Koran Sulindo – Sebagian kalangan meragukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memendam rasa untuk menemui Presiden Joko Widodo. Pasalnya, setelah menyampaikan rasa terpendamnya itu, justru kadernya dari Fraksi Demokrat di DPR menggalang hak angket untuk membongkar penyadapan ilegal terhadapnya.
Pada pekan lalu, SBY mencurahkan isi hatinya dalam sebuah jumpa pers di Wisma Proklamasi, Jakarta Pusat untuk bertemu dengan Jokowi. Ia beralasan ingin blak-blakan kepada Jokowi mengenai berbagai isu dan tuduhan kepadanya. Terutama soal SBY di balik rencana makar yang berkaitan dengan demo besar-besaran pada tahun lalu.
SBY mengakui soal rasa ingin bertemu dengan Jokowi. Akan tetapi, beberapa menit kemudian ia membalikkan situasi karena rupanya yang ingin bertemu itu adalah Jokowi. Dan SBY justru menuduh balik orang-orang di sekitar Jokowi kira-kira dua atau tiga orang kerap menghalangi rencana pertemuan keduanya.
“Hebat juga dua tiga orang itu bisa melarang presiden bertemu sahabatnya,” kata SBY dalam jumpa pers pekan lalu.
Dalam kesempatan yang sama, SBY juga “curhat” tentang dugaan penyadapan terhadap dirinya. Dugaan penyadapan ini disebut sebagai delik umum sehingga yang menanganinya adalah aparat penegak hukum. Ia meminta agar hukum ditegakkan seadil-adilnya.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan itulah pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Sebastian Salang dan rohaniwan, Romo Benny Susetyo meragukan rasa terpendam SBY untuk bertemu dengan Jokowi. Sebastian Salang, misalnya, menilai, setelah jumpa pers tersebut justru ketegangan antara SBY dan Jokowi kian meningkat.
Itu tak lain karena langkah lugas Partai Demokrat di DPR yang menuai antipati. Pasalnya, partai SBY itu justru menggalang hak angket untuk menyelidiki tentang dugaan penyadapan terhadap mantan presiden itu. “Jangan-jangan Demokrat memang mendesain agar SBY dan Jokowi tidak jadi bertemu,” kata Sebastian.
Seperti Sebastian, Romo Benny juga berpendapat serupa. Ia meragukan niat SBY untuk bertemu dengan Jokowi. Politik, kata Romo Benny, mirip dengan panggung. Di depan, SBY memainkan politik sebagai orang yang terzalimi melalui isu penyadapan. Sementara di belakang kadernya “menyerang” Jokowi dengan isu yang serupa.
Padahal, SBY disebut masih memiliki kuasa. Selain karena mantan presiden, juga sebagai ketua umum partai politik yang memiliki jumlah kursi cukup besar di DPR. “Itu harusnya tidak terjadi. Jika SBY merasa begitu, bagaimana dengan rakyat,” kata Benny.
Jika sudah begini, masihkah SBY tulus ingin menemui Jokowi? [KRG]