Joko Widodo mencium bendera Merah Putih seusai diumumkan sebagai Capres PDIP, di Rumah Pitung, Marunda, Jakarta Utara (14/3). Joko Widodo menyatakan secara resmi siap menerima mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk maju sebagai Calon Presiden pada Pemilihan Presiden tahun 2014. ANTARA FOTO/ Tempo-Imam Sukamto/mes/14

Koran Sulindo – Mengenakan sarung dan kopiah hitam, duduk di bawah pohon mangga di Pondok Pesantren An Nawawi Tanara, Presiden Joko Widodo dikerumuni ibu-ibu pedagang kecil. Pertengahan Maret itu Presiden Jokowi dijadwalkan meluncurkan program Lembaga Keuangan Mikro Syariah Wafa Mandiri dan Silaturahim dengan keluarga besar pondok pesantren di Balaraja Serang, Provinsi Banten itu.

“Jangan mau ke rentenir. Mereka akan kasih bunga 30 persen,” kata Jokowi pada kerumunan ibu-ibu itu.

Pondok Pesantren yang dipimpin Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin, itu menginisiasi gerakan pembangunan ekonomi dari pesantren, melalui Koperasi Mitra Santri Nasional (KMSN) dan Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Umat (LPEU). Belum genap setahun dibentuk, KMSN dan LPE beranggotakan 25 pesantren di seluruh Indonesia itu, dan bergerak di sejumlah sektor bisnis, antara lain ritel, budidaya pertanian, perikanan, peternakan, dan sektor jasa.

Hanya setahun lagi, sejak hari itu, pemilihan presiden (Pilpres) dijadwalkan diselenggarakan di tanah air.

Koran Australia The Sidney Morning Herald (SMH) mengisahkan perjalanan mereka bersama rombongan Presiden Republik Indonesia itu saat berkunjung ke Banten tersebut. Menurut SMH, Jokowi melakukan “kampanye tidak resmi” saat kunjungan tersebut.

Dalam artikel di media negeri tetangga iru, Jokowi yang memberikan pelatihan bisnis, cara mengelola bisnis, hingga trik menghindari renternir, menjadikan mantan pengusaha mebel dari Solo itu lebih sebagai pendamping pengusaha kecil daripada raja Indonesia.

Namun di atas segalanya, Jokowi memang sangat populer terlihat dalam berbagai kunjungannya ke berbagai daerah. Dan ia pintar mendayagunakannya. Popularitas Jokowi itu yang kemudian membuat banyak partai kini menggandeng PDI Perjuangan, partai yang pertama mengusungnya sebagai calon presiden pada 2014. Partai-partai yang datang kemudian ini melihat potensi besar kemenangan Jokowi dalam Pilpres tahun depan.

Di Tengah Rimbunan Partai

Kelemahan Jokowi yang mencolok, terutama dalam 2 tahun awal sebagai presiden, adalah ia tak tampak menawan jika harus tampil dalam acara formal bahkan acara kepresidenan. Umat media sosial seperti Facebook, Twitter, atau Instagram tahu betul soal itu. Dan tampaknya Jokowi juga tahu itu dan tetap tampil di habitatnya. Ia bukan seorang pemimpin dengan retorika menggelegar seperti Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Insinyur kehutanan lulusan UGM Yogyakarta itu lebih menampilkan diri sebagai pemimpin praktis yang fokus mencoba menyelesaikan masalah.

Dan bagi ibu-ibu berjilbab warna-warni yang menunggu kehadirannya hingga 2 jam di Pondok Pesantren di Banten tadi, kemunculan Jokowi di tengah-tengah mereka sudah lebih dari cukup.

Lalu siapa lawan Jokowi pada Pilpres April 2019 mendatang? Pada Agustus 2018 nanti nama-nama capres-cawapres yang akan bertarung tahun depan sudah harus masuk ke meja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun sampai sekarang, selain Jokowi, belum jelas siapa-siapa yang akan bertarung.

Jokowi mengantungi dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).Selain 5 parpol itu ia juga didukung Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Dua partai paling belakang belum ada saat Pilpres 2014 lalu.

Belakangan,Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akhirnya turut di barisan Jokowi.

Namun tak sampai sebulan nama-nama harus disorongkan ke KPU, Jokowi belum memutuskan siapa cawapres yang akan mendampinginya kelak.

Ilustrasi: Jokowi membonceng Jokowi/AFP

Sementara lawan Jokowi jauh lebih belum jelas lagi. Gerindra memang agak pasti akan mencalonkan ketua umumnya lagi. Tapi nama Prabowo Subianto tak bisa melenggang sendirian karena partainya tak memenuhi aturan minimum mencalonkan presiden (presidential threshold). Gerindra harus berkoalisi.

Syarat mengusung pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2019 adalah partai politik atau gabungannya harus punya minimal 20% kursi di DPR (setara minimal 112 kursi) atau 25% suara sah nasional pada Pemilu 2014. Koalisi Gerindra dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memang membuat Prabowo mulus menjadi capres, tapi mereka menyorongkan 9 nama cawapres, dan dinamika politik terus bergulir.

Di pojok sana, Partai Demokrat menunggu momen tepat memasangkan jagoannya Agus Harimurti Yudhyono, anak mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sebelum Jokowi adalah Presiden RI selama 2 periode.

Intinya, ini hari-hari para calon pemimpin Indonesia 2019-2024 nanti sedang pusing.

Jokowi apalagi. Cawapres yang dipilihnya harus berdasar kesepakatan partai-partai pendukungnya. Parpol pendukung jelas mau mau mencalonkan kadernya. Memilih salah seorang dari satu partai tertentu beresiko partai lain tak setuju atau mencabut dukungannya.

PDIP sebagai pengusung utama Jokowi jelas tak enak hati mencalonkan kadernya lagi karena Jokowi adalah kader Banteng Moncong Putih itu. Namun siapapun cawapres Jokowi, ia akan menjadi salah satu tokoh utama dalam Pilpres 2024 nanti dan PDIP harus berhitung dengan kemungkinan ini.

Mungkin saja Jokowi mengambil figur di luar partai, orang yang bisa membantunya merengkuh kelompok agama di luar sana. Tapi ia juga harus ingat, ia bisa menjadi Presiden RI pada 2014 berkat usungan PDI Perjuangan.

Rumah Si Pitung

Rumah Si Pitung di Marunda siang menjelang masuk waktu asar itu tiba-tiba sesak penuh wartawan. Pada 14 Maret 2014 itu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sedang blusukan ke kawasan ujung Jakarta Utara itu. Beberapa hari sebelumnya, seluruh acara Jokowi memang banyak diikuti wartawan yang ingin mendapat kepastian pencalonannya sebagai presiden.

Jokowi tiba-tiba menghilang sebentar, menerima telepon. Tak lama kemudian ia naik ke atas rumah panggung dan berpidato pendek: “Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk jadi capres. Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan,” kata Jokowi, dengan suara terbata. Ia lalu mencium bendera merah putih di belakang tempatnya berdiri.

Tak ada yang menyangka Jokowi mendeklarasikan diri menjadi capres hanya 2 hari menjelang masa kampanye tiba. Memang sejak 2013 Megawati sering membawa-bawa Jokowi saat berkampanye untuk kader PDIP dalam Pikada di Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, atau Jawa Tengah.

Bahkan 2 hari sebelum mengumumkan pencapresan di Rumah Si Pitung itu, Megawati mengajaknya berziarah ke makam Presiden RI pertama Ir Soekarno di Blitar, Jawa Timur.

Megawati menuliskan, dengan tulisan tangan, surat perintah harian yang memberikan mandat kepada Jokowi sebagai capres pada Pemilu 2014 tak lama sebelum deklarasi Jokowi. Mandat itu ditulis Megawati pukul 14.45 di hadapan (saat itu) Ketua Bappilu DPP PDI-P Puan Maharani dan (saat itu) Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Tjahjo Kumolo.

Puan diberi mandat untuk membacakan kembali perintah harian itu sore itu juga.

“Perintah Harian: Merdeka!”

“Saya, selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; kepada seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai mata hati, keadilan, dan kejujuran di manapun kalian berada!”

“1. Dukung Bapak Joko Widodo sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan”

“2. Jaga dan amankan jalannya pemilu legislatif terutama di TPS-TPS dan proses penghitungan yang berjalan dari segala bentuk kecurangan dan intimidasi

“3. Teguh dan tegarkan hati dalam mengawal demokrasi di Republik Indonesia tercinta”

“Kami tidak pernah menutup mata dan telinga. Semua keputusan yang kami ambil harus hati-hati dan cermat karena tidak hanya buat PDIP, tapi ini juga buat Republik Indonesia,” kata Puan, setelah membacakan tulisan tangan ibunya tersebut.

Keputusan Megawati menjadikan Jokowi sebagai capres itu memberikan pelajaran yang teramat penting buat bangsa ini: keikhlasan terjadinya regenerasi dan memberi kesempatan pada kader yang dianggap terbaik. Bahkan yang membacakan keputusan Megawati mencapreskan Jokowi adalah anak kandung ketua umum partai itu, yang juga digadang-gadang banyak kader PDIP layak dicalonkan menjadi presiden.

Partai politik yang berani mengambil sikap seperti PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri akan hidup lebih lama dibanding yang hidup dari harapan mendapat sejumput kekuasaan.

“Keikhlasan Megawati memberikan tiket capres pada Jokowi adalah peristiwa yang sangat pantas diapresiasi setinggi-tingginya di negeri ini, karena nyaris semua pemimpin senior kita tidak punya keikhlasan seperti Megawati,” kata Board of Advisor CSIS, Jeffrie Geovanie, sehari setelah deklarasi Jokowi, seperti dikutip beritasatu.com.

Indonesia telah lama menderita sejak Soeharto berkuasa, dijungkalkan Reformasi, dan mencoba berdiri lagi dari puing-puing. Kini setelah berjalan lebih 20 tahun, reformasi yang masih compang-camping itu, bisa berbalik ke arah berlawanan. Pilpres 2019 tampaknya akan menjadi ujian apakah negeri ini bisa bertahan tetap merdeka dan demokratis atau berubah pendulumnya ke arah sebaliknya.

Jokowi, capres yang kini diusung 9 partai pada Pilpres tahun depan, pasti masih ingat peristiwa di Marunda itu. Ia juga pasti ingat poin ketiga perintah harian Ketua Umum PDI Perjuangan 4 tahun lalu: agar teguh dan menegarkan hati dalam mengawal demokrasi di Republik Indonesia tercinta ini. [Didit Sidarta]