Koran Sulindo – Pada suatu pagi di April 2021. Suara dari seberang telepon tampak terkejut setelah mendengar pertanyaan tentang pergantian salah satu komisioner Komisi Kejaksaan pada 7 April 2021. Sosok yang terkejut itu adalah Halius Hosen mantan Ketua Komjak periode 2011-2015.
“Saya belum mendengar itu. Kapan itu?” kata Halius bertanya balik soal adanya pelantikan anggota Komjak yang baru saat dihubungi pada pekan kedua April 2021.
Pelantikan pengganti Witono, anggota Komjak yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Papua Barat dilakukan pada 7 April lalu. Tidak ada pengumuman. Kesannya tertutup. Nama pengganti Witono itu adalah Nurwinah.
Menurut Halius, Nurwinah merupakan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi. Kembali ke soal Witono mantan anggota Komjak itu. Halius merasa janggal karena selama ini Witono yang menjadi anggota Komjak periode 2019-2023 itu masih berstatus jaksa aktif.
Secara etis, kata Halius, sejak terpilih menjadi anggota Komjak,Witono sebaiknya mundur dari jaksa. Meski tidak diatur dalam Peraturan Presiden tentang Komjak tahun 2011, tugas anggota Komjak haruslah profesional sehingga tentu saja fokus pada tugasnya yang mengawasi kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai Kejaksaan termasuk jaksa agung.
“Ini baru pertama kali dalam sejarah Komjak. Jadi, kalau sudah menjadi anggota Komjak seharusnya melepas embel-embel jaksa. Harus konsekuen,” ujar Halius.
Presiden Joko Widodo melantik anggota Komjak periode 2019-2023 pada 1 November 2019. Mereka yang dilantik adalah Barita LH Simanjuntak (mewakili pemerintah, sebagai Ketua merangkap anggota); Babul Khoir (mewakili pemerintah, sebagai Wakil Ketua merangkap anggota); Witono (mewakili pemerintah, sebagai anggota); Sri Harijati (mewakili unsur masyarakat, sebagai anggota); Apong Herlina (mewakili unsur masyarakat, sebagai anggota); Resi Anna Napitupulu (mewakili unsur masyarakat , sebagai anggota); Muhammad Ibnu Mazjah (mewakili unsur masyarakat, sebagai anggota); Bambang Widarto (mewakili unsur masyarakat, sebagai anggota); dan Bhatara Ibnu Reza (mewakili unsur masyarakat, sebagai anggota).
Anggota Komjak dilantik berdasarkan keputusan presiden. Dan Presiden Joko Widodo waktu itu mengambil sumpah jabatan yang berbunyi “Bahwa saya, akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darmabakti saya kepada bangsa dan negara.”
“Bahwa saya dalam menjalankan tugas jabatan akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab.”
Kendati dilantik berdasarkan keputusan presiden, menurut Halius, apa yang dialami Witono dengan menjadi Wakajati Papua Barat dengan surat keputusan jaksa agung tidak bisa dipertentangkan satu dengan lainnya. Itu tidak ada masalah sepanjang prosedurnya benar.
Akan tetapi, kata Halius, itu bermasalah secara etis. Ketika terpilih menjadi anggota Komjak seharusnya mundur sebagai jaksa. Karena tidak mungkin jaksa aktif mengawasi kinerja jaksa aktif atau ibarat jeruk makan jeruk. Ditambah lagi tugas Komjak itu mengawasi seluruh perilaku dan kinerja yang berpredikat jaksa termasuk jaksa agung.
“Harusnya konsisten dengan sumpah jabatan,” kata Halius.
Secara terpisah, Witono yang sempat rangkap jabatan itu juga dibenarkan anggota Komjak Bhatara Ibnu Reza. Sejak dilantik menjadi anggota Komjak, menurut Bhatara, Witono tetap menjadi jaksa aktif. Dan itu disebut tidak melanggar Perpres tentang Komjak.
“Di Perpres (Komjak) itu kan hanya mengatur perwakilan pemerintah dan unsur masyarakat. Jadi pelantikan (7 April) kemarin untuk menggantikan Pak Witono yang jadi Wakajati Papua Barat,” kata Bhatara.
Menurut Bhatara, Witono menjadi anggota Komjak sekitar setahun lamanya. Beda dengan Babul Khoir yang memilih pensiun dini dua bulan setelah menjabat sebagai Wakil Ketua Komjak. Witono resmi menjadi Wakajati Papua Barat sejak Desember 2020.
Lalu kapan Witono mengundurkan diri sebagai anggota Komjak? “Soal itu, saya kurang tahu,” kata Bhatara.
Di samping Witono, Ketua Komjak Barita LH Simanjuntak juga rangkap jabatan sebagai komisaris di PT Danareksa (Persero). Pada saat yang sama, Kejaksaan Agung sedang menangani kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan dari Danareksa kepada PT Aditya Tirta Renata (PT ATR) pada 2014-2015.
Rangkap Jabatan
Rangkap jabatan Barita itu, menurut Halius, sama sekali tidak benar. Menabrak aturan. Omong kosong apabila Barita mengaku bisa membagi waktunya sebagai komisaris sekaligus Ketua Komjak. Pasalnya, pengawasan yang dilakukan Komjak itu melibatkan puluhan ribu jaksa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
“Konsisten dengan sumpah jabatan. Ketua kan awasi berpuluh ribu jaksa nggak akan ada waktunya untuk menjadi komisaris,” kata Halius.
Dalam Pasal 35 di Perpres tentang Komjak disebutkan komisioner Komjak perwakilan masyarakat dilarang rangkap jabatan. Kendati hanya untuk komisioner perwakilan masyarakat, semangat pasal itu otomatis berlaku untuk ketua sebagai representasi lembaga meski menjadi utusan pemerintah.
Meski menabrak aturan, Halius agak heran mengapa pemerintah mendiamkannya. Apalagi Komjak sebenarnya berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Seharusnya presiden lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan bertindak agar Komjak bisa bekerja sebagai lembaga yang profesional.
“Selain itu, saya juga heran mengapa komisioner (Komjak) yang lain juga diam saja. Harusnya kita konsekuen dengan jabatan yang kita pegang,” kata Halius.
Soal ini, wartawan Koran Suluh Indonesia sempat menghubungi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD lewat aplikasi perpesanan Whatsapp melalui telepon dan pesan. Ketika ditelepon, Mahfud menolak panggilan tersebut. Sedangkan pesan yang disampaikan bercentang dua dan berwarna biru. Tapi, itu juga tidak ada jawaban.
Seperti halnya Halius, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman berharap Komjak terus bekerja mengawasi kinerja dan perilaku jaksa dan pegawainya. Apalagi setelah Barita Simanjuntak rangkap jabatan sebagai komisaris di Danareksa itu, nyaris tidak ada lagi kerja-kerja pengawasan yang dilakukan Komjak terhadap jaksa terutama dalam skandal Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang bertemu dengan buronan kasus pengalihan hak tagih Bank Bali Joko Tjandra.
Lalu, apakah ada hubungan antara Barita menjadi komisaris Danareksa, maka pemeriksaan jaksa yang terkait Pinangki tidak berlanjut? “Kita akhirnya kan menduga-duga seperti itu. Padahal, masih ada beberapa yang harus diperiksa Komjak terkait Pinangki. Misal, mengapa atasannya mengizinkan Pinangki pergi ke luar negeri hingga berkali-kali,” kata Boyamin.
Masih terkait Pinangki, kata Boyamin, Komjak juga perlu mendalami mengapa peninjauan kembali (PK) Joko Tjandra yang diajukan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan itu sempat tertahan 20 hari di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Surat dari PN Jakarta Selatan itu awalnya ditujukan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan lalu diteruskan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta baru sampai di Kejaksaan Agung.
“Ini perlu didalami Komjak. Kalau kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan waktu itu kan sudah diperiksa di Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Cuma dinilai tidak ada masalah. Tapi, yang belum di DKI itu. Jadi, kerja Komjak saat ini mengecewakan,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, posisi Barita sebagai komisaris di Danareksa sebenarnya tidak boleh. Terlebih Kejaksaan Agung sedang menyidik dugaan korupsi di badan usaha milik negara itu sehingga kecenderungannya akan ada konflik kepentingan.
Terkait dengan komisioner Komjak yang berasal dari jaksa dan belum mengundurkan diri, menurut Boyamin, itu tidak ada masalah. Boleh saja karena tidak ada aturan yang melarang hal tersebut. Yang penting ke depan, level jaksa yang mewakili pemerintah di Komjak harus setingkat eselon satu sehingga bisa mengawasi kinerja dan perilaku pejabat tinggi Kejaksaan. [Kristian Ginting]