Koran Sulindo – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan pemerintah membatalkan penunjukan pelaksana tugas (plt) gubernur dari Polri.
“Pemerintah akan mengkaji kembali penempatan plt untuk daerah yang dilaksanakan pilkada,” kata Wiranto, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (5/2/2018), seperti dikutip antaranews.com.
Menurut Wiranto, tindakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang melayangkan surat permohonan bantuan dari Polri untuk menjadi plt gubernur, merupakan langkah yang diambil sesuai aturan.
Munculnya penjabat gubernur dari kalangan Polri, yang hanya dimaksudkan untuk menjaga keamanan selama pilkada, tidak melanggar aturan.
“Kita bisa menempatkan para perwira kepolisian dan TNI yang punya kompetensi terhadap masalah di daerah, sehingga bisa menyelesaikan masalah dan mengawal pilkada dengan baik,” katanya.
Mantan Panglima TNI mengatakan pembatalan itu karena banyaknya masukan masyarakat, yang menginginkan pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan itu.
“Kami betul-betul mendengarkan dengan seksama, mendengarkan dengan sungguh-sungguh aspirasi yang ada. Karena itu, kami masih mengkaji usulan yang ada,” kata Wiranto.
Sebelumnya, Mendagri mengusulkan dua perwira tinggi Polri diminta mengemban posisi plt gubernur, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan pada Pilkada 2018. Mereka adalah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Martuani Sormin, yang akan menjabat plt Gubernur Sumatera Utara. Lalu Asisten Kapolri bidang Operasi Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan, yang akan menjadi plt Gubernur Jawa Barat.
Ramai-ramai Menolak
Wacana penunjukan dua perwira tinggi Polri mengisi posisi penjabat gubernur di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara selama Pilkada Serentak 2018 itu menuai banyak penolakan.
Wakapolri Komjen Syafruddin, mengatakan Polri hanya diminta Kemendagri untuk menyiapkan dua orang jenderalnya, sehingga sebatas menyiapkan. Namun Wakapolri menyatakan Polri tidak di bawah Kemendagri.
Menteri Pertahanan Ryamirzard Ryacudu mengatakan tidak ingin perwira aktif TNI menjadi pelaksana tugas Gubernur seperti halnya dua jenderal polisi yang bakal ditunjuk Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelang Pilkada 2018.
Khusus TNI, Ryamizard memastikan netralitas TNI dalam politik tetap terjaga. “Oh, harus. Kalau netralitas TNI terjaga, tidak akan muncul masalah,” kata Ryamirzard.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menjelaskan undang-undang sudah mengatur dengan jelas TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
“Saya tetap pada pendirian sesuai dengan konstitusi. Konstitusi TNI UU 34 tahun 2004. Di situ sudah diatur bahwa TNI harus netral. Saya tetap pada konstitusi saya,” kata Panglima TNI.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menentang penunjukan tersebut sebagai langkah yang tidak tepat, karena tugas dan fungsi kepolisian adalah untuk penegakan hukum. Selain itu polisi tidak boleh berpolitik praktis.
“Polisi harus netral dalam seluruh momentum politik yang berjalan. Penunjukan ini akan menyebabkan netralitas Polri akan terganggu dalam pilkada serentak 2018,“ kata Koordinator Kontras, Yati Andriyani, di Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Payung Hukum
Kemendagri menyatakan penempatan perwira tinggi TNI dan Polri sebagai penjabat gubernur sudah melalui kajian, konsultasi, dan berdasarkan payung hukum yang kuat.
Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, dasar hukum soal permintaan personil Polri untuk mengisi posisi Pejabat Gubernur itu adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). UU ini menyatakan untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Payung hukum lainnya adalah Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti Diluar Tanggungan Negara. Disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2), Penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintah pusat atau provinsi.
“Kami juga mengkaji UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dan, setelah memperhatikan UU Polri, khususnya Pasal 2, Pasal 4 dan juga Pasal 28, dimungkinkan bagi Polri untuk merespon permintaan dari Kemendagri,” kata Mendagri, di Jakarta, , Senin (29/1/2018), melalui rilis media.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono, mengatakan Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat (Jabar) dan Sumatera Utara (Sumut) baru diangkat Juni 2018 nanti.
“Saya ingin tegaskan sampai Juni berarti lima bulan ke depan Gubernur Jabar masih Pak Ahmad Heryawan, dan Gubernur Sumut masih Pak Tengku Erry,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono, di Jakarta, Rabu (31/1/2018), melalui rilis media.
Wacana yang menjadi gaduh di media massa itu kemudian dilaporkan Mendagri ke Menko Pulhukam.
“Masalah Pj Gubernur telah diambil alih oleh Pak Menko Polhukam, dan beliau nanti melaporkan persoalan tersebut kepada Presiden Joko Widodo, segera sepulang dari luar negeri untuk mengambil langkah kebijakan, karena mengandung opini pro dan kontra,” kata Mendagri, di Jakarta, Selasa (30/1), melalui rilis media.
Mendagri menyampaikan permohonan maaf kepada Menko Polhukam Wiranto apabila permintaan perwira tinggi (pati) Polri, menjadi Pj menuai polemik. Mendagri juga bersedia diberi sanksi dari Presiden Jokowi.
Jokowi
Presiden Joko Widodo mengatakan banyak yang berprasangka buruk soal pencalonan perwira tinggi Polri untuk mengisi posisi Penjabat Gubernur, yang diwacanakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Menurut Presiden Jokowi, pengisian posisi penjabat gubernur itu masih lama.
Baca juga: Jokowi: Banyak yang Berprasangka Buruk soal Penjabat Gubernur dari Polri
“Yang dulu-dulu juga enggak ada masalah. Dulu juga banyak loh yang dari TNI, dari Polri, ya biasa-biasa saja,” kata Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (31/1), seperti dikutip setkab.go.id. [DAS]