Koran Sulindo – Baru-baru ini, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri diminta oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in untuk membantu melakukan reunifikasi dua Korea. Ini merupakan suatu kehormatan yang sangat besar buat Megawati, artinya juga untuk Indonesia, untuk tujuan yang begitu mulia, yaitu menyatukan dua bangsa yang selama ini terpecah.
Pecahnya sebuah bangsa merupakan suatu hal yang meyedihkan. Indonesia pernah hampir mengalaminya. Dan, Bung Karno rela dicaci-maki serta meninggalkan kekuasaannya demi keutuhan bangsa ini.
Ia memang mengetahui di belakang upaya memecah-belah bangsa Indonesia itu ada kaum neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim). Tapi, pada tahun-tahun tersebut, Bung Karno juga melihat bagaimana terjadi di Vietnam dan Kamboja antara kekuatan nekolim melawan kaum sosialis.
Menyatukan kembali bangsa yang telah terpecah sangatlah mulia. Keluarga besar yang terpisah bisa berkumpul, saling merangkul untuk menata masa depan bersama, dan sebagainya.
Namun, setelah lebih dari 60 tahun terjadi pemisahan dan kuatnya intervensi Barat selama itu pula, dengan menggunakan payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menyerang, menghancurkan, dan memisahkan sebuah bangsa—seperti juga yang kemudian dilakukan di Irak—itu menyebabkan kita harus ekstra-hati-hati untuk terlibat dalam usaha-usaha penyatuan sebuah bangsa yang telah terpecah. Pada tahap awal, cukup dengan upaya-upaya kemanusiaan dan kekeluargaan saja, jangan menyentuh aspek politik dan persenjataan.
Kalau itu terjadi, cukup mencurigakan. Karena, pihak Barat selama ini sangat terusik dengan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Mereka menanamkan kesan seolah-olah Korea Utara mengancam umat manusia dengan senjata nuklirnya.
Tapi, awas dan waspada. Karena, di Irak, tanpa ada senjata pun dimunculkan satu kebohongan internasional yang menyatakan ada satu senjata pemusnah massa yang dimiliki Irak. Sekali lagi, atas nama PBB, dunia Barat pun meluluhlantakan Irak, menghancurkan sebuah bangsa. Yang juga harus dikutuk, penghancuran oleh Barat itu juga menghilangkan warisan budaya agung dunia yang ada di Irak, yang merupakan peninggalan budaya yang usianya jauh lebih tua dan lebih bernilai tinggi daripada budaya Barat.
Semua itu bisa terjadi karena Irak tak memiliki senjata pamungkas, yang dapat membuat posisi tawarnya menjadi kuat di hadapan lawannya. Apabila Irak saat itu punya senjata nuklir, cukup satu saja, pastilah tak akan berani Amerika Serikat dan begundal-begundalnya menghancurkan Irak.
Karena itu, menjadi sangat mengkhawatirkan bilamana Korea Utara menghilangkan senjata nuklirnya. Karena, bila Korea Utara tak lagi punya senjata nuklir, tinggal menghitung waktu saja Amerika Serikat akan menyerang negara itu.
Sulit untuk bisa percaya ada satu negara yang mau menembakkan senjata nuklirnya. Karena, begitu senjata nuklir ditembakkan, negaranya sendiri akan menjadi korban juga, akan menjadi sasaran tembak senjata nuklir dari negara lain. Jadi, senjata nuklir itu lebih sebagai bargaining power suatu negara.
Kita pun menjadi teringat, pada akhir tahun dekade 1950-an dan awal 1960-an, Bung Karno mulai mendirikan beberapa reaktor atom kecil, yang dimulai di Bandung, di bawah pengelolaan Institut Teknologi Bandung, lalu di Jakarta dan juga Yogyakarta. Memang, reaktor atom itu kecil, tapi punya potensi untuk dikembangkan menjadi besar. Dan, itu bisa menjadi potensi politik bahwa Indonesia akan menjadi negara yang punya senjata nuklir. Belakangan, ide itu di-adopt oleh India dan Pakistan, yang membuat kedua negara itu hingga kini menjadi pemilik senjata nuklir, di samping Israel dan lain-lain.
Kalau saja kita punya senjata nuklir, tak ada negara-negara Barat yang berani mengusik-usik dan memerdekan Timor Timur. Tidak ada yang berani mengusik-usik Papua.
Sungguh, siapa pun harus mengakui betapa hebatnya ide Pemimpin Besar Revolusi kita. Pemikirannya menjangkau lebih dari 50 tahun ke depan. [Emir Moeis, Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia]