Menimbang Saham Bukalapak, Apakah Layak Dikoleksi?

Ilustrasi Bukalapak yang akan melantai di BEI pada Agustus nanti/Investing.com

Koran Sulindo – Pada 9 Juli lalu menjadi momen bersejarah bagi Bukalapak. Perusahaan dengan nama lengkap PT Bukalapak.com Tbk ini resmi mengumumkan rencana untuk melakukan penawaran umum perdana saham atau IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan yang berdiri tahun 2011 ini akan menjadi perusahaan teknologi unicorn pertama, melantai di pasar modal Indonesia, mendahului rivalnya Tokopedia – yang sudah merger dengan Gojek menjadi GoTo.

Dengan kode saham BUKA, Bukalapak yang lebih dikenal sebagai marketplace,  menawarkan  25.765.504.851 saham kepada masyarakat. Semua saham tersebut merupakan saham baru yang merupakan 25% dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah penawaran umum perdana ini.

Rencananya, Bukalapak akan resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada 6 Agustus 2021, setelah melakukan penawaran umum pada 28 Juli hingga 30 Juli dan penawaran awal atau bookbuilding period pada 9 Juli hingga 19 Juli 2021.

Harga penawaran perdana sejauh ini belum ditentukan. Tetapi, berada pada kisaran Rp 750 hingga Rp 850 per saham. Dengan kisaran harga tersebut, itu berarti Bukalapak mengincar dana sebesar Rp 19,3 triliun hingga Rp 21,9 triliun dari IPO ini.

Dana dari hasil IPO ini akan digunakan untuk modal kerja perusahaan dan entitas anak. Sekitar 66% akan digunakan oleh PT Bukalapak.com Tbk sebagai modal kerja. Sisanya, 34% akan digunakan sebagai modal kerja di entitas anak dengan rincian sekitar 15% akan dialokasikan kepada PT Buka Mitra Indonesia, sekitar 15% akan dialokasikan kepada PT Buka Usaha Indonesia dan masing-masing sekitar 1% akan dialokasikan kepada PT Buka Investasi Bersama, PT Buka Pegadaian Indonesia, Bukalapak Pte.Ltd dan PT Five Jack.

Per 31 Maret 2021, nilai ekuitas Bukalapak adalah Rp 1,7 triliun. Setelah IPO ini, jumlah saham yang beredar adalah 103 miliar lembar saham. Karena itu nilai buku (book value), Bukalapak hanya sebesar Rp 16,5. Dengan harga penawaran perdana sebesar Rp 750 hingga Rp 850 per saham, maka rasio Price Book Value (PBV) sebesar 45 hingga 51 kali dari nilai buku. Artinya, harga penawaran perdana ini lebih mahal 45 hingga 51 kali di atas valuasi atau nilai bukunya.

Masih Rugi
Belum lagi, berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2020, Bukalapak membukukan rugi periode berjalan sebesar Rp 1,34 triliun. Jumlah kerugian ini memang sudah berkurang dibandingkan tahun 2018 dan 2019 yang masing-masing tercatat rugi sebesar Rp 2,24 triliun dan Rp 2,79 triliun.

Tetapi, Presiden Direktur Bukalapak, Rachmat Kaimuddin meyakinkan calon investor bahwa Bukalapak adalah perusahaan yang memiliki prospek bisnis yang cerah. Berdiri tahun 2011 dengan modal Rp 80 ribu untuk beli domain, Bukalapak, menurutnya akan terus bertumbuh dan berkembang karena berada di bisnis yang pasarnya besar dan berkembang pesat yaitu e-commerce dan UMKM. “Salah satu kekuatan Bukalapak itu adalah kita punya kemampuan untuk terus berinovasi dan untuk terus berkembang,” ujarnya pada 9 Juli lalu.

Bukalapak, jelasnya berkomitmen untuk selalu tumbuh dari tahun ke tahun. Dari sisi nilai transaksi yang diproses Bukalapak atau total processing value (TPV), jelas Rachmat, terus mengalami pertumbuhan yang pesat. “TPV 2018 sampai 2020 itu bisa naik 3 kali lipat dari Rp 28 triliun menjadi Rp 85 triliun,” ujarnya.

Kenaikan TPV ini juga turut mendongkrak pendapatan Bukalapak. Mengutip laporan keuangan yang disajikan dalam Prospektus IPO, tahun 2018, Bukalapak membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 291,91 miliar.  Setahun kemudian yaitu tahun 2019 pendapatan bersih naik tajam ke Rp 1,07 triliun atau tumbuh 268,8%. Tahun 2020, di tengah pandemi Covid-19, Bukalapak membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 1,35 triliun atau naik 25,54% dibanding tahun 2019. Pada triwulan pertama 2021 ini, pendapatan bersih Bukalapak sebesar Rp 423,70 miliar, naik 32,31% bila dibandingkan pendapatan bersih periode yang sama tahun lalu yaitu sebesar Rp 320,23 miliar.

Rachmat mengatakan manajemen terus berupaya memperbaiki kualitas pertumbuhan perusahaan agar menjadi perusahaan yang profitable. “Karena banyak yang bilang kalau di (perusahaan) teknologi kalau mau gede, berarti bakar duitnya juga lebih banyak lagi. Tetapi kalau di Bukalapak kita enggak mikir seperti itu” ujarnya.

Meski dari sisi pendapatan dalam beberapa tahun terakhir, selalu tumbuh positif dengan kenaikan yang signifikan, pekerjaan rumah manajemen Bukalapak setelah IPO ini adalah memperbaiki sisi profitabilitas. Beban usaha seperti beban penjualan dan pemasaran, serta beban umum dan administrasi yang selama ini tidak efisien harus bisa ditekan agar laba usaha bisa positif. Sejak 2018 hingga triwulan pertama 2021 ini, Bukalapak masih membukukan rugi usaha. Uapaya perbaikan memang sudah terlihat dengan tren rugi usaha yang terus berkurang dari Rp2,84 triliun pada 2019 menjadi Rp1,83 triliun pada tahun 2020. Pada triwulan pertama 2021 juga berkurang menjadi Rp 327,9 miliar, dari sebelumnya pada triwulan pertama 2020 sebesar Rp 397 miliar.

“Kita usahakan semoga tren ini berlajut terus, kita bisa bertumbuh, posisi profitabilitas kita juga membaik supaya kita jadi perusahaan yang untung dan berkelanjutan di masa depan,” ujar Rachmat. Ya, hanya perusahaan yang profit yang layak dikoleksi sahamnya oleh masyarakat. [Julian A]