Entah bagaimana ceritanya bermula Dasirin dan Tarkonah akhirnya memilih tinggal di kandang kerbau di atas sebuah bukit di tengah hutan.

Kandang kerbau yang ditempati keluarga itu berupa gubuk beratap rumbia berukuran 4×6 meter dan terletak di atas bukit di Mengger.

Belum lagi, kedua anak pasangan itu Wiwit Setianingsih (16) dan adiknya, Vivi Ratnasari (10) memiliki keterbatasan fisik. Wiwit mengalami kelumpuhan semenjak kelas satu sekolah dasar, sedangkan Vivi mengalami keterbelakangan mental.

Lebih miris dengan jarak terdekat dari permukiman sekitar lima kilometer dengan menembus hutan dan tanjakan terjal, kedua bocah itu nyaris tak bersosialisasi dengan warga dan membuat mereka sulit berkomunikasi.

Belum lagi, terkadang mereka mesti ditingal kedua orang tuanya pergi mencari nafkah sejak pagi dengan bekerja merawat kerbau milik orang atau menjadi buruh tani.

Dengan menggunakan lampu minyak sebagai penerangan, malam bagi kedua bocah praktis hanya kegelapan.

Dasirin mengatakan dirinya terpaksa memindahkan keluarganya empat bulan lalu menjauhi pemukiman karena memang tak memiliki tempat tinggal. Sebelumnya, ia sudah setahun tinggal di puncak bukit itu.

“Mau bagaimana lagi kami tidak punya apa-apa, untuk menyambung hidup saja kami harus banting tulang naik turun bukit menjadi buruh tani, dan merawat ternak berupa kerbau milik orang,” kata Dasirin seperti dikatakan kepada Tribunjateng.com, Sabtu (1/9).

Meski hidup dalam kondisi kekurangan, Dasirin menyebut kedua anaknya tak pernah mengeluhkan keadaan mereka. Justru ia dan istrinya sering menangis melihat kondisi kedua anaknya yang memiliki keterbatasan dan keadaan ekonomi mereka.

Dasirin menyebut, kedua anaknya selalu mengatakan ingin menjadi orang pintar dan terus belajar tapi apa daya keadaan mereka memaksa hidup dalam kondisi itu.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tak jarang Dasirin mengambil buah-buahan atau umbi yang di sekitar hutan. Bahkan pernah satu kali mereka memakan umbi hingga keracunan.

“Ketika malam dan istri saya sering menangis melihat kondisi anak-anak, karena kedua anak kami punya keterbatasan ditambah ekonomi kami seperti ini,” kata Dasirin.

Belakangan, menyadari ada warga tinggal di tengah hutan itu ditindaklanjuti warga dan pemerintah desar Singare dengan mendatangi kandang kerbau tempat tinggal keluarga Dasirin.

Walaupun tak memiliki anggaran, warga bersama pemeritah desa berencana membuatkan tempat tinggal untuk keluarga Dasirin dengan patungan sukarela. Beberapa warga siap mengusahakan material bahan bangunan dan tenaga.

“Kita telah putuskan hendak membuatkan kandang tinggal untuk keluarga Dasirin, lokasinya sudah ada di dekat Kantor Desa Singare,” kata Hasanudin, Kepala Desa Singare.

Ia menyebut pihaknya segera berkoordinasi sekaligus memperkirakan proses pembangunan itu dalam dua pekan. Sementara itu kedua anak Dasirin akan dipindahkan terlebih dahulu karena kondisinya yang memprihatinkan.

“Sebenarnya mereka warga Desa Krompeng Kecamatan Talun, tetapi kita hendak mengurus administrasi kependudukan keluarga itu supaya menjadi warga Desa Singare,” kata Hasanudin.[TGU]