Ilustrasi Jampidmil/suara.com

Koran Sulindo – Jaksa Agung ST Burhanuddin resmi melantik Laksamana Muda Anwar Saadi sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) pada pertengahan Juli lalu. Pelantikannya itu merupakan amanat dari keberadaan Jampidmil sebagai lembaga yang diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

Selanjutnya, pada Hari Bhakti Adhyaksa, Burhanuddin menyebut pembentukan dan pelantikan Jampidmil sebagai kado istimewa. Itu disebut sebagai bentuk sinergitas antara Kejaksaan RI dan TNI dan katalisator kelembagaan perkara koneksitas yang akan mewujudkan Single Prosecutor System dengan mengintegrasikan kebijakan penuntutan perkara tindak pidana antara subjek hukum sipil dan militer, sehingga disparitas atau kesenjangan dalam penuntutan perkara sipil dan perkara militer dapat dihapuskan.

Tetapi benarkah seperti yang diungkapkan Burhanuddin itu? Sebelum membahas prosedur menjadi seorang Jaksa, keberadaan Jampidmil ini bukannya tanpa pro dan kontra. Bahkan sebagian Jaksa di lingkungan Kejaksaan RI tidak sepenuhnya sepakat tentang Jampidmil yang berdasarkan Perpres melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang koordinasi teknis penuntutan yang dilakukan oleh Oditurat dan penanganan perkara koneksitas, dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Jadi hanya berkoordinasi untuk teknis penuntutan Oditurat dan penanganan perkara koneksitas.

Dari sini, kita menjadi tahu bahwa Oditur Jenderal di TNI masih tetap ada. Artinya akan ada pemborosan anggaran. Berdasarkan sebuah informasi anggaran untuk membentuk Jampidmil ini hingga ke tingkat provinsi, Kejaksaan membutuhkan triliunan rupiah.

Berdasarkan Undang Undang Kejaksaan tahun 2004 tugas dan wewenang jaksa meliputi bidang pidana, pengawasan, pembinaan, perdata dan TUN serta lain sebagainya. Karena itu, keberadaan Jampidmil menjadi rancu karena tidak diatur dalam UU Kejaksaan. Jika Jampidmil termasuk tugas dan wewenang Jaksa meliputi pidana bukankah sudah ada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus? Jika pidana militer itu juga menyangkut pidana umum seharusnya cukup di bawah tugas dan wewenang Jampidum. Dengan kata lain, karena tugasnya hanya bersifat koordinasi dan penanganan perkara koneksitas kiranya cukup setingkat direktur di Jampidum yang tidak membutuhkan struktur di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Seperti direktur HAM pada Jampidsus sekarang.

Jika demikian, keberadaan Jampidmil tentu saja suatu pemborosan karena hanya bersifat koordinasi. Kita telah melalui lebih dari 20 tahun reformasi, tetapi rupanya itu hanya setengah hati. Dan langkah mundur reformasi itu dimulai dari dibentuknya Jampidmil tersebut.

Seorang mantan pimpinan Kejaksaan Agung berkata kepada saya. Yang kita inginkan untuk mewujudkan prinsip Jaksa secara universal yakni sebagai penuntut tunggal dalam sebuah criminal justice system bukan seperti sekarang. Kalau hanya berkoordinasi dan menangani perkara koneksitas, itu cukup semacam nota kesepahaman atau surat keputusan bersama antar-instansi. Yang kita inginkan adalah Oditur Jenderal itu melebur menjadi Jampidmil sehingga prinsip jaksa penuntut tunggal itu terwujud.

Lantas, bagaimana pula keberadaan Laksamana Muda Anwar Saadi sebagai seorang Jampidmil? Meski bergelar sarjana hukum, Anwar diketahui belum pernah mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ). Berdasarkan aturan, untuk mengikuti PPPJ, selain bergelar sarjana hukum, calon jaksa merupakan pegawai Kejaksaan dengan masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun; serta usia serendah-rendahnya 25 tahun dan setinggi-tingginya 35 tahun pada saat dilantik menjadi Jaksa.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai pembentukan posisi itu sebagai bagian dari kecenderungan sikap pemerintah yang kurang memprioritaskan penegakan hukum. Penempatan petinggi militer itu bagian dari cara pemerintah menjawab banyaknya perwira tinggi di Mabes TNI yang tidak memiliki jabatan. Seharusnya ada kebijakan pembaharuan sektor pertahanan yang dapat mengembangkan di mana mereka bisa berperan dalam bidang keahlian mereka: pertahanan. Dan tentu saja itu akan memperkuat postur pertahanan kita.

Tetapi, Usman menyayangkan langkah-langkah demikian kurang terlihat. Keberadaan Jampidmil justru memperkuat pengaruh militer dalam penanganan perkara di bawah yurisdiksi peradilan umum. Perkara-perkara seperti Tragedi Trisakti dan Semanggi akan semakin sulit untuk bisa ditangani secara independen, termasuk oleh Kejaksaan Agung.

Pembuatan pos-pos untuk perwira militer di lingkungan pemerintahan sipil termasuk Kejaksaan RI, menurut Usman, hanya akan memperkuat kembali corak dan kultur militer Kejaksaan yang telah begitu menguat pada masa Orde Baru. Secara teknokrasi dan birokrasi, jelas itu merupakan pemborosan. Tidak ada urgensi dan signifikansi keberadaan Jampidmil, kata Usman. [Kristian Ginting]