Koran Sulindo – Menko Polhukam Wiranto menanggapi viralnya foto keluarganya saat pemakaman cucunya, Ahmad Daniyal Al Fatih, terutama terkait penampilan anggota keluarganya yang bercadar.
Berikut penjelasan Wiranto, melalui rilis media, di Jakarta, Selasa (20/11/2018):
Beberapa tahun yang lalu, di saat anak saya Zainal Nurizky (alm) meninggal dunia pada saat belajar Al Qur’an di Afrika Selatan, ada sebagian orang mengatakan bahwa anak Wiranto menganut Islam radikal, masuk Islam garis keras, kader terorisme dan seterusnya.
Padahal dengan kesadarannya sendiri dia minta ijin untuk keluar dari Universitas Gadjah Mada yang sangat bergengsi itu karena keprihatinan dan kesadarannya melihat perilaku sebagian generasi muda yang tidak lagi memiliki kepribadian yang tepuji.
Dia mendalami Al Qur’an untuk memantapkan akhlaq dan moralnya sebagai basis pengabdiannya ke depan nanti sebagai generasi penerus. Lewat internet, dia memilih tempat belajar Al Qur’an yang bebas politik, Ponpes Internasional di wilayah Land Asia Afrika Selatan yang khusus untuk memantapkan pemahaman Al Qur’an yang mengedepankan persaudaraan dan kedamaian, bukan sekolah teroris.
Sayang sekali baru satu tahun belajar dari 7 tahun yang harus dijalaninya, dia meninggal di sana karena sakit, di saat membaca ayat-ayat suci. Maka saat ada orang yang mencibir dan memfitnah, sayapun hanya tertawa, karena memang tidak perlu saya layani.
Sekarang ini pada saat cucu saya Ahmad Daniyal Al Fatih eninggal dunia, ibu, ayah dan kakak- kakaknya mengenakan busana muslim yang bercadar, bersorban, banyak masyarakat terkejut, media sosial ramai membincangkan tentang mereka.
Ada yang senang dan ada pula yang mencerca dengan prasangka dan cara mereka. Bahkan mencoba menghubung-hubungkan dengan tugas dan jabatan saya sebagai Menko Polhukam.
Agar anak dan cucu saya dapat menghadap Allah yang Maha Kasih dengan tenang maka tidak ada salahnya kalau saya menjelaskan tentang keluarga saya dan prinsip-prinsip kehidupan yang saya berikan kepada mereka.
Saat ini di tahun 2018 sudah genap setengah abad (50 tahun) saya mengabdikan diri saya kepada Ibu Pertiwi, 32 tahun dalam penugasan sebagai militer aktif dan sisanya 18 tahun dalam politik dan pemerintahan. Banyak yang telah saya lakukan untuk menjaga keutuhan, kedaulatan dan kehormatan negeri ini.
Prestasi, pujian juga fitnah dan cercaan sudah tak terbilang banyaknya, namun tidak menggoyahkan kecintaan saya kepada negeri ini dan keyakinan saya tentang idiologi negara Pancasila, Saptamarga yang telah merasuk dalam jiwaraga saya.
Dengan modal itu saya ajari mereka untuk merasa memiliki, mencintai, membela negeri ini di mana pun posisi mereka, apa pun pekerjaan mereka karena di sinilah kita dilahirkan, dibesarkan, dididik, mendapatkan kehidupan bahkan tempat peristirahatan yang terakhir.
“Jangan campur adukkan agama dengan idiologi negara, jangan jual agama untuk kepentingan politik dan jangan jual agama untuk mencari keuntungan finansial. Dalami agama untuk bekal di akherat dan memberikan kebaikan bagi sesama, bangsa dan negara”.
“Kamu boleh kenakan baju apa saja, selama kamu merasa nyaman, tetapi yang penting janganlah penampilanmu hanya untuk pamer tentang ke-Islamanmu, karena kedalaman agamamu bukan diukur dari pakaianmu atau penampilanmu, tetapi akhlak dan perilakumulah yang lebih utama”.
Saya memberikan kebebasan kepada keluarga saya untuk menjadi apa saja dan melakukan apa saja sepanjang tidak keluar dari rambu-rambu kehidupan yang telah saya pesankan kepada mereka itu. Saya selalu menekankan kepada mereka untuk berusaha memberikan kebaikan kepada negeri ini dan bukan malah merepotkan negeri ini.
Saya beruntung pernah dipercaya menjadi Panglima ABRI/TNI tetapi tak seorangpun anak atau menantu saya mengikuti jejak saya sebagai militer, atau menjadi rekanan untuk pengadaan Alutsista.
Saya mendirikan partai Hanura, namun tak seorangpun dari keluarga saya menjadi pengurus partai. Saya memang meminta dengan sungguh-sungguh kepada mereka untuk jangan sekali-kali memanfaat jabatan saya untuk kepentingan pribadi.
Saya bersyukur sampai detik ini kami sekeluarga masih dapat mempertahankan komitmen itu.
Terima kasih kepada siapa saja di saat cucu saya Ahmad Daniyal Al Fatih meninggal dunia, telah memberikan atensi dan doanya. Semoga semua itu akan menjadi bekal yang menerangi jalan baginya untuk menghadap Tuhan Yang Maha Kasih, Amiin.
Latar Belakang
Sebelumnya, cucu Wiranto, Achmad Daniyal Alfatih, meninggal pada Kamis, 15 November 2018 lalu. Anak berusia 1 tahun 4 bulanitu terpeleset ke kolam ikan rumah dan tidak bisa tertolong.
Wiranto hadir dalam pemakaman cucunya di pemakaman keluarga Delingan, Karanganyar, Jawa Tengah, pada Jumat (16/11). Daniyal dimakamkan di samping anak pertama Wiranto, Natarina Sofianti, yang meninggal pada 1978.
Dalam pemakaman tersebut, hadir pula istri, anak, serta cucu-cucu lain Wiranto. Ibu Daniyal, Amalia Sianti atau Lia Wiranto, menarik perhatian warganet. Dalam foto keluarga di pemakaman, tampak Lia yang mengenakan cadar duduk di samping suaminya, Abdi Setiawan. Dua anak Lia juga tampak mengenakan cadar.
Warganet, seperti dikutip wowkeren.com, menyoroti cadar yang dikenakan oleh Lia. Tak banyak warganet yang mengetahui putri Wiranto itu bercadar.
Seorang warganet di Twitter menyatakan turut berduka cita atas kecelakaan ini, ia juga menyinggung cadar yang dikenakan oleh Lia. “Yang teriak-teriak cadar disamakan dengan pelaku terorisme atau bagian dari kelompok Wahabi, mana suaranya? Keluarga Pak Wiranto, anak dan mantunya ada yang pakai gamis, celana cingkrang, berjidat hitam dan wanitanya bercadar. Semoga cucu Pak Wiranto menjadi sebab kedua orang tuanya dimasukkan ke dalam surga bersama kakek dan neneknya. Amin YRA. Masya Alloh, Tabarakallahu,” komentar seorang warganet di Twitter.
Selain itu, ada pula sebuah akun Facebook yang mengunggah foto keluarga Wiranto di pamakaman. “Innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun telah wafat cucu Pak Wiranto (anak dari Lia (bercadar) binti Wiranto. Btw, ada yang unik di keluarga beliau,” tulis warganet lain. [DAS]