Koran Sulindo – Fobia terhadap komunisme “dimainkan” lagi pada masa pemilihan kepala daerah serentak 2017, terutama pemilihan di DKI Jakarta. Sebelumnya, fobia ini juga mencuat setelah diadakan simposium nasional bertema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” pada April 2016 lalu. Ketika simposium baru akan dibuka, sejumlah orang melakukan demonstrasi, meneriakkan pernyataan anti-komunisme dan bahayanya bila komunisme bangkit kembali di negara ini.

Emir Moeis, Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia
Emir Moeis, Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia

Pada masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 lalu, isu ini juga gencar diembuskan. Para calon pemilih ditakut-takuti bahwa ada calon presiden yang berideologi komunisme dan menjadi kader Partai Komunis Indonesia (PKI).

Fobia berasal dari kata phobia dalam bahasa Latin, yang berari ‘ketakutan berlebihan atau irasional terhadap sesuatu’. Sesuatu itu bisa konkret seperti hewan anjing (cynophobia), bisa pula sesuatu yang abstrak semacam komunisme itu. Fobia ini akan berdampak pada emosi seseorang. Fobia umumnya karena seseorang mengalami trauma masa lalu dan biasanya trauma itu membekas dalam kesadarannya.

Munculnya fobia terhadap komunisme atau komunisto-phobi belakangan ini di Tanah Air mengingatkan kita kembali pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pada tahun 1960, misalnya, komunisto-phobi mewabah, terutama setelah Bung Karno membuat Manifesto Politik (Manipol), yang merupakan pernyataan yang tegas tentang cita-cita sosialisme Indonesia. Bung Karno dituding sebagai tokoh komunis. Itu sebabnya, dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1960, Putra sang Fajar terkesan marah dengan maraknya komunisto-phobi. “Segala apa saja yang menuju kepada angan-angan baru dicap komunis. Antikolonialisme: komunis. Anti-exploitation de l’homme par l’homme: komunis. Anti-feodalisme: komunis. Anti-kompromis: komunis. Konsekuen revolusioner: komunis,” demikian antara lain dikatakan Bung Karno.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan kolonial Belanda juga dikatakan komunis. Bahkan, mau merebut Irian Barat pun disebut Komunis.

Tentunya, ini juga cekokan dari kaum imperialis di Barat lewat antek anteknya di sini. Bahkan Bung Karno, pemimpin besar revolusi kita saat itu, juga dikatakan sebagai seorang komunis.

Menurut Bung Karno, komunisto-phobi adalah penyakit mental dan pikiran yang menghambat kemajuan. Pengidap penyakit ini cenderung konservatif dan reaksioner dalam soal politik dan ekonomi. Komunisto-phobia, ungkap Bung Karno lagi, juga merupakan pencerminan dari dari jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, dan blandis alias orang yang jalan pikirannya meniru penjajah Belanda. Itu sebabnya, komunisto-phobi sangatlah bertentangan dengan revolusi.

Pada masa itu, yang kerap dicap sebagai langkah komunis adalah reforma agraria atau land-reform. Padahal, dalam pandangan Bung Karno, reforma agraria bukan sesuatu yang identik dengan kaum komunis. Land reform, menurut Bung Karno, merupakan keharusan obyektif untuk memperbaiki struktur penguasaan dan pemanfaatan tanah agar bisa mendatangkan kemakmuran bersama. “Land-reform adalah syarat mutlak untuk mendirikan masyarakat adil dan makmur,” tutur Bung Karno ketika berpidato di depan para anggota Golongan Karya Nasional di Jakarta, 11 Desember 1965.

Pelaksanaan reforma agraria adalah upaya mengembalikan hak rakyat untuk ikut memiliki tanah. Karena, selama penjajahan Belanda dulu, tanah banyak dikuasai oleh para tuan tanah, yaitu kaum feodal, cukong-cukong, dan orang-orang Belnda.

Lalu, yang juga terjadi sekarang adalah Islamophobi, fobia kepada umat Islam dan ajaran Islam. Sama kita ketahui, bahkan Donal Trump selama kampanyenya sebagai calon Presiden Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyiratkan hal itu. Ketika akhirnya menjadi presiden, ia dalam waktu sekitar sepekan telah mengeluarkan sebuah kebijakan yang melarang warga dari tujuh negara berpenduduk Islam memasuki wilayah Amerika Serikat.

Kenapa itu sampai terjadi? Hampir pasti karena administrasi Amerika Serikat merasa takut kedatangan kaum muslim akan meningkatkan terorisme. Ketakutan ini terjadi karena adanya pengalaman terorisme, baik berupa pembajakan pesawat terbang pada awalnya, pengeboman gedung, sampai Peristiwa 911.

Cukup banyak memang kejadiannya. Namun seyogianyalah masyarakat Barat, Amerika Serikat serta pemerintahnya, menyadari bahwa pengorbanan kaum mulslim jauh lebih besar karena ketidakadilan serta kesemenamenaan dunia Barat terhadap kaum muslim sudah melewati batas.

Kita bisa melihat beberapa contoh. Misalnya pencaplokan daratan Palestina oleh Inggris, yang kemudian di sana didirikan negara Israel. Juga: peperangan negara-negara Arab melawan Israel, yang didukung sepenuhnya oleh negara-negara Barat, sehingga membuat bangsa Arab, terutama Palestina, tercerabut dari negerinya.

Itulah akar pemasalahannya, masalah politik dan wilayah. Jadi, tidak ada kaitan dengan agama Islam yang suci dan agung. Tapi, semua itu akhirnya dikaitkan dengan agama Islam sehingga apa pun yang beraroma islam dikaitkan dengan terorisme, Vise versa: apa pun jenis terorisme yang ada, tuduhan pertama pasti kepada umat Islam. Dari sinilah kemudian terjadi apa yang bisa dikatakan sebagai Islamophobi.

Sungguh malang nasib sebagian umat Islam di dunia sekarang ini. Karena alasan politik, wilayah, ekonomi, terutama penguasaan minyak, mereka tercerabut dari negerinya. Mereka mencoba mempertahankan dan melawan dengan kekuatan yang sangat tidak berimbang, sehingga ada umat Islam yang akhirnya memilih cara berjuang dengan jalan teror, yang akibatnya bisa dibilang fatal karena banyak orang yang tidak bersalah turut menjadi korban.

Sama-sama menyakitkan, memang. Namun, menyalahkan agama Islam atau menjadi Islamophobi merupakan tindakan dan sikap yang jauh lebih salah lagi. Seharusnya para pemimpin Barat harus lebih belajar apa itu Islam. Obama ketika masih menjadi presiden telah mencontohkan, misalnya ketika ia dalam pidatonya mengatakan “Islam sungguh sangat jelas dan menyejukkan”. Jadi, jangan sekali-sekali menggeneralisasi suatu keadaan dan menarik kesimpulan bahwa suatu keadaan itu ke atasnya adalah bagian dari faham, ideologi, dan suatu kepercayaan.

Dalam konteks kecil, hal seperti itu juga yang terjadi di ibu kota negara kita yang tercinta, DKI Jakarta, dalam beberapa tahun terakhir ini. Misalnya dalam kasus rencana pemindahan makam Mbah Priok dan kasus Masjid Luar Batang.

Minimnya sosialisasi atau karena kesombongan aparat yang merasa tidak perlu berkomunikasi telah menimbulkan trauma pada umat Islam, terutama mereka yang di golongan bawah. Timbul protes, timbul perlawanan. Bahkan ada demonstrasi yang pesertanya mencapai satu juta orang—ini lebih besar jumlahnya dari demo di Mesir yang menjatuhkan Presiden Hoesni Moebarak.

Maka kemudian timbullah fobia baru: setiap ada bom, umat Islam dituding; ada perlawanan atau demo terhadap penggusuran, umat Islam dituduh di belakangnya; menuntut kenaikan gaji juga dianggap sebagai demonstrasi umat Islam. Jadinya, cara pandanganya sudah seperti di negara-negara Barat saja, semua dituduhkan ke umat Islam.

Kembali kepada pernyataan awal tadi: fobia adalah suatu ketakutan yang tidak berdasar. Bahkan, sering kali fobia ditimbulkan lewat agitasi dan propaganda pihak-pihak lawan. Pada prinsipnya, fobia adalah suatu hal yang merugikan, apalagi kalau sampai mengganggu penyelenggaraan administrasi dan eksistensi suatu negara. []