Koran Sulindo – Dikaruniai tanah yang sangat subur, petani-petani Jawa sudah dimanjakan oleh alam sejak puluhan abad yang lalu. Mereka dengan gampang menuai panen melimpah tanpa perlu banyak usaha.
Umumnya pekerjaan petani di Jawa dilakukan oleh penduduk kebanyakan di pedalaman.
Di banyak termpat, lahan-lahan itu tak harus dibuka lebih dahulu namun langsng dimanfaatkan untuk beterna. Model ini lebih menguntungkan dan memudahkan petani dalam bekerja.
Selain berdampak sangat baik untuk kesehatan dan memperpanjang usia hidup, pertanian di Jawa juga mempercepat regenerasi. Lazim ditemui pernikahan muda sekaligus orientasi memiliki anak banyak yang berguna sebagai tenaga kerja.
Banyak penduduk mencapai usia hidup hingga 70-80 tahun, bahkan 100 tahun lebih.
Dalam bukunya, The History of Java, Thomas Stamford Raffles menyebut kehidupan yang sehat dan usia panjang penduduk Jawa memudahkan masyarakat membentuk jaringan keluarga. Terutama dalam hal pekerjaan-pekerjaan pertanian dan mengasuh anak.
Raffles menyebt laki-laki dan perempuan di Jawa sangat cepat dewasa sekaligus mempercepat pula kebiasaan pernikahan muda, laki-laki di umur 16 sementara perempuan di umur 13-14.
Dalam banyak kasus, perempuan acap kali sudah dijodohkan sejak usia 9-10 tahun.
Hampir tak mungkin ditemui seorang laki-laki di umur 20 tahun masih melajang, dan perawan tua pasti akan menjadi bahan pergunjingan.
Tak ada kepercayaan apapun seperti adat atau hukum di Jawa yang menyarankan mereka hidup tanpa menikah bak pendeta di masa.
Lagi pula, meskipun tak ada aturan moral yang mengatur dengan ketat, perselingkuhan atau pelacuran tak bakal ditemui kecuali di kota-kota besar.
“Mata pencarian yang mudah didapatkan dan mereka tidak membutuhkan kemewahan. Anak-anak menjadi beban orang tua hanya dalam waktu singkat, dan segera menjadi tambahan tenaga kerja sekaligus sumber kekayaan,” tulis Raffles dalam bukunya itu.
Bagi petani yang harus mengolah tanahnya sendiri, anak-anak bahkan dianggap investasi yang sangat berharga meskipun selama masa anak-anak mereka dianggap tak menghasilkan apapun.
Meskipun begitu, keluarga besar jarang ditemui di Jawa dengan mengecualikan beberapa perempuan yang melahirkan 13-14 anak. Secara umum, rata-rata kelahiran yang terjadi jauh lebih rendah.
Raffles juga menyebut, meski banyak dari mereka yang mati di usia bayi karena cacar air atau penyakit lain, kematian tak pernah disebabkan kelaparan atau kecerobohan orang tua.
Ia menyebut hampir semua perempuan Jawa menyusui bayi mereka sendiri khususnya di pedesaan, kecuali istri para pangeran di kraton yang memilih mempekerjakan pengasuh khusus.
Keluarga atau cacah di Jawa biasanya memiliki anggota jauh lebih sedikit dibanding keluarga Eropa. Di Jawa umumnya anak-anak meninggalkan rumah orang tua pada usia muda dan segera membentuk keluarga mereka sendiri.
Raffles menyebut jumlah rata-rata anggota keluarga di Jawa umumnya tak lebih dari 4 atau 4,5 orang.
Di kalangan masyarakat bawah, keguguran di kalangan perempuan miskin Jawa banyak terjadi karena pekerjaan mereka yang berat di sawah atau kebiasaan membawa beban berat semasa kehamilan.
Karena tenaga perempuan dihargai sama dengan tenaga laki-laki, orang tua di Jawa membesarkan anak perempuan dengan perhatian dan kebanggaan yang sama dengan anak-anak laki-laki.
Di Jawa, khususnya di kalangan rakyat kebanyakan tak penah ada anggapan bahwa kelahiran seorang anak menjadi beban atau kemalangan keluarga.
Di sisi lain, meski merugikan dan menyebabkan kesengsaraan, praktik poligami diperbolehkan di Jawa baik secara hukum maupun agama.
Walaupun diperbolehkan praktik tersebut hanya dinikmati kalangan tertentu saja sementara rakyat kebanyakan umumnya memiliki satu istri pada saat bersamaan.
Di Jawa hanya kelas petinggi dan golongan raja-raja saja yang beristri lebih dari satu. Semua petinggi mulai dari pangkat mangkubumi dan pangeran ke bawah, menurut adat hanya bisa beristri dua, sementara raja bisa mempunyai istri empat.
Pada praktiknya, para mangkubumi ini biasanya mempunyai selir 3-4, sedangkan raja bisa memiliki 8-10 orang. Beberapa pangeran ini mempunyai jumlah anak yang sangat banyak seperti Bupati Tuban yang diceritakan memiliki 68 anak.
Biasanya para pangeran ini mengambil selir dari kelas bawah atau rakyat kebanyakan. [TGU]