Menjual Moralitas dalam Demokrasi Indonesia

Ilustrasi/bbc.co.uk

Koran Sulindo – Setahun berlalu sejak demonstrasi massa berbasis keagamaan terbesar di Indonesia, dan beberapa organisasi pendorongnya ikut merayakan hari besar ini.

Pada Desember 2016, jutaan kaum muslim berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk bergabung dengan warga ibu kota dalam sebuah rapat umum yang disebut Aksi Bela Islam. Para peserta aksi menuntut agar gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (lebih dikenal dengan sapaan “Ahok”), dicopot dari jabatan gubernurnya dan diadili karena penistaan terhadap agama Islam dalam sebuah pidato kampanye spontan.

Ahok—yang kini telah dipenjara—menyampaikan komentar kontroversial tentang sebuah ayat Quran, yang menganjurkan agar umat Islam tidak memilih non-muslim sebagai pemimpin. Ahok sendiri beragama Kristen dan seorang Tionghoa, dengan demikian merupakan bagian dari sebuah kelompok sosial yang dipandang sudah diuntungkan oleh kebijakan negara sejak zaman penjajahan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan di tangan mereka.

Wilson (2016) memandang bahwa aksi-aksi protes tahun 2016 terjadi karena ketimpangan ekonomi, sementara Mietzner dan Muhtadi (2017) mencatat adanya sentimen religius primordial. Tetapi, menurut kami, kasus Ahok menunjukkan adanya kaitan antara ungkapan solidaritas muslim dan kemarahan terhadap kondisi sosial ekonomi yang ada.

Kemarahan itu tidak cuma dirasakan oleh orang-orang Islam yang miskin. Sentimen itu juga dirasakan oleh irisan kelas menengah muda terdidik yang aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atasnya dipersulit oleh situasi aktual yang mereka hadapi.

Oleh karena itu, sebagaimana disiratkan Wilson dalam penjelasannya, program kontroversial Ahok untuk membangun kembali kawasan kota, yang melibatkan penggusuran massal, menegaskan kesan eksistensi gamang yang sudah kuat merasuki masyarakat Indonesia.

Meningkatnya Tingkat Kesalehan Menjelang Pemilu

Banyak orang, terutama anak-anak muda, sekarang merasa dikecewakan oleh janji-janji modernitas dan pembangunan yang ditanamkan melalui lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lain. Respons yang semakin sering diartikulasikan melalui bahasa moralitas keagamaan mencerminkan peningkatan kesalehan dalam masyarakat Indonesia yang memungkinkan tumbuhnya jenis solidaritas keagamaan yang dirujuk Mietzner dan Muhtadi.

Bahkan, keterkaitan antara kekecewaan sosial ekonomi dan kekuatan sentimen religius memudahkan munculnya “pasar moralitas”, sebuah ruang di mana simbol-simbol Islam dikonsumsi dan direproduksi sebagai ungkapan kekecewaan terhadap status quo yang tidak adil.

Berfungsinya pasar ini hampir bisa dipastikan akan mencolok dalam demokrasi Indonesia hingga pemilihan presiden 2019, dan mungkin juga sesudahnya.

Moralitas Islam berpotensi menyediakan sumber daya kultural yang kaya untuk dieksploitasi oleh elite yang saling berkompetisi, termasuk di antaranya melalui 171 pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung di seluruh Indonesia pada tahun 2018.

Dukungan lewat mobilisasi massa, ketika diperlukan, bisa dibentuk oleh jenis narasi penindasan tertentu yang digunakan dengan sangat baik ketika melawan Ahok di Jakarta.

Inilah narasi yang menekankan perjuangan mayoritas rakyat yang terus-menerus dipinggirkan dan dibayangkan sebagai sebuah umat (Islam). Umat ini dikontraskan dengan elite bisnis tamak yang diberi label sebagai etnis minoritas Tionghoa, yang pada gilirannya juga didukung oleh tokoh-tokoh politik kuat dan korup.

Dampak terhadap Pemilihan Presiden 2019

Tampaknya kemungkinan besar pemilihan presiden 2019 akan menghadapkan kembali Presiden Joko Widodo dan lawan beratnya, Prabowo Subianto. Jokowi sudah dihadang oleh rumor tentang identitasnya, terutama disebarkan melalui media sosial oleh para buzzer dan pengguna internet. Rumor ini menyebut-nyebut peran Jokowi dalam mengizinkan pengaruh Cina masuk ke Indonesia, dengan juga memelihara keraguan terhadao ketakwaannya sebagai seorang muslim.

Sebaliknya, Prabowo dan aliansinya—termasuk Anies Baswedan, yang juga dipandang berambisi meraih kursi kepresidenan setelah mengalahkan Ahok—sudah mulai berkonsolidasi dengan lebih banyak organisasi Islam garis keras.

Survei tentang Persepsi di Kalangan Aktivis Islam

Dalam sebuah survei terhadap 600 orang yang ikut serta dalam Aksi Bela Islam, kami berusaha memahami kaitan antara pandangan mengenai ketidakadilan sosial, kepatuhan terhadap moralitas Islam, dan aksi politik. Enam puluh lima persen responden kami adalah laki-laki, yang mencerminkan tingkat partisipasi perempuan yang lebih rendah; sedangkan sebanyak 109 orang adalah pegawai rendah hingga menengah di berbagai perusahaan swasta, serta mahasiswa (101 orang).

Kurang lebih separuh responden menyelesaikan pendidikan tinggi (51%) sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan tertinggi yang dicapai 47% responden kami. Tak kurang dari 44% responden melaporkan belanja rumah tangga bulanan antara Rp4,5 juta sampai Rp7 juta, yang menempatkan mereka dalam kelompok kelas menengah bawah atau di ambang batas kelas menengah. Partisipasi orang muda dalam Aksi Bela Islam signifikan; 60% responden berusia 20-an tahun, 18% berusia 30-an tahun, sedangkan yang berusia di atas 40 tahun hanya mencapai 14%.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa kecemasan mengenai ketidakadilan sosial berkaitan sangat erat dengan kekhawatiran terhadap masa depan di antara kalangan muslim muda terdidik yang memiliki aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atas. Sebagian besar responden mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada orang tua mereka, tetapi mereka tidak memiliki prospek pekerjaan yang pasti.

Pendidikan Gagal Memenuhi Janji

Janji-janji bahwa pendidikan akan meningkatkan peluang memperbaiki status sosial semakin banyak diragukan, sehingga menghasilkan semakin banyak kekecewaan yang diarahkan kepada mereka yang dianggap mendapatkan akses ekonomi dan sosial secara tidak adil.

Keluhan-keluhan yang dirasakan bersama tampaknya menghasilkan sikap politik serupa di antara para responden kami. Walaupun mobilisasi anti-Ahok 2016 dipelopori oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia yang kini dibubarkan, hampir 60% responden menyatakan terafiliasi dengan organisasi-organisasi Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini lazimnya dipandang sebagai penjaga bentuk-bentuk “moderat” politik Islam di Indonesia.

Ini tidak mengejutkan sebetulnya, karena survei kami tidak menunjukkan banyak perbedaan dalam pendapat tentang berbagai persoalan terkait moralitas Islam di kalangan mereka yang merasa mendukung organisasi-organisasi moderat atau pun garis keras.

Perkembangan ini meliputi sikap terhadap non-muslim, peran perempuan dalam masyarakat, dan aktivitas ekonomi yang bisa diterima secara keagamaan. Tampaknya organisasi-organisasi Islam moderat dianggap tidak mampu menangani kecemasan yang berlaku umum, mendorong para responden untuk mendukung narasi yang lebih tegas tentang marjinalisasi yang digunakan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras.

Menariknya, seperlima responden kami menganggap bahwa tidak ada satu pun organisasi Islam yang benar-benar merepresentasikan kepentingan mereka. Akibatnya, narasi garis keras diarusutamakan menjadi politik kaum muslimin yang tadinya dipimpin oleh organisasi-organisasi Islam moderat.

Dampak Jangka Panjang Situasi Sosial Terlihat Negatif

Perkembangan ini tidak mencerminkan serangkaian situasi sosial yang mendadak muncul. Sejak akhir 1980-an, neoliberalisasi perekonomian Indonesia sudah menghancurkan pelan-pelan lembaga-lembaga publik dan meningkatkan persaingan antar-individu, dalam sebuah situasi yang pada umumnya tanpa jaring pengaman sosial di luar keluarga.

Karena pasar terlalu abstrak untuk disalahkan, kambing hitam yang paling gampang adalah “liyan” yang didefinisikan sebagai di luar mayoritas orang biasa.

Kasus Ahok, yang memperlihatkan sentimen kuat anti-Cina, menunjukkan bahwa ketidakadilan pasar disumirkan oleh ide bahwa mayoritas umat Islam dipinggirkan secara sistematis dalam persaingan memperebutkan sumber daya ekonomi.

Hal itu juga menunjukkan bahwa elite politik siap memanfaatkan kecemasan di kalangan muslim muda terdidik berikut aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atas mereka yang sarat kontradiksi.

Akibatnya, isu-isu ketimpangan dan ketidakadilan akan semakin sering dibingkai berdasarkan identitas rasial maupun keagamaan, yang dengan demikian mengabaikan betapa semua itu lebih terkait secara fundamental dengan transformasi neoliberal dan sifat kekuasaan ekonomi dan politik. [Vedi Hadiz, Professor of Asian Studies, University of Melbourne dan Inaya Rakhmani, pengajar di Universitas Indonesia]. Disalin dari The Conversation Indonesia di bawah lisensi Creative Commons.