Ilustrasi: Presiden Joko Widodo seusai membacakan pidato kenegaraan di depan DPR, Jakarta, Kamis (16/8/2018)/setkab.go.id

Koran Sulindo – Tak ada lebih menyenangkan pada aparatur sipil negara daripada mendengar pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di gedung DPR sehari menjelang peringatan kemerdekaan RI itu. Baru sekitar 2 bulan lalu mereka merima gaji ketigabelas; ditambah tunjangan hari raya penuh senilai sebulan gaji. Tahun depan gaji mereka dinaikkan 5 persen.

Sudah 4 tahun gaji ASN tak berubah, sejak Presiden Jokowi naik ke tampuk kekuasaan pada 20 Oktober 2014 gaji mereka bergeming. Dalam pemerintahan presiden sebelumnya, gaji ASN naik tiap tahun dan subsidi energi selalu digelontorkan negara; harga-harga pangan menjadi selalu terjangkau.

Peningkatan subsidi dan gaji pegawai negeri memang terlihat lebih diutamakan Jokowi daripada anggaran infrastruktur, yang sebelumnya menjadi bagian terbesar dari belanja negara.

Infrastruktur memang tetap dapat bagian banyak, sekitar 15 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), total 420,5 triliun, namun angka itu hanya naik 2,4 persen dari tahun berjalan.

Jokowi juga menaikkan subsidi energi dalam bentuk harga premium, solar, dan tarif dasar listrik, sebesar Rp 156,5 triliun (11 miliar dolar AS), naik 65,6 persen dibandingkan dengan anggaran 2018. Ia juga menambah hingga dua kali lipat keluarga miskin yang mendapat program bantuan pemerintah.

“Memang ada siklus seperti itu waktu masa Presiden Soesilo Bambang Yodhoyono juga seperti itu. Menjelang pemilu, lonjakan pasti akan terjadi di sisi program bantuan sosial dan kementerian yang langsung terkait dengan sosial,” kata ekonom Institute for Development of Economics dan Finance (Indef), Eko Listiyanto, pekan lalu.

Melalui program-program bantuan sosial rakyat langsung merasakan kehadiran pemerintah yang sedang berjalan.
Pemerintah mengalokasikan belanja negara mencapai Rp2.439,7 triliun, naik hampir 10 persen dibandingkan alokasi tahun ini yang Rp2.220,7 triliun. Belanja tersebut meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.607,3 triliun dan serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp823,triliun. Lebih seperempatnya untuk subsidi.

Kenaikan anggaran program bantuan sosial jelas berkontribusi positif pada perekonomian, khususnya konsumsi domestik, yang merupakan penopang terbesar perekonomian negeri ini.

Kenaikan belanja tahun depan diimbangi dengan peningkatan pendapatan negara sebesar 13 persen dari Rp1.894,7 triliun pada APBN 2018 menjadi Rp2.142,5 triliun. Pendapatan terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.781 triliun yang tumbuh 15 persen, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp361,1 triliun dan hibah sekitar Rp400 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Sri tidak ingin mengaitkan kenaikan belanja untuk program sosial dikaitkan dengan tahun politik.

“Menurunkan kemiskinanan kan sudah menjadi programnya pemerintah selama ini,” kata Sri, dalam jumpa pers, tak lama setelah pidato kenegaraan presiden.

Menurut Sri, peningkatan alokasi anggaran bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan sosial khususnya bagi 40 persen penduduk termiskin.

RAPBN memang menjanjikan banyak hal, terutama bisa jadi sebagai cadangan amunisi dalam pertempuran merebut masa jabatan kedua dalam pemilihan presiden tahun depan.

Target fiskal Jokowi yang ambisius dapat meningkatkan sentimen investor, di tengah kekalahan pasar yang sedang muncul yang menghantam keras Indonesia pada tahun ini. Lawan politik presiden mengkritiknya karena salah urus ekonomi, karena pertumbuhan terhenti di sekitar 5 persen dan nilai tukar mata uang hilang lebih dari 7 persen tahun ini.

Politik Anggaran
Sebelum era reformasi, pemerintah hanya mengajukan sebuah APBN setiap tahunnya. Namun sejak reformasi 1998, selalu ada 2 anggaran: APBN dan APBN Perubahan (APBN-P).

APBN merupakan target pendapatan dan belanja negara dalam setahun. APBN biasanya disusun dan ditetapkan sebelum memasuki tahun bersangkutan. Misalnya, untuk APBN 2010, pemerintah dan DPR sudah mulai melakukan pembahasan sejak Agustus 2009.

Adapun APBN-P merupakan revisi atas APBN. Karenanya, APBN-P selalu dibahas dan ditetapkan pada tahun bersangkutan.
Dalam era reformasi, perencanaan anggaran yang tertuang dalam APBN selalu meleset sehingga pada pertengahan tahun berjalan selalu direvisi dalam bentuk APBN-P.

APBN-P pun menjadi budaya. Padahal berdasarkan aturan, revisi anggaran hanya bisa dilakukan saat kondisi ekonomi mengalami perubahan yang luar biasa dan berada di luar kendali pemerintah (force majeure). Dampaknya, karena menjadi kebiasaan, pemerintah dan DPR pun makin terlihat tidak serius menyusun APBN secara presisi.

Dalam perkembangannya, APBN-P, dalam beberapa tahun ke belakang justru dimanfaatkan oknum-oknum anggota DPR sebagai ajang transaksional untuk korupsi.

Maklum saja, pembahasan APBN-P biasanya berlangsung cepat sehingga luput dari pengawasan publik dan media. Banyak kasus korupsi anggaran yang melibatkan anggota legislatif dan eksekutif bermula dari pembahasan APBN-P.

Pada era Presiden SBY, anggaran belanja negara dalam APBN-P biasanya selalu lebih tinggi dari APBN. Dalam APBN 2011 misalnya, total anggaran belanja negara ditetapkan sebesar Rp 1.229,55 triliun. Anggaran belanja dalam APBN tahun 2012, 2013, dan 2014 juga dinaikkan saat pembahasan APBN-P.

Memasuki era pemerintahan Jokowi, kebiasaan merevisi anggaran dalam bentuk APBN-P tetap berlangsung namun polanya berubah.
Jika pada masa presiden-presiden sebelumnya, anggaran belanja selalu dinaikkan dalam APBN-P, pada masa Jokowi anggaran belanja justru diturunkan.

Pada 2015, yang merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi, APBN-P langsung menyusut. Pada APBN 2015, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun, sementara belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun. Lantas dalam APBN-P 2015, pendapatan negara diturunkan menjadi Rp 1.761,6 triliun, sementara belanja negara dipangkas menjadi Rp 1.984,1 triliun.

Langkah itu dilakukan karena perekonomian domestik dan global terus melesu. Melihat pengalaman itu, tampaknya APBN-P awal tahun depan sebelum Pilpres, belanja ini akan turun lagi.

Lalu apa kaitan ini semua dengan Pilpres 2019 nanti?

Popularitas dan elektabilitas Jokowi saat ini tak terbendung. Hampir semua lembaga survei menempatkan Jokowi sebagai kandidat terunggul. Apa yang terjadi pada Pilpres 2014 lalu berpeluang terulang kembali: Jokowi kembali keluar sebagai pemenang.

Mungkinkah penantangnya, Prabowo Subianto, bisa mengalahkan Jokowi nanti?

Itu pekerjaan besar yang sangat sulit dilakukan siapapun kini. Apalagi Jokowi “membentengi” dirinya dengan berbagai “penangkal” isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) yang selama ini dianggap sebagai salah satu kelemahannya, katakanlah lewat Undang-Undang Ormas, pendekatan yang intensif dengan kelompok ulama, hingga berbagai kebijakan lainnya. Politik identitas yang berjaya digunakan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 akan mati angin jika digunakan secara nasional.

Apakah Jokowi takkan terkalahkan? Tentu saja ada kemungkinan ia kalah. Tapi ini pekerjaan rumah buat Prabowo sekaligus juga buat Jokowi. Yang jelas, tampaknya, hanya isu ekonomi senjata yang bisa digunakan penantangnya melawan sang petahana. [Didit Sidarta]