Ilustrasi/antarafoto

Koran Sulindo – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, mengatakan penyempurnaan jumlah Pimpinan MPR dan DPR mencerminkan perolehan suara partai politik yang diraih dalam Pemilu, yang merepresentasikan suara rakyat.

“Perubahan kedua UU MD3 bermakna penting dalam penguatan lembaga legislatif melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dalam sistem politik Indonesia,” kata Menkumham, di Jakarta, Selasa (13/12/2018), seperti dikutip dpr.go.id.

Perubahan kedua tentang UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disetujui menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (12/2/2018) kemarin. Paripurna diwarnai aksi walkout Fraksi PPP dan Fraksi Partai NasDem.

“Kami diawal menyampaikan bahwa Fraksi PPP menemukan beberapa persoalan mendasar secara konstitusional dalam perubahan kedua atas UU MD3. Maka kami memohon untuk ditunda dan dilakukan pembicaraan lebih lanjut,” kata Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati, seperti dikutip antaranews.com.

Sementara Ketua Fraksi Partai NasDem Jhonny G Plate menganggap substansi penambahan kursi pimpinan DPR, MPR dan DPD ini penuh kepentingan politis.

Persilakan Gugat ke MK

Sebelumnya, Menhumkam mengatakan jika masyarakat tidak setuju dengan UU MD3 yang disahkan, dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Artinya, kalau tidak setuju iya sudah. Merasa melanggar hak, ada MK,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018), seperti dikutip antaranews.com.

Menurut Yasonna, penambahan pimpinan DPR, MPR, dan DPD dalam UU MD3 bukan bentuk pemborosan keuangan, apalagi hanya berlaku kurang lebih 1,5 tahun.

“Ini hanya sampai 2019. Nanti 2019 kembali ke asas proporsionalitasnya kembali ke sistem lama,” kata Yasonna.

Sebanyak delapan fraksimenyetujui disahkannya UU MD3 itu yakni PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN)) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). [DAS]