Koran Sulindo – Kamis 18 Januari 2007 itu, Maria Catarina Sumarsih, mulai mematung beberapa jam di depan istana presiden ketika matahari mulai surut ke barat. Panas dan terik dilawannya dengan payung hitam. Hari ini, Kamis 19 Januari 2017, setelah 10 tahun kemudian, Sumarsih masih berdiri beberapa jam di istana presiden, membentangkan payung hitamnya.
Anak Sumarsih, Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya, Jakarta, tewas dalam peristiwa Semanggi I November 1998.
Ia masih setia melawan lupa demi Wawan, agar tak ada lagi orangtua seperti dirinya di negeri ini, yang harus terus mencari keadilan meski jalan di depannya tak pernah kelihatan ujungnya.
“Meskipun Wawan telah pergi, saya merasa dia tetap ada di hati saya dan anggota keluarga yang lain. Makam Wawan adalah taman hati bagi kami sekeluarga,” kata ibu berusia 67 tahun itu.
Sumarsih tak pernah sendirian. Bersama orangtua lain yang kehilangan anak kisruh politik Tragedi Mei 1998, Semanggi I, dan Semanggi II tiap Kamis akan bersama mematung di depan kediaman orang nomor satu di Republik Indonesia itu.
Jatuhnya kekuasaan Orde Baru Soeharto pada Mei 1998 yang menandai mulainya proses reformasi, titik balik negara ini dari otoritarian ke demokratis, menelan ribuan korban.
Aksi para orang tua yang setia mematung tiap pekan itu mulanya digagas Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) yang isinya para keluarga korban kerusuhan tahun-tahun itu. Mereka hanya ingin mengingatkan bahwa proses hukum dan penegakan hukum pada para pelaku yang membuat anak-anak mereka gugur tak pernah beres.
Unjuk rasa diam yang kelak bernama Aksi Kamisan itu bertahan hingga 10 tahun, menunjukkan pemerintah, yang kemarin mau pun yang kini berkuasa, tak pernah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat.
“Saya berharap Pak Joko Widodo tak melupakan janji suci dan komitmen politiknya ketika ia mencalonkan diri sebagai presiden. Upaya menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ada di dalam Nawacita,” kata Sumarsih.
Jokowi
Aksi Kamisan nampaknya terinspirasi ibu-ibu berkumpul di Plaza de Mayo, di depan Istana Kepresidenan dari Argentina, yang mulai beraksi pada 1977. Mereka menuntut pemerintah menemukan anak-anak mereka yang hilang selama junta militer berkuasa di sana pada 1976-1983. Pemerintah Argentina menyerah, dan membentuk komisi nasional untuk orang hilang, dan pelan-pelan para jenderal yang terlibat pembunuhan dan penghilangan paksa anak-anak The Mothers of Plaza de Mayo itu diseret ke depan pengadilan.
Apakah Pemerintah Presiden Joko Widodo juga akan menyerah?
Menurut Human Right Watch, tidak. Memasuki tahun kedua pemerintahannya, Presiden Jokowi dinilai gagal mengatasi gangguan di republik Indonesia, mulai dari serangan terhadap kebebasan beragama, diskriminasi gender, dan hak-hak minoritas.
Dalam World Report 2017 yang dirilis Jumat (13/1) lalu, komitmen Jokowi sebagai pembela HAM dipertanyakan, karena setahun sebelumnya sudah gagal mengubah retorikanya menjadi inisiatif kebijakan.
Dalam bagian Indonesia pada laporan setebal 687 halaman itu, disebutkan meski pemerintahan Jokowi menyatakan inisiatifnya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, namun “tak ada tindakan resmi lebih lanjut dari pemerintah, dan pelanggaran HAM terus terjadi,” kata Deputy Direktur HRW Asia, Phelim Kine.
Kamis depan Ibu Sumarsih masih akan berpayung hitam mematung beberapa jam di depan istana presiden ketika matahari mulai surut ke barat. [aksikamisan.net/hrw.org/DAS]