Menolak Lupa Akan Nasib Yang Pernah Menimpa Sang Cengkeh

Cengkih atau cengkeh (Syzygium aromaticum) adalah kuncup bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae. Cengkih adalah tanaman asli Indonesia, sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia dan banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa.

Cengkeh juga merupakan komoditi rempah primadona era 1960-an, 1970-an dan awal 1980-an. Tidak ada yang tidak kenal cengkeh. Kategori rempah yang sejak dulu membuat para “Meneer” dari barat mengarahkan pandangan mereka ke Nusantara. Mungkin anak-anak muda sekarang tidak terlalu kenal dengan rempah yang  menjadi bahan baku utama rokok kretek ini.

Jauh sebelumnya di abad ke-15 para penjajah dan pemburu rempah menyebutnya sebagai emas cokelat. Pernah, pada suatu masa, satu kilogram cengkeh berharga sama dengan tujuh gram emas.

Khusus untuk komoditi cengkeh ini, rezim Orde Baru pernah membentuk Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang  dibentuk oleh Presiden Soeharto, dengan Keputusan Presiden Nomor 20 disambung dengan Instruksi Presiden Nomor 1 yang dirilis pada 1992. Lembaga ini mengantongi berbagai hak istimewa yang menguntungkan. Ajaibnya, walaupun merupakan lembaga negara, namun ada Tommy Soeharto di sana.

Sebelum BPPC berdiri, petani cengkeh bebas menjual langsung kepada pedagang melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Kemudian ada BPPC yang didirikan melalui Inpres, yang berfungsi sebagai lembaga perantara, dan memasarkan cengkeh produksi petani ke industri pengguna.

Hebatnya, sebelum BPPC berdiri, Tommy, sang putra emas penguasa Orde Baru ini, mendirikan PT Kembang Cengkeh Nasional (KCN). KCN kemudian menjadi satu dari tiga lembaga yang mendirikan BPPC. Dua lainnya adalah KUD (Inkud) dan sebuah BUMN.

Menakjubkan, karena ada peraturan menteri yang membuat BPPC memiliki hak eksklusif untuk membeli cengkeh dari petani dan menyebutkan perusahaan rokok (pengguna utama cengkeh) hanya dibolehkan membeli cengkeh dari BPPC.

Sebagai pihak satu-satunya yang bisa membeli cengkeh, maka BPPC pun bebas memainkan harga. Mereka membeli cengkeh dari petani dengan harga semurah-murahnya, dan menjual ke pabrik rokok dengan harga semahal-mahalnya. Sebelum ada BPPC, harga terendah cengkeh adalah Rp20 ribu per kilogram. Setelah ada lembaga ini, harga cengkeh turun drastis hingga Rp2 ribu per kilogram. Seketika, cengkeh yang tadinya emas, menjadi onggokan rempah tak berharga.

Berdasarkan Inpres tahun 1992, keuntungan dari pembelian dan penjualan itu, menjadi Dana Penyertaan Modal (DPM) dan Simpanan Wajib Khusus Petani (SWKP). Dana itu dikelola oleh BPPC, namun harus dibayarkan kembali pada petani.

Namun faktanya, dana ini, yang menurut ICW berjumlah hampir Rp 2 miliar, tidak pernah dibayarkan, dan akhirnya pemerintah yang memberikan kompensasi pada petani. Namun anehnya, meski memonopoli, BPPC kemudian mengalami kesulitan keuangan.  Jelas dalam hal ini terkait dengan pengelolaan manajemen, dan sudah menjadi rahasia umum dan tak diragukan bahwa Tommy Soeharto memindahkan sejumlah besar dana BPPC untuk keuntungan pribadinya.

Bahkan sebelum bubar tahun 1998, BPPC sempat menerima pinjaman dari Bank Indonesia sebesar US$ 325 juta. Dan tetap tak terbayarkan sampai BPPC akhirnya bubar tahun 1998. Setelah BPPC bubar, Tommy sebagai pucuk pimpinan BPPC sempat didakwa merugikan negara Rp175 miliar. Namun, faktanya kasus itu kemudian masuk ke peti es.

Bahkan mantan Presiden Soeharto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus BPPC setelah terindikasi berbuat melawan hukum saat menerbitkan Keppres No 20/1992 dan Inpres No 1/1992 yang memberikan kemudahan monopoli pembelian cengkeh oleh BPPC. Sayangnya, kelanjutan penyidikan kasus BPPC kala itu tenggelam seiring pergantian beberapa jaksa agung. [S21]