Menunggu Eksekusi Pinangki dan Menelusuri Rekam Jejaknya

Kolase foto rekam jejak Pinangki Sirna Malasari bersama orang-orang yang diduga terlibat skandal suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung/Istimewa

Koran Sulindo – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menemukan terpidana kasus suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Pinangki Sirna Malasari masih mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kejaksaan Agung meski putusan terhadapnya sudah berkekuatan hukum tetap. Seharusnya Pinangki sudah dieksekusi dengan hukuman 4 tahun penjara dengan dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (LP) perempuan.

“Kami mengecam dan menyayangkan temuan atas Pinangki yang belum dieksekusi ke LP Pondok Bambu atau LP wanita lainnya,” tutur Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.

Boyamin mengatakan, perlakuan tersebut jelas tidak adil dan diskriminasi atas napi wanita lainnya. Ini bentuk disparitas (perbedaan) dalam penegakan hukum. Karena itu, MAKI mendesak jaksa penuntut umum (JPU) pidana khusus Kejaksaan Agung untuk segera mengeksekusi Pinangki ke LP wanita.

“Jika minggu depan belum dieksekusi, maka kami akan lapor Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Pengawasan serta Komisi III DPR,” ujar Boyamin.

Tidak hanya MAKI, Jaga Adhyaksa juga menyoroti perlakuan istimewa yang diperoleh para pelaku kejahatan dalam kasus suap pengurusan fatwa MA untuk terpidana kasus hak tagih Bank Bali Joko Tjandra. Pinangki, Joko Tjandra, Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking sering kali mendapatkan keistimewaan.

“Pinangki, misalnya, dituntut hanya 4 tahun; juga tidak ada kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI mendiskon hukumannya. Selanjutnya, meski sudah berkekuatan hukum tetap, jaksa juga belum mengeksekusi Pinangki dari tahanan Kejaksaan Agung. Hari Rabu kemarin putusan Joko Tjandra dipangkas lagi. Anita Kolopaking hanya dituntut terkait pemalsuan surat,” ujar pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Jaga Adhyaksa David Sitorus dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

Mengenai Pinangki yang belum dieksekusi itu, David lalu merujuk kepada nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tentang Pengelolaan Cabang Rumah Tahanan Negara di Luar Kementerian Hukum dan HAM tahun 2011. Pada Pasal 4 ayat (7) poin c disebutkan penempatan tahanan di Cabang Rutan Kejaksaan RI dibatasi sampai perkaranya dilimpahkan ke pengadilan.

Berdasarkan MoU itu, kata David, seharusnya penahanan Pinangki di Rutan Kejaksaan Agung dibatasi. Sesuai dengan MoU itu dibatasi sampai perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. Sementara perkara Pinangki sudah berkekuatan hukum tetap tetapi masih di Rutan Kejaksaan Agung.

David juga menyoroti orang-orang internal Kejaksaan RI yang diduga terlibat dalam skandal rasuah Pinangki-Joko Tjandra. Yang paling mencolok adalah mantan mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna yang diketahui bertemu dengan kuasa hukum Joko Tjandra, Anita Dewi Anggraeni Kolopaking sebanyak 2 kali justru kini menjabat Asisten Pembinaan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Terbaru Anang informasinya telah menjabat sebagai Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Begitu juga sosok Rahmat, pemilik Koperasi Nusantara yang mempertemukan Pinangki dengan Joko Tjandra sama sekali tidak diproses dan diperiksa. Ini sepertinya membenarkan pernyataan Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak beberapa waktu lalu yang menyebut ada kekuatan besar dalam kasus ini.

“Keistimewaan-keistimewaan tersebut membuat masyarakat tidak percaya dengan institusi Kejaksaan RI. Karena itu, Jaksa Agung Burhanuddin harus melaksanakan upaya hukum luar biasa kasasi demi kepentingan hukum terhadap kasus Pinangki itu,” ujar alumni Magister Hukum Universitas Indonesia ini.

Apa yang diungkap Ketua Komjak Barita Simanjuntak mengenai kekuatan besar yang berada di belakang skandal Pinangki ini sesuatu yang sangat mungkin. Apalagi jika melihat rekam jejak Pinangki yang pernah terkena hukuman karena perbuatan asusila dan sudah mengenal Jaksa Agung ST Burhanuddin sejak 2012.

Rekam Jejak Pinangki
Sebenarnya, rekam jejaknya sebagai jaksa tidak ada prestasi yang istimewa dari Pinangki. Bahkan namanya justru acap menimbulkan kontroversi. Dalam kasus penangkapan Jaksa Sistoyo dari Kejaksaan Negeri Cibinong oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 November 2011, nama Pinangki pun disebut-sebut terlibat dalam kasus itu. Sistoyo merasa dijebak mantan Kepala Kejaksaan Negeri Cibinong, Suripto Widodo waktu itu.

Selain itu, Sistoyo merasa ada yang janggal dalam perkara tersebut. Itu berawal dari Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) berkas perkara yang dibawa seorang Jaksa bernama Pinangki. Namun, anehnya ketika Sistoyo memerintahkan Pinangki menangani perkara itu justru ia menolak. Alasan Pinangki waktu itu dilarang oleh temannya di KPK yaitu Nofel dan Bambang. Justru pada akhirnya Sistoyo ditangkap oleh Nofel dan Bambang.

Masih cerita di Kejaksaan Negeri Cibinong. Dalam sebuah dokumen yang didapatkan wartawan Koran Suluh Indonesia, Pinangki juga pernah kena sanksi penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Dalam dokumen tersebut, Pinangki disebut melangkahi wewenang atasannya Kepala Seksi Intelijen. Berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya di ruang kerja atau di kamar istirahat kepala Kejaksaan Negeri Cibinong pada waktu jam kerja.

Selain itu, jejak Pinangki juga terekam menjadi staf di Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) pada 2012. Sementara pada periode 2011 hingga 2014, sosok yang menjabat Jamdatun adalah Sanitiar Burhanuddin yang kini menjabat sebagai Jaksa Agung. Dengan kata lain, perkenalan antara Burhanuddin dan Pinangki sudah terjalin setidaknya sejak 2012.

Jejak Pinangki, Burhanuddin dan Joko Tjandra juga terekam dalam kasus sengketa kepemilikan Gedung Wisma Antara dengan PT Anpa yang ditangani Jamdatun. Sengketa Wisma Antara itu berlangsung selama bertahun-tahun. Bermula dari pembangunan gedung yang dilakukan PT Anpa perusahaan joint venture LKBN Antara dengan Pabema, perusahaan asal Belanda. Komposisi kepemilikannya 20:80 dengan mayoritas milik Pabema.

Pada 1987, saham Pabema berpindah tangan kepada perusahaan C&P Realty Inc asal Singapura. Perusahaan ini di Indonesia diwakili Joko Soegiarto Tjandra dari Grup Mulia. Pada tahun yang sama Joko Tjandra mengajukan pengelolaan gedung dari penanaman modal asing menjadi penanaman modal dalam negeri. Bersamaan dengan pengalihan itu, maka saham PT Anpa yang dimiliki asing berpindah ke PT Mulia Pasific Prima milik Joko Tjandra. Burhanuddin sebagai Jamdatun waktu itu menunda untuk menggugat Joko Tjandra karena LKBN Antara tidak memiliki dokumen asli terkait dengan kepemilikan saham atas gedung itu.

Soal rekam jejak Pinangki dan perkenalannya dengan Burhanuddin yang sudah berlangsung lama, ketika Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung masih dijabat Hari Setiyono mengatakan, pihaknya harus mengecek terlebih dulu karena sudah lama. ”Jadi harus dilihat apa benar,” kata Hari saat dihubungi kala itu.

Lantas apa ujung dari semua ini? Publik hanya ingin Kejaksaan Agung terbuka dan menuntaskan skandal tersebut hingga semua yang terlibat diproses secara hukum. Hanya dengan demikian Kejaksaan Agung akan kembali memperoleh kepercayaan masyarakat. [Kristian Ginting]